Langkah pemberlakuan aturan tarif bawah ini hanya membuat proteksi dan menguntungkan terhadap perusahaan penerbangan yang tidak efisien seperti Garuda bisa bertahan yang sudah terbukti dengan kemampuan Garuda dan Citilink meraup laba setelah berlakunya aturan ini, dimana sebelumnya kedua maskapai tersebut mengalami kerugian yang akut dan sistemik.
Baca : Akhirnya Garuda Mampu Bersaing dan Raup Laba 11 Juta Dollar Karena Peraturan Menteri Pembatasan Penerbangan Murah dan Didukung Peraturan Pemerintah .... CEO Garuda Optimis Bisa Kuasai Penerbangan Nasional Kembali
Ketentuan mengenai tarif batas bawah tiket penerbangan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM 91 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwa Dalam Negeri. Aturan yang diteken Jonan pada 30 Desember 2014 itu mengatur tarif batas bawah minimal 40 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.
“Saya pikir kebijakan tarif batas bawah buruk, tidak hanya bagi AirAsia tapi juga Lion Air dan maskapai lain. Akibatnya pariwisata domestik juga turun,” kata Fernandes di Jakarta, Senin (10/8). Pemilik klub liga Inggris Queens Park Rangers itu mengungkapkan tujuan bisnis AirAsia sejak awal didirikan adalah ingin membuat setiap orang bisa terbang. Caranya adalah dengan membuat tarif yang terjangkau tanpa meninggalkan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan. Fernandes menyebut semakin banyak orang terbang akan berdampak positif pada industri pariwisata di suatu negara.
“Pariwisata internasional cukup baik, tapi pariwisata domestik sedang menderita,” katanya. Kondisi tersebut menurutnya diperparah dengan perekonomian Indonesia yang juga tengah lesu. “Saya berharap pemerintah dapat melihat kembali kebijakan tarif bawah itu,” kata Fernandes. Dengan bergurau, ia bahkan menilai seberapa cepat AirAsia bisa menerbangkan 500 juta penumpang ditentukan oleh kebijakan tarif batas bawah tiket yang dibuat Menteri Perhubungan.
“Pertanyaan berikutnya,seberapa cepat maskapai ini mencapai 400 juta atau 500 juta penumpang itu sangat bergantung pada tarif batas bawah. Apabila kami bisa keluar dari tarif batas bawah, kami yakin akan mencapainya lebih cepat,” candanya. Diwawancara terpisah, pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai dampak kebijakan tarif batas bawah memang akan lebih dirasakan oleh maskapai bertarif murah yang tidak memberikan pelayanan penuh (full service) seperti AirAsia dan Lion Air. Selain itu, dengan tidak adanya tarif ‘promo’ dinilainya akan menurunkan jumlah penumpang yang bepergian menggunakan angkutan udara, terutama bagi penumpang yang pergi bukan karena urusan bisnis.
“Kebijakan penetapan tarif batas bawah penerbangan berpengaruh pada permintaan terbang non-essential di musim non liburan, kalau yang urusan bisnis ya mau tidak mau tetap pergi,” kata Gerry . Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang rute domestik AirAsia pada paruh pertama tahun ini sebesar 1,16 juta penumpang atau turun 28 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 1,6 juta penumpang. Indonesia, disebutkan Fernandes, berkontribusi sekitar 25 – 27 persen dari seluruh penumpang Group AirAsia.
Sementara secara keseluruhan, data yang sama menyebutkan jumlah penumpang pesawat rute domestik yang diterbangkan 17 maskapai berjadwal nasional selama paruh pertama 2015 sebanyak 31,71 juta penumpang. Angka tersebut merosot 14 persen dibandingkan realisasi semester I 2014 sebanyak 36,71 juta penumpang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan Kementerian Perhubungan menetapkan tarif bawah dalam industri penerbangan tak hanya bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat tetapi juga merusak struktur pasar.
"Kebijakan tarif batas bawah di industri penerbangan justru memperparah inefisiensi dan merusak daya saing di pasarnya. Hal ini kan justru berseberangan dengan RPJMN yang disusun pemerintah juga" ujar Ketua KPPU Nawir Messi di kantornya, Senin (26/1). Nawir berkeras kebijakan tarif bawah di industri penerbangan lebih banyak imbas negatifnya ketimbang dampak positifnya. Bahkan ia menilai efek negatifnya bisa merembet ke aspek lainnya.
"Dampaknya bagi pemain yang pangsa pasarnya kecil ya mereka tak bisa berkompetisi dengan pelaku yang besar. Selain itu bagi konsumen, akses dalam menggunakan jasa penerbangan juga semakin terbatas. Bahkan aspek lain juga bisa ikut terpengaruh seperti pariwisata, khususnya pariwisata domestik," tuturnya. Menurut Nawir, banyak alternatif upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam melindungi operator-operator penerbangan dari segi operasional ketimbang menerapkan tarif batas bawah. "Kalau mau melindungi perusahaan penerbangan, jangan atur tarifnya. Tapi atur dari beban inputnya, seperti kebijakan diskriminasi harga avtur" tambah Kepala Komisi Hubungan Masyarakat dan Hukum Syarkawi Rauf.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Menteri Perhubungan membuat peraturan dimana tarif batas bawah bagi seluruh maskapai penerbangan harus sebesar 40 persen dari patokan tarif batas atasnya. Alasannya adalah untuk memberikan ruang finansial yang lebih untuk meningkatkan standar keselamatan operasional.
Baca : Akhirnya Garuda Mampu Bersaing dan Raup Laba 11 Juta Dollar Karena Peraturan Menteri Pembatasan Penerbangan Murah dan Didukung Peraturan Pemerintah .... CEO Garuda Optimis Bisa Kuasai Penerbangan Nasional Kembali
Ketentuan mengenai tarif batas bawah tiket penerbangan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM 91 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwa Dalam Negeri. Aturan yang diteken Jonan pada 30 Desember 2014 itu mengatur tarif batas bawah minimal 40 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.
“Saya pikir kebijakan tarif batas bawah buruk, tidak hanya bagi AirAsia tapi juga Lion Air dan maskapai lain. Akibatnya pariwisata domestik juga turun,” kata Fernandes di Jakarta, Senin (10/8). Pemilik klub liga Inggris Queens Park Rangers itu mengungkapkan tujuan bisnis AirAsia sejak awal didirikan adalah ingin membuat setiap orang bisa terbang. Caranya adalah dengan membuat tarif yang terjangkau tanpa meninggalkan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan. Fernandes menyebut semakin banyak orang terbang akan berdampak positif pada industri pariwisata di suatu negara.
“Pariwisata internasional cukup baik, tapi pariwisata domestik sedang menderita,” katanya. Kondisi tersebut menurutnya diperparah dengan perekonomian Indonesia yang juga tengah lesu. “Saya berharap pemerintah dapat melihat kembali kebijakan tarif bawah itu,” kata Fernandes. Dengan bergurau, ia bahkan menilai seberapa cepat AirAsia bisa menerbangkan 500 juta penumpang ditentukan oleh kebijakan tarif batas bawah tiket yang dibuat Menteri Perhubungan.
“Pertanyaan berikutnya,seberapa cepat maskapai ini mencapai 400 juta atau 500 juta penumpang itu sangat bergantung pada tarif batas bawah. Apabila kami bisa keluar dari tarif batas bawah, kami yakin akan mencapainya lebih cepat,” candanya. Diwawancara terpisah, pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai dampak kebijakan tarif batas bawah memang akan lebih dirasakan oleh maskapai bertarif murah yang tidak memberikan pelayanan penuh (full service) seperti AirAsia dan Lion Air. Selain itu, dengan tidak adanya tarif ‘promo’ dinilainya akan menurunkan jumlah penumpang yang bepergian menggunakan angkutan udara, terutama bagi penumpang yang pergi bukan karena urusan bisnis.
“Kebijakan penetapan tarif batas bawah penerbangan berpengaruh pada permintaan terbang non-essential di musim non liburan, kalau yang urusan bisnis ya mau tidak mau tetap pergi,” kata Gerry . Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang rute domestik AirAsia pada paruh pertama tahun ini sebesar 1,16 juta penumpang atau turun 28 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 1,6 juta penumpang. Indonesia, disebutkan Fernandes, berkontribusi sekitar 25 – 27 persen dari seluruh penumpang Group AirAsia.
Sementara secara keseluruhan, data yang sama menyebutkan jumlah penumpang pesawat rute domestik yang diterbangkan 17 maskapai berjadwal nasional selama paruh pertama 2015 sebanyak 31,71 juta penumpang. Angka tersebut merosot 14 persen dibandingkan realisasi semester I 2014 sebanyak 36,71 juta penumpang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan Kementerian Perhubungan menetapkan tarif bawah dalam industri penerbangan tak hanya bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat tetapi juga merusak struktur pasar.
"Kebijakan tarif batas bawah di industri penerbangan justru memperparah inefisiensi dan merusak daya saing di pasarnya. Hal ini kan justru berseberangan dengan RPJMN yang disusun pemerintah juga" ujar Ketua KPPU Nawir Messi di kantornya, Senin (26/1). Nawir berkeras kebijakan tarif bawah di industri penerbangan lebih banyak imbas negatifnya ketimbang dampak positifnya. Bahkan ia menilai efek negatifnya bisa merembet ke aspek lainnya.
"Dampaknya bagi pemain yang pangsa pasarnya kecil ya mereka tak bisa berkompetisi dengan pelaku yang besar. Selain itu bagi konsumen, akses dalam menggunakan jasa penerbangan juga semakin terbatas. Bahkan aspek lain juga bisa ikut terpengaruh seperti pariwisata, khususnya pariwisata domestik," tuturnya. Menurut Nawir, banyak alternatif upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam melindungi operator-operator penerbangan dari segi operasional ketimbang menerapkan tarif batas bawah. "Kalau mau melindungi perusahaan penerbangan, jangan atur tarifnya. Tapi atur dari beban inputnya, seperti kebijakan diskriminasi harga avtur" tambah Kepala Komisi Hubungan Masyarakat dan Hukum Syarkawi Rauf.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Menteri Perhubungan membuat peraturan dimana tarif batas bawah bagi seluruh maskapai penerbangan harus sebesar 40 persen dari patokan tarif batas atasnya. Alasannya adalah untuk memberikan ruang finansial yang lebih untuk meningkatkan standar keselamatan operasional.
No comments:
Post a Comment