Thursday, August 20, 2015

Strategi Bisnis Qantas Membalikan Kerugian Rp. 39,4 Triliun Jadi Untung Rp 7,7 Triliun Dalam 1 Tahun

Setelah nyaris bangkrut, maskapai penerbangan Australia, Qantas, akhirnya meraup keuntungan US$ 557 juta atau sekira Rp 7,726 triliun setelah dipotong pajak pada semester pertama 2015. Padahal pada 2014, Qantas mengalami kerugian sebesar US$ 2,84 miliar atau sekitar Rp 39,4 triliun.

Prestasi itu adalah laba terbesar kedua yang diperoleh Qantas sebelum krisis finansial pada 2008. Pada periode tersebut, Qantas membukukan laba US$ 1,8 miliar. Adapun keuntungan sebelum pajak di tahun ini sekitar US$ 975 juta. Jumlahnya naik US$ 1.6 miliar dibandingkan 2014 lalu.

Catatan apik itu pun berdampak terhadap nilai saham Qantas sehingga naik 1,3 persen menjadi US$ 3,805 per lembar pada pembukaan perdagangan, Kamis ini. Keberhasilan itu berkat transformasi kebijakan yang dilakukan Qantas. Maskapai berlogokan kangguru itu memangkas 5 ribu karyawan dan menghemat biaya operasional sebesar US$ 2 miliar.

"Kami sudah setengah jalan melewati transformasi terbesar dan tercepat dalam sejarah Qantas," kata Direktur Eksekutif Qantas, Alan Joyce seperti dikutip dari ABC, Kamis, 20 Agustus 2015. Tanpa transformasi kebijakan, menurut Alan, sulit bagi maskapai yang bermarkas di Mascot, New South Wales itu meraup laba.

Dengan menekan biaya operasional, Qantas mengumpulkan US$ 894 juta dalam satu tahun terakhir ini. Uang iitu untuk membayar utang yang lebih dari US$ 1 miliar. Bagaimanapun juga, hampir setengah dari total pengurangan biaya sebesar US$ 1.2 miliar pada tahun lalu untuk menurunkan anggaran bahan bakar.

Saat ini, harga minyak mentah dunia jatuh ke posisi terendah dalam enam tahun terakhir yakni US$ 40,70 per barel. Alan mengatakan, jatuhnya harga minyak dunia memberikan keuntungan bagi semua maskapai di dunia. Namun, ujarnya, tidak ada satu pun maskapai yang sesukses Qantas.

"Qantas mengalahkan pasar dan maskapai lainnya karena transformasi kebijakan ini," ucapnya. Untuk 2016, Qantas menetapkan angggaran bahan bakar tidak lebih dari US$ 3,94 miliar. Dan dengan menaiknya performa perusahaan, Qantas akhirnya membeli delapan pesawat Boeing 787-9 Dreamliners.

Pesawat yang baru tiba pada 2017 itu rencananya bakal menggantikan lima Boeing 747s. Secara ukuran, Boeing 787-9 Dreamliner lebih kecil dari Boeing 747s. "Teknologi ini akan mengurangi pembakaran bahan bakar, memotong biaya perawatan, dan membuka destinasi baru ke seluruh penjuru dunia," ucap Alan.

Qantas juga berencana menyerahkan sebagian keuntungan kepada pemegang saham sebesar US$ 505 juta. Qantas merasa aman dengan kondisi keuangannya. Pembagian dividen itu akan dilakukan pada November mendatang. Namun rencana ini harus berdasarkan persetujuan rapat umum pemegang saham pada Oktober nanti.

Qantas terakhir kali membagikan keuntungan secara reguler sejak semester pertama 2009. "Kami telah menerapkan displin finansial yang berarti kami menghargai para pemegang saham yang telah sabar dan mendukung transformasi ini," ujar Alan. Namun, tahun depan Qantas belum menentukan perolehan laba.

Sebabnya, masih tingginya tingkat volatilitas, ketidakpastian ekonomi global, harga bahan bakar, dan nilai valuta asing. Qantas hanya menargetkan peningkatan kapasitas penumpang 3-4 persen pada semester pertama 2016 untuk semua anak perusahaan, termasuk maskapai Jetstar. Target ini lebih tinggi dibandingkan dengan 2014 dan 2015.

No comments:

Post a Comment