Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Bobby Gafur Umar, mengatakan jumlah insinyur di Indonesia tak sebanding dengan kebutuhan pembangunan. Saat ini, Indonesia baru memiliki 700 ribu insinyur. "Kita membutuhkan insinyur minimal dua kali lipatnya, atau sekitar 1,5 juta orang," kata Bobby yang ditemui di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2014.
Menurut Bobby, dari jumlah insinyur yang ada saat ini, hanya sekitar 9.500 orang yang bekerja sebagai insinyur profesional. Padahal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8 persen, Indonesia setidaknya butuh 50 ribu insinyur profesional.
Minimnya jumlah insinyur ini, menurut Bobby, terjadi karena kurangnya apresiasi pada insinyur sehingga banyak yang memilih bekerja di luar negeri. "Insinyur Indonesia sangat ahli tapi bekerja di luar negeri semua seperti di Timur Tengah dan perusahaan Boeing," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Bobby melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran. Undang-undang ini telah tertunda selama 13 tahun, namun akhirnya disahkan pada April lalu.
Bobby berharap dengan adanya beleid baru ini, kualitas insinyur Indonesia semakin membaik dan siap menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Undang-Undang ini juga menjamin remunerasi bagi insinyur Indonesia yang merujuk pada standar ASEAN. "Dengan demikian, insinyur makin terjamin," ujarnya.
Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Hediyanto W. Husaini, mengatakan Indonesia memiliki insinyur ahli konstruksi yang paling unggul jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Banyaknya proyek konstruksi di Indonesia melatih kemampuan para insinyur sehingga kemampuannya benar-benar teruji. "Ini peluang bagi Indonesia pada era masyarakat ekonomi ASEAN 2015," kata dia, Selasa, 29 Oktober 2013.
Para insinyur Indonesia, kata Hediyanto, terbiasa membangun pelabuhan, jalan, gedung, dan proyek konstruksi canggih lainnya. Bukti keunggulan Indonesia pun terlihat daribanyaknya perusahaan konstruksi nasional yang menggarap proyek di luar negeri. "Waskita Karya, Adhi Karya dan perusahaan lain berperan aktif dalam pembangunan konstruksi di Myanmar, Filipina, Vietnam, Malaysia, hingga Arab Saudi," ujarnya.
Namun, Hediyanto menyebut satu hal yang menjadi kelemahan tenaga ahli Indonesia, yakni sertifikasi. Dari 1.000 insinyur, hingga saat ini hanya 200 orang yang sudah memiliki sertifikat di level ASEAN. Sertifikat ini penting karena menjadi syarat utama dari satu negara untuk mempekerjakan tenaga asing.
Di samping tenaga ahli, Indonesia juga memiliki peluang lain untuk menguasai pasar konstruksi ASEAN. Hediyanto mengatakan peluang itu muncul setelah banyak produsenalat-alat berat dan perangkat berteknologi tinggi yang menanamkan modal di Indonesia. Setiap tahun, kata dia, Indonesia mendatangkan 10 ribu alat konstruksi. Angka ini lebih besar ketimbang Malaysia (2 ribu unit) dan Australia (4 ribu unit). "Meski alatnya diimpor, operatornya adalah orang Indonesia."
No comments:
Post a Comment