Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, melaporkan 60 pengembang properti kepada Kejaksaan Agung pada Jumat, 13 Juni 2014. Para pengembang dituduh tak mematuhi aturan pembangunan hunian berimbang sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
"Saya minta Jaksa Agung mengusut dan menindak pengembang rumah mewah yang tak mematuhi aturan itu," kata Djan Faridz pada Kamis sore, 13 Juni 2014. Dalam undang-undang dijelaskan bahwa pengembang wajib membangun rumah dengan komposisi 3:2:1. Artinya, setiap membangun 1 rumah mewah, pengembang wajib pula membangun 2 rumah menengah, dan 3 rumah sederhana. Sementara itu, untuk rumah susun aturannya adalah minimal pengembang membangun sebanyak 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial untuk rumah susun umum/sederhana.
Sanksi bagi pelanggar adalah pidana penjara dua tahun atau denda Rp 20 miliar untuk rumah susun dan denda Rp 5 miliar bagi pelanggar aturan rumah tapak. Menurut Djan Faridz, aturan ini dibuat untuk mengatur kawasan hunian berimbang sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu besar antara kelompok kaya dan miskin. "Nyatanya hingga saat ini tak ada satu pun pengembang rumah mewah yang mematuhi aturan ini," ucap Djan.
Semua pengembang tersebut dapat dikenai sanksi pidana karena telah melanggar undang-undang. Senin pekan depan, Djan akan mendatangi Kapolri untuk melaporkan hal serupa. Djan akan meminta bantuan Kejagung, Kapolri dan KPK untuk mengusut semua pengembang yang tak taat aturan tersebut. Deputi Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat, Agus Sumargiarto, menjelaskan, di antara nama-nama yang dilaporkan terdapat nama pemain besar properti seperti Podomoro, Summarecon, dan Ciputra.
Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengadukan 191 pengembang dari 57 grup ke Markas Besar Kepolisian hari ini, Selasa, 17 Juni 2014. Djan mempermasalahkan para pengembang yang tidak melaksanakan kewajiban membangun hunian berimbang. "Ini mudah-mudahan bisa ditindaklanjuti oleh Kapolri supaya pengembang dipanggil satu-satu. Ini pelaporan secara hukum, pelaporan resmi," kata dia kepada wartawan di kompleks Kementerian Perumahan Rakyat, Selasa sore.
Djan mengatakan para pengembang yang akan dipanggil kepolisian, akan diberi peringatan terlebih dahulu sebelum diberi tindakan langsung. Para pengembang ini dilaporkan telah melakukan tindak pidana karena melanggar undang-undang. Ketentuan hunian berimbang diatur dalam Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang serta Undang-Undang tentang Rumah Susun.
Saat ditanya apakah pengembang yang dilaporkan adalah Lippo Group, Agung Sedayu, Agung Podomoro, dan Ciputra, Djan mengiyakan. "Tidak satu pun pengembang yang melaksanakan, termasuk Perumnas, walau mengklaim sudah 70 persen. Suruh mereka buktikan kalau ada. Semua BUMN kena," kata Djan.
Dalam undang-undang dijelaskan bahwa pengembang wajib membangun rumah dengan komposisi 3:2:1. Artinya, setiap membangun satu rumah mewah, pengembang wajib pula membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana. Sementara itu, untuk rumah susun aturannya adalah minimal pengembang membangun sebanyak 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial untuk rumah susun umum/sederhana
Sanksi bagi pelanggar adalah pidana penjara dua tahun atau denda Rp 20 miliar untuk rumah susun dan denda Rp 5 miliar bagi pelanggar aturan rumah tapak. Semua pengembang tersebut dapat dikenai sanksi pidana karena melanggar undang-undang. Djan mendatangi Kapolri hari ini setelah meminta bantuan Kejagung untuk mengusut semua pengembang yang tak taat aturan tersebut pada Jumat, 13 Juni 2014.
Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, mengaku memiliki alasan kuat untuk melaporkan ratusan pengembang properti ke kepolisian. Salah satunya adalah karena para pengembang yang tidak juga melaksanakan kewajiban membangun hunian berimbang meskipun sudah ada aturan terkait sejak dua tahun silam. Beleid yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang serta Undang-Undang no 20 tahun 2013 tentang Rumah Susun.
Aturan itu menyebutkan bahwa pengembang wajib membangun rumah dengan komposisi 3:2:1 yakni pembangunan 3 rumah sederhana, 2 rumah menengah, dan 1 rumah mewah. Sementara itu, untuk rumah susun aturannya adalah minimal pengembang membangun sebanyak 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial untuk rumah susun umum/sederhana. Nah, sejak aturan itu terbit, Kementerian Perumahan Rakyat sudah mensosialisasikan pada para pengembang dan pemerintah daerah. Real Estate Indonesia (REI) pun sudah berjaji akan memperhatikannya.
“Karena sudah lama menanti dan jabatan saya sudah menjelang akhir, akhirnya saya laporkan ke polisi," tutur Djan saat ditemui wartawan di Kompleks Kementerian Perumahan Rakyat, Selasa, 17 Juni 2014. Sebaliknya, jika masa jabatannya masih panjang, ada kemungkinan ia akan memberi kesempatan kepada pengembang untuk melaksanakan kewajiban hunian berimbang.
Pada hari Selasa ini, Djan mendatangi Kepala Polri setelah mengadukan kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut semua pengembang yang tak taat aturan tersebut pada Jumat pekan lalu. "Kalau berita ini keluar, mereka (pengembang) tahu ini serius. Kalau kejaksaan kan belum karena kejaksaan menunggu penyidikan dan baru dituntut," katanya.
Sejumlah pengembang besar yang dilaporkan Djan adalah Lippo Group, Agung Sedayu, Agung Podomoro dan Ciputra. Badan Usaha Milik Negara pun tak luput dari perusahaan yang diadukannya, termasuk Perumnas yang mengklaim sudah melaksanakan aturan tersebut hinga 70 persen.
No comments:
Post a Comment