Banyak pengusaha meraih kesuksesan setelah melewati masa-masa sulit. Demikian pula yang dialami oleh Ade Andriansyah dan Windy Wulandry. Pasangan suami-istri ini merupakan pemilik distribution clothing Flashy Shop yang berdiri sejak akhir 1990-an di Bandung, Jawa Barat.
Krisis ekonomi tahun 1998 yang meletus ketika Windy masih kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung, mengarahkannya ke jalur pengusaha. Windy yang hobi belanja produk fashion terpaksa menahan diri karena harga semua produk tersebut melambung tinggi. “Tapi, namanya senang terhadap produk fashion, saya tak mungkin bisa berhenti belanja. Jadi, saya cari cara lain supaya bisa tetap pakai produk tanpa membeli dengan harga mahal,” ujar dia. Lantas pada 1997, Windy mulai membuat tas dari bahan bulu sintetis.
Awalnya, tas ini ia pakai sendiri. Namun, ternyata, banyak teman kuliah menyukai tas buatan Windy. Tak mau membuang peluang, dia menerima pesanan tas. Bahkan dia menambah produk berupa tas mini untuk menyimpan ponsel yang saat itu jadi tren di kalangan anak muda. Barulah pada 1998, ia memberi nama Flashy untuk produk buatannya.
Windy kian serius menjajaki bisnis tas dengan mendirikan toko pertama pada tahun 2000. Toko yang luasnya cuma 16 m2 itu berada di Jalan Ir. H. Juanda, Bandung. Lantaran tempat tersebut milik orang tua, ia pun terbebas dari ongkos sewa.
Namun, sebagai modal produksi, Windy merogoh kocek sebesar Rp 500.000. “Modal berasal dari uang jajan yang diberikan oleh orang tua,” kata perempuan kelahiran Bandung, 7 April 1977 ini.
Produknya masih berupa tas dan mobile pouch dari bahan parasut, bulu sintetis, dan kulit imitasi. Pertama kali produksi, jumlah pesanan tidak sampai dua lusin. Ada lima orang karyawan. Sebagian membantu Windy, sebagian lain menjadi penjahit.
Agar semakin dikenal, Windy menjalin kerja sama dengan beberapa radio di Bandung. Caranya, ia menitipkan barang untuk barter promosi dengan menyediakan produk Flashy sebagai hadiah kuis radio. Namun, Windy mengakui, pemasaran dari mulut ke mulut yang paling efektif saat itu. Pasalnya, ia tidak punya dana khusus untuk promosi. “Dana yang kami punya lebih banyak digunakan untuk produksi,” ujarnya.
Windy mengkhususkan Flashy untuk memproduksi barang fashion bagi kaum hawa. Menurut Windy waktu itu belum banyak distro yang bermain secara khusus. Produknya pun berkembang tidak hanya tas tapi juga dompet, baju, hingga aksesori perempuan.
Pangkas produksi
Pada masa awal Flashy berdiri, Windy tidak terlalu memikirkan masa depan bisnisnya dalam jangka panjang. Pasalnya, saat itu, belum banyak distro maupun butik di Bandung. Pesaingnya sangat sedikit.
Dia pun fokus pada desain dan produksi. Urusan manajemen pun dikesampingkan. Bahkan Windy sempat bekerja di salah satu bank pada 2000 selama enam bulan.
Perkembangan omzet yang tak diimbangi dengan tata kelola yang baik itu membuat Flashy justru merugi. “Selama masih ada duit yang saya pegang, itu yang saya gunakan untuk produksi, karena saya pikir omzet saya tinggi,” tuturnya. Maklum, Windy tak punya catatan tertulis di bidang finansial.
Di sinilah peran Ade muncul dan membuat perubahan besar-besaran di bisnis Flashy. Sejoli ini menikah pada 2002. Ketika turun tangan, Ade baru menyadari betapa buruknya manajemen bisnis Flashy. “Waktu saya in charge, saya baru tahu tidak ada perhitungan yang jelas mengenai omzet maupun biaya produksi,” tambah dia.
Sebelumnya Windy merasa mendapat omzet tinggi padahal kenyataannya itu tidak bisa menutupi biaya operasional yang juga tinggi. Mereka pun baru sadar kalau selama beberapa tahun Flashy tak untung.
Karena itu, periode 2005 hingga 2007 jadi titik balik bagi Flashy. Selama tiga tahun itu, Ade berkonsentrasi memperbaiki manajemen. Ade mengibaratkan Flashy harus rela turun peringkat dari angka 7 menuju angka 3. Produksi sempat diturunkan hingga 50 persen. Bahkan, Ade memangkas jumlah karyawan, terutama bagian produksi, karena kurang efektif. Dari 20 orang penjahit, Ade hanya mempertahankan 10 orang.
Ade bahkan mengunjungi toko-toko yang memasarkan produk Flashy secara konsinyasi. “Dari kunjungan itu saya baru tahu bahwa produk yang tidak laku tetap diproduksi dan dikirimkan ke toko-toko tersebut,” kata pria kelahiran Bandung, 4 Juli 1977 ini.
Ade pun menghentikan kerjasama konsinyasi dengan beberapa toko. Jika sebelumnya Flashy memiliki sekitar 20 titik konsinyasi, Ade kurangi hingga hanya dua titik di Jakarta.
Baru pada 2008, Ade merasa sistem manajemen Flashy cukup baik meski masih terus ditingkatkan. Setidaknya, urusan finansial yang sebelumnya terbengkalai bisa ditangani olehnya. Sementara itu, Windy masih fokus mendesain produk Flashy dibantu oleh dua desainer.
Mereka pun kembali berekspansi dengan membuka gerai-gerai baru. Setelah dua tokonya di Bandung, Flashy juga membuka gerai di Surabaya. Pada 2013, Flashy menambah gerai baru di Denpasar, Bali.
Jadi, hingga sekarang, Flashy punya empat toko milik sendiri. Selain itu, Flashy juga punya space khusus di distro Yogyakarta dan Malang. Tak hanya pasar lokal, kini Flashy juga merambah pasar fashion Malaysia.
Omzet Flashy pun kian membumbung. Rentangnya dalam sebulan sekitar Rp 500 juta–Rp 1 miliar saban bulan. Adapun produksi distro ini mencapai 7.000 pieces dalam sebulan. Sekitar 80 persenpemasukan berasal dari penjualan retail. Sisanya didapat dari penjualan secara konsinyasi, pembelian putus, dan online store.
Flashy Shop baru saja merayakan hari jadi ke-16 pada 7 April lalu. Meski sudah belasan tahun malang melintang di bisnis distro, bukan berarti Ade Andriansyah dan Windy Wulandary, pemilik Flashy Shop, tak lagi menjumpai tantangan dalam berbisnis.
Tantangan yang kini dihadapi pasangan tersebut adalah menciptakan produk yang terus-menerus up to date dan digemari oleh konsumen. Lantaran target pasarnya kebanyakan anak muda, mereka juga harus pintar-pintar menciptakan produk dengan harga terjangkau dan kualitas terjaga.
Kompetisi yang kian ketat dengan clothing dan distro lain, juga terus mendorong Ade untuk melihat berbagai peluang. Rencananya Flashy akan membuka toko di negeri Jiran. “Distribusi produk kami sudah cukup luas, makanya kami berharap tahun depan bisa buka toko di Malaysia,” ucap Ade.
Selain itu, Ade juga merambah bisnis mesin border komputer sejak 2005. Lini bisnis ini cukup membantu Ade dan Windy dalam menentukan desain produk. Di masa mendatang, mereka berkeinginan menambah jumlah mesin tersebut. “Mesin ini juga dipakai distro lain,” tambah Ade.
Selain itu, Ade dan Windy pun bakal menambah toko offline tahun ini. Setiap tahun mereka menargetkan pembukaan dua gerai baru. Untuk tahun ini, ada tiga kota yang menjadi sasaran Flashy Shop, yakni Makassar, Lombok, dan Jakarta. Terakhir, untuk melengkapi produk Flashy, tahun ini juga mereka akan menambah produk baru yakni sepatu.
Bagi orang-orang yang ingin menggeluti bisnis serupa, Ade punya beberapa tip. Keyakinan dan totalitas dalam berbisnis jadi kunci utama. Dua faktor ini penting karena bisnis tidak selalu mulus.
Jadi, jika di tengah jalan timbul masalah, pelaku usaha tak lantas menyerah. Tak lupa ia menyarankan agar membuat sistem manajemen yang baik. “Manajemen tidak harus langsung sempurna tapi harus terus diperbaiki agar bisa menilai bisnis sudah sampai ke level mana,” ucap dia.
No comments:
Post a Comment