Dalam seminar Kajian Tengah Tahun INDEF 2014 bertajuk "Pembaruan Ekonomi atau Status Quo?", pengamat ekonomi Faisal Basri menyerukan untuk tidak memilih pasangan capres-cawapres di mana Partai Demokrat menjadi koalisi di dalamnya.
Hal itu ia sampaikan setelah memaparkan "prestasi" yang diukir selama dua periode pemerintahan SBY. Akademisi Universitas Indonesia itu menuturkan, jatuh bangunnya perekonomian Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal.
"Dan gara-gara SBY, tren jangka panjang kita menurun. Kalau sesuai RPJMN-nya dia harusnya ini (PDB) naik, tapi ini declining. Indonesia kini declining trap," katanya di Jakarta, Kamis (26/6/2014).
Awalnya, kata Faisal, Indonesia memulai PDB yang tidak terlalu berbeda dari negara tetangga. Namun, dalam satu dekade ini Korea Selatan mengalami kenaikan luar biasa, disusul Tiongkok. Bahkan kini Timor Leste juga telah menyalip Indonesia.
Dia menyatakan, pendapatan per kapita Indonesia lebih rendah beberapa ratus dollar AS dibanding Timor Leste. Di samping indikator PDB, Faisal juga menyindir soal ketimpangan yang semakin tinggi.
"Kemiskinan turun, tapi 20 persen terkaya naik juga. Ketimpangan naik 20 persen. Makanya, jangan mau status quo kalau kata INDEF. Kalau mau status quo pilih SBY dan teman-temannya," kata Faisal.
Pertumbuhan pendapatan antara si kaya dan si miskin semakin timpang. Faisal menunjukkan, dari 100 kelompok penghasilan masyarakat, pertumbuhan pendapatan orang-orang kaya luar biasa. "Yang sini (kaya) naiknya segini, yang miskin segini. Ini seperti F1 banding bemo," katanya.
Di sisi lain, perekonomian Indonesia dinilainya semakin mengkhawatirkan. Indonesia dianggap sebagai pasar empuk untuk barang-barang luar negeri seperti mobil. Implikasinya, kebutuhan energi semakin besar, sementara saat ini produksi minyak mentah pun sudah defisit.
"Semua ini mengalami deselerasi. Oleh karena itu harus ada regenerasi. Bener-bener harus revolusi mental memang," tukasnya.
No comments:
Post a Comment