Wednesday, June 11, 2014

Masyarakat Kelas Bawah Indonesia Adalah Konsumen Terbesar Produk Pangan Olahan

Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi menyebut terjadi peningkatan tren konsumsi pangan olahan, terutama pada kelompok masyarakat miskin. "Konsumsi pangan segar semakin berkurang," kata Bayu pada Rabu, 11 Juni 2014.

Dikatakan Bayu, pangan olahan yang dikonsumsi kelompok masyarakat dengan pendapatan 30 persen terendah melebihi 50 persen dari total konsumsi pangan sehari-hari. Masyarakat miskin pedesaan sehari-hari mengkonsumsi pangan olahan sebanyak 64 persen. Sementara itu, masyarakat miskin perkotaan mengkonsumsi pangan olahan dengan persentase yang lebih besar lagi yakni 72 persen.

"Semakin tinggi pendapatan, konsumsi pangan olahan juga makin meningkat," ujar Bayu. Menurut Bayu, kondisi ini tak bisa dibilang baik ataupun buruk. Faktanya, konsumsi pangan olahan meningkat sehingga peran penyalur pangan olahan menjadi semakin penting.

Untuk mengikuti tren yang sedang terjadi di masyarakat tersebut, Kementerian Perdagangan akan memberi perhatian pada minimarket modern yang menjadi penyuplai utama pangan olahan. "Kemendag akan menjalin kerjasama dengan retail seperti Alfamart dan Indomaret karena peran mereka semakin penting di masyarakat.

Pertumbuhan toko-toko modern di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2013, Indonesia bersama dengan Cina menjadi dua negara dengan pertumbuhan toko modern terbesar di dunia. Peritel seperti Alfamart terus melakukan ekspansi dengan membuka cabang-cabang baru. "Tahun ini kita akan membuka 1.200 gerai Alfamart baru," kata Solihin, Corporate Affairs Director PT Alfaria Trijaya.

Aneka rupa pangan olahan bisa dilihat di rak-rak toko kelontong di pinggir jalan hingga hipermarket. Tentu membuat konsumen terkesima dan ingin membelinya. Tapi tidak semua jajanan tersebut aman dikonsumsi. "Cara termudah adalah dengan melihat nomor pendaftaran untuk izin edar," ujar Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Tetty Helfery Sihombing.

Nomor Pendaftaran yang disetujui Badan Pengawas bisa dilihat di bagian bawah kemasan. Kodenya adalah MD (produksi lokal) dan ML (produksi impor). "Dengan catatan mereka tidak nakal ya," kata Tetty. Ia tak memungkiri bahwa ada kemungkinan produsen yang sudah mendapatkan dua sertifikat dari Badan Pengawas berlaku curang. Ketika awal mendaftarkan mereka patuh dengan aturan, tapi selama produksi ternyata melanggar kesepakatan. "Makanya kami terus awasi," ujar Tetty.

Dari hasil pengawasan tersebut, Badan Pengawas akan mengeluarkan peringatan hingga sanksi cabut izin edar jika terbukti ada pelanggaran. Namun, hukuman serupa tidak bisa diterapkan untuk pangan yang memiliki kode P-IRT (produksi rumah tangga). Produk olahan usaha kecil ini, Tettty menguraikan, berada dalam pengawasan Dinas Kesehatan. Sehingga tanggung jawab berada di Pemerintah Daerah. "Tapi kami selalu bekerja sama dengan Dinas untuk memberikan penyuluhan," kata dia.

Tapi, jika memang konsumen ragu terhadap label yang ada. Ada baiknya mampir ke situs badan pengawas, karena terpampang daftar produsen yang sudah mengantongi sertifikat resmi. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Roy Sparringa mengatakan bahwa Badan Pengawas bertanggung jawab mulai dari pra dan post-produksi. "Kalau yang sudah ada izin edarnya, berarti sudah lewat evaluasi," kata dia.

No comments:

Post a Comment