Penjualan gas dari Lapangan Tangguh di Papua telah dilakukan sejak 2002 pada tahun kedua Megawati Soekarnoputri menjabat presiden Indonesia ke 5, ke Fujian di Tiongkok dan Sempra di Amerika Serikat (AS). Gas ini memang dijual murah dan berkontrak panjang hingga 2034. Kenapa?
Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan sejarah penjualan gas yang harganya disepakati US$ 2,4 per mmbtu di 2002 lalu. Harga ini tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi. "Tangguh di Papua Barat itu ada gas besar sekali. Diolah, dibor di situ oleh operatornya adalah BP (British Petroleum). Itu kontrak yang terjadi tahun 2002. Jumlahnya 40 kargo per tahun. Kontraknya berlaku sampai 2034. Jadi sampai dengan tahun 2034, itu kontrak Tangguh," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Adapun dalam kontrak tersebut, lanjut Jero, hasil dari produksi dua blok tersebut adalah untuk kepentingan ekspor yakni kepada Fujian dan Sempra. "Ada dua blok, itu kontraknya seluruhnya diekspor, 100% ekspor. Sebagian ke Fujian, sebagian ke Sempra, Amerika Serikat. Jadi 0% yang untuk domestik," lanjut Jero.
Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel. Alhasil, harga tersebut bertahan selama masa kontrak, sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat.
"Rumusnya waktu itu, 5,25% x JCC + 1,35 (FOB/free on board) itu harga di Tangguh. JCC itu harga minyak mentah di Jepang yang jadi patokan kita waktu itu. Nah, harga JCC-nya dipatok maksimum US$ 26 per barel tidak boleh lebih. Itu yang menyebabkan, harga gas kita ke Fujian dari Tangguh jadi terpatok. Dengan rumus tadi, maka harganya menjadi US$ 2,7 per mmbtu dan tidak bisa naik," papar Jero.
Jero mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua ini disusun di tengah berbagai keterbatasan saat itu, di mana Indonesia tidak dalam posisi tawar yang baik dalam menetapkan rumusan dan harga keekonomian gas yang diekspor dari blok migas tersebut. "Kenapa harganya tidak bisa naik, karena kontraknya bunyinya seperti itu. Saya yakin situasi saat itu juga sulit. Makanya bunyi kontraknya seperti itu. Jadi jangan menyalahkan masa lalu," tegas Jero
Melihat kondisi tersebut, diakui Jero, Pemerintah sendiri bukan tanpa usaha untuk memperbaiki harga sehingga posisi tawar Indonesia menjadi lebih baik. "Tahun 2006 pada saat pemerintahan presiden SBY diadakan renegosiasi, dapat sedikit naik, harga JCC-nya dinaikkan menjadi US$ 38 per barel. Dengan rumus itu, maka harga gas kta adalah US$ 3,3 per mmbtu. Itu tahun 2006. Kemudian tahun 2010, sempat diadakan renegosiasi tapi tidak berhasil. Nah, di 2011, saya menjadi Menteri ESDM bulan Oktober. Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga ke Fujian," kata Jero.
"Bapak Presiden SBY ada pertemuan dengan Presiden Tiongkok. Bapak Presiden ketika itu menyampaikan agar perjanjian yang di Fujian untuk direnegosiasi, masa harga (minyak) dunia sudah US$ 100 per barel, di Fujian masih US$ 38 per barel. Itu kan tidak fair, tidak adil. Dan yang terbaru kemarin kita berhasi teken renegosiasi di 20 Juni 2013," jelasnya.
Pemerintah telah berhasil merenegosiasi harga gas alam cair (LNG) ekspor Tangguh, Papua ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu. Namun bila melihat sejarahnya dulu, Jepang siap membeli mahal LNG dari Indonesia, tapi pemerintah justru menjual ke Tiongkok dengan harga yang murah.
Hal tersebut seperti diungkapkan pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi. Menurut Kurtubi, melihat sejarahnya, pada 2002 penjualan gas ke Tiongkok menjadi permasalahan, karena pemerintah menjualnya dengan harga murah yakni hanya US$ 2,4 per mmbtu dan maksimal US$ 3,35 per mmbtu, dengan berdasarkan harga patokan minyak Jepang (Jepang Crude Cocktail/JCC) maksimal US$ 38 per barel.
"Padahal saat itu Jepang itu berburu gas, berapapun dia siap beli, tapi kita justru jualnya ke Fujian, tentu ini jadi pertanyaan, mengapa dijual murah, kenapa ke Fujian, siapa aktor di balik penjualan ini," ujar Kurtubi Selasa (1/7/2014).
Kurtubi memberikan bukti, Jepang mau membeli gas yang jumlahnya sedikit yang ada di Sulawesi yakni Donggi Senoro. Bahkan jauh sebelumnya atau 15 tahun sebelum menjual gas murah ke Fujian, pemerintah sudah menjual LNG Badak, Kalimantan Timur ke Jepang.
"Harga jual gas ke Jepang itu tidak ada batas maksimal, mengikuti berapa harga minyak bumi, kalau minyaknya naik seperti saat ini US$ 100 per barel harga LNG Badak ke Jepang naik US$ 16 per mmbtu, tidak perlu repot-repot renegosiasi, gas ke Fujian ini mengapa kok dijual murah dengan mekanisme maksimal US$ 3,35 per mmbtu," ungkapnya.
Ia menambahkan, apalagi penunjukan operator LNG Tangguh yakni BP (British Petroleum) ini juga aneh, karena PT Pertamina (Persero) mampu mengelola Blok Tangguh. "Buktinya apa? Pertamina sudah berhasil mengelola LNG Arun dan LNG Badak, semua fasilitas yang dibangun juga 100% bukan berasal dari APBN, tapi kok yang ditunjuk BP," ungkapnya lagi.
Kurtubi menambahkan, dirinya mengapresiasi keberhasilan pemerintah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual LNG Tangguh ke Fujian dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu, namun sebenarnya Indonesia masih rugi mengekspor gas ke Tiongkok.
"PLN saja membeli gas di dalam negeri US$ 9-10 per mmbtu, ini jual ke negara lain hanya US$ 8 per mmbtu, ini kan masih rugi kita, tapi namanya sudah kontrak jangka panjang 25 tahun sejak 2002, ya kita apresiasi lah keberhasilan ini daripada harganya tetap US$ 3,35 per mmbtu," tutupnya.
No comments:
Post a Comment