Indonesia termasuk penghasil biji kakao terbesar kedua setelah Pantai Gading. Namun, angka impor biji kakao terus menanjak. Penyebabnya, biji kakao lokal berasa pahit dan tidak menguarkan aroma cokelat akibat tidak difermentasi terlebih dulu. Padahal, industri olahan cokelat membutuhkan biji kakao penghasil aroma cokelat.
Rendahnya mutu biji kakao lokal menjadi perhatian pemerintah belakangan ini. Kendati terlambat, Yusni Emilia Harapan, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, mengatakan Kementerian Pertanian telah menerbitkan aturan yang mewajibkan petani untuk memfermentasi biji kakao. Keterlambatan ini disebabkan pemerintah menunggu pernyataan tidak keberatan dari negara anggota organisasi perdagangan dunia (WTO).
Yusni mengatakan Kementerian Pertanian akan memberlakukan standar nasional Indonesia (SNI) untuk biji kakao. "Sudah keluar Peraturan Menteri Pertanian pada 21 Mei 2014 dan akan diwajibkan atau berlaku efektif mulai 2016," katanya di kantornya, Jakarta, Senin, 23 Juni 2014. Peraturan itu mewajibkan petani memfermentasi biji kakao terlebih dulu. Kebiasan mayoritas petani adalah menjual langsung biji kakao. Padahal, petani merupakan pemilik 94 persen perkebunan kakao. Kebiasaan ini disebabkan harga biji kakao non-fermentasi dan fermentasi tidak jauh berbeda.
Agar petani terpacu, pemerintah mengiming-imingi dengan menetapkan harga biji kakao fermentasi lebih mahal Rp 3.800-4.000 ketimbang harga biji non-fermentasi. Harga biji non-fermentasi mencapai Rp 36 ribu per kilogram. Yusni mengatakan sosialisasi standarisasi dan sertifikasi biji kakao domestik sudah dimulai bersamaan dengan Gerakan Nasional (Gernas) Kakao pada 2009. Namun, menurut Direktur Jenderal Perkebunan Gamal Nasir, Gernas baru menjangkau 400 hektare dari total 1,7 hektare perkebunan kakao.
Jumlah ekspor biji kakao menunjukkan tren penurunan, yaitu sebesar 432 ribu ton pada 2010, lalu 210 ribu ton pada 2011, turun lagi menjadi 165 ribu ton pada 2012, dan hanya 180 ribu ton pada 2013. Adapun nilai ekspor kakao olahan meningkat, yakni sebesar US$ 669 juta pada 2012, menjadi US$ 705 juta pada 2013.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan pemerintah akan mewajibkan petani memfermentasi biji kakao. Menteri Pertanian tengah menyiapan peraturan menteri yang berisi kewajiban memfermentasi tersebut. "Maret ini akan terbit," kata Gamal, Jumat, 28 Februari 2014.
Proses fermentasi adalah memeram dan menjemur biji kakao selama enam hari. Saat digiling, biji fermentasi mengeluarkan aroma cokelat. Adapun biji nonfermentasi hanya menghasilkan rasa pahit dan sepet. Pabrik cokelat yang ada di Indonesia lebih membutuhkan biji fermentasi untuk menghasilkan tepung cokelat.
Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, mengatakan 90 persen petani tak memfermentasi biji kakao. Akibatnya, pabrik cokelat tak bisa menyerap seratus persen biji kakao milik petani. Padahal kapasitas pabrik disebut lebih besar ketimbang produksi biji kakao. Untuk memenuhi kebutuhan biji fermentasi, pabrik mengimpor biji kakao dari Pantai Gading dan Ghana. Impor biji kakao mencapai 62 ribu ton pada 2012, terbesar sepanjang sejarah impor kakao. Volume impor tahun lalu, yang masih dihitung, diprediksi lebih besar. Alasannya, hingga Mei 2013, volume impor mencapai 11 ribu ton. Jumlah itu lebih besar ketimbang periode yang sama 2012, yakni 10 ribu ton.
Zulhefi menilai ogahnya petani memfermentasi biji disebabkan harganya tak jauh beda dengan nonfermentasi. Seperti yang dirasakan Lempoi, petani kakao di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia mengatakan tengkulak menghargai biji fermentasi Rp 16 ribu per kilogram, adapun biji nonfermentasi dibanderol Rp 14 ribu per kilogram. Lain lagi dengan Muhammad Hasyim, petani kakao di Blitar, Jawa Timur. Ia bisa menjual biji kakao nonfermentasi Rp 24 ribu per kilogram. "Buat apa memfermentasi, toh harga jualnya tak jauh dari nonfermentasi," ujarnya. "Inilah persoalan utama petani kakao Indonesia."
Keluhan Lempoi dan Hasyim diketahui Gamal. Menurut dia, pemerintah akan mengintervensi harga biji fermentasi agar lebih baik. "Idealnya selisih dengan nonfermentasi Rp 4.000 per kilogram," katanya. Gamal mendesak agar peran tengkulak ditekan supaya petani dapat menikmati gurihnya menjual biji kakao. "Akan kami lakukan pendekatan kepada pabrik," katanya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto heran dengan meningkatnya impor biji kakao karena Indonesia produsen terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. "Ini pekerjaan rumah buat Kementerian Pertanian, ada apa dengan kakao kita," katanya, Selasa, 25 Februari 2014. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, punya jawaban untuk Panggah. "Biji kakao kita tak beraroma cokelat, kurang berkualitas," katanya. "Kalau digiling hanya menghasilkan rasa pahit dan sepet."
Menurut Zulhefi, biji kakao pahit akibat tidak difermentasi. Proses fermentasi membutuhkan pemeraman dan penjemuran rata-rata enam hari. Lamanya proses ini yang membuat petani ogah melakukan fermentasi. "Apalagi harganya tak jauh dari biji nonfermentasi," katanya. Hampir 90 persen petani kakao Indonesia tak memfermentasi biji kakao. Akibatnya, 18 pabrik cokelat di Indonesia tak banyak menyerap biji kakao tersebut. Zulhefi menilai mayoritas pabrik membutuhkan biji fermentasi untuk menghasilkan tepung cokelat.
Karena sedikit, biji kakao dalam negeri hanya sebagai campuran. Bahan baku utamanya yaitu kakao fermentasi yang diimpor dari Pantai Gading dan Ghana. "Inilah yang membuat impor biji kakao terus menanjak," katanya. Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia, punya pendapat lain. Menurut dia, impor biji kakao disebabkan produksi biji kakao rendah, yaitu kurang dari 500 ribu ton, di bawah kapasitas mesin pabrik cokelat yang hampir 700 ribu ton.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir membantahnya. Gamal menyebut produksi biji kakao mencapai 712 ribu ton. "Apalagi hitungan dinas di daerah bisa mencapai 800 ribu ton," katanya. Para pecinta buku jelas akan banyak mengisi waktu luang di toko buku. Bagi mereka, menghabiskan waktu di toko buku untuk mendapatkan buku favoritnya akan sangat menyenangkan. Alasannya bisa beragam, mulai dari jenis koleksi buku, kedekatan dengan pemilik toko, keterjangakauan jarak, harga, dan yang terpenting suasana toko.
Tapi bagaimana membuat pelanggan buku betas berada di toko buku? Sebuah penelitian dari Hasselt University Belgia menemukan cara mudah dan murah untuk membuat para pelanggan buku betah berada di toko. Mereka tidak sekedar menghabiskan waktu untuk membaca, tetapi sampai membeli buku tadi.
"Pengecer dapat menggunakan aroma cokelat untuk memperbaiki lingkungan toko, yang menyebabkan konsumen mengeksplorasi took," tulis Lieve Douce, seorang peneliti dari Hasselt University Belgia. Penelitian Lieve telah dimuat dalam Jurnal Psikologi Lingkungan. Penelitian ini dilakukan terhadap 201 orang pelanggan toko buku. Lima dari pelanggan itu mengaku menikmati suasana toko ketika ada aroma cokelat. Bahkan mereka cenderung mengabiskan waktu untuk melihat aneka judul buku atau hanya berbincang dengan penjaga toko.
“Pelanggan akan 2,22 kali lebih mungkin untuk meneliti beberapa buku ketika aroma cokelat hadir di toko, dibandingkan dengan kondisi biasa, " tulis tim Douce. Aroma cokelat akan mudah diidentifikasi. Jurnal tersebut melaporkan penjualan buku meningkat hingga 40 persen ketika aroma cokelat mengudara. Tak dijelaskan berapa besar nilai penjualan buku sebelumnya. Namun ini perlu dicoba dan idealnya aroma yang digunakan harus sesuai dengan jenis toko. Misalnya, bau asin untuk toko surfing.
No comments:
Post a Comment