Sunday, October 5, 2014

BI: Emerging Market Harus Lakukan Reformasi Ekonomi Agar Tidak Terpukul Dollar

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan tren penguatan dolar karena kebijakan bank sentral Amerika, The Fed, perlu diantisipasi. Menurut Mirza, rencana The Fed menaikkan bunga pada tahun 2015 mendatang juga perlu diperhatikan secara saksama oleh sejumlah negara-negara yang tergolong emerging market.

"Negara emerging market harus melanjutkan reformasi ekonomi, menjaga makro rasio yang sehat, serta pro-investasi agar terhindar dari capital reversal," kata Mirza kepada Tempo, Sabtu, 4 Oktober 2014. Menjaga rasio makro yang sehat, menurut Mirza, dapat dilakukan lewat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di bawah 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Selain itu, menurut Mirza, pemberlakuan subsidi jangan sampai memberatkan APBN itu sendiri.

Hal selanjutnya yang dapat dilakukan adalah defisit transaksi berjalan berada di bawah 3 persen PDB. Neraca transaksi berjalan pada kuartal kedua 2014 diperkirakan masih akan defisit, terutama karena tak ada perubahan signifikan dalam komponen pada neraca tersebut bila dibandingkan kuartal sebelumnya. Neraca baru akan surplus apabila nilai ekspor jauh lebih tinggi daripada impor.

Selain ketiga hal di atas, Mirza melanjutkan, rasio utang luar negeri perlu dijaga sehat. Komposisi ULN pemerintah dan bank sentral pada Juli 2014 mencapai US$ 134,15 miliar. Sedangkan swasta mencakup industri perbankan mencapai US$ 29,16 miliar dan industri bukan bank mencapai US$ 127,24 miliar.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyarankan pemerintah untuk segera beruppaya memperkuat kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Ia mendorong pemerintah segera mengeluarkan kebijakan reformasi fiskal.

"Meskipun keuangan normal, upaya untuk memperkuat fundamental harus terus dijalankan," ujar Agus dalam Indonesia Banking Expo 2014, Jakarta, Kamis, 28 Agustus 2014.

Sejumlah reformasi fiskal yang mungkin dilakukan bisa berupa penguatan administrasi pajak dan pembatasan subsidi bahan bakar minyak. Selain itu, penanaman modal asing (PMA) juga harus diarahkan pada orientasi ekspor. "Saat ini PMA cenderung untuk memenuhi kebutuhan impor, mencukupi kebutuhan dalam negeri," ujar Agus. Hal ini diyakini dapat mengurangi biaya distribusi.

Ia menjelaskan, saat ini sebetulnya bukan masa teknologi rendah dan upah buruh murah serta komoditas berbasis sumber daya alam. Apabila industri sudah menggunakan teknologi tinggi dan sumber daya manusia berkualitas, kata dia, produk yang dihasilkan akan berkualitas baik. "Dulu Indonesia menggunakan produk lokal tapi jadi mahal karena kualitas kurang baik sehingga lagi-lagi impor.”

Hal ini penting, menurut Agus, mengingat masyarakat kelas menengah di Indonesia semakin bertumbuh. Karena itu, ketika tak diimbangi dengan kualitas produksi sementara konsumsi meningkat, terjadi kesenjangan antara supply dan demand. "Kesenjangan ini ditutup dengan impor," ujar Agus.

Terlebih menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan, yakni saat komoditas asing akan bergerak bebas memasuki Indonesia. Saat ini, kata Agus, Indonesia berpeluang memegang kendali karena 40 persen skala ekonomi ASEAN dikuasai Indonesia.

Indonesia juga menyumbang 50 persen dari jumlah penduduk ASEAN. "Jangan sampai potensi ini menjadi sebaliknya, Indonesia hanya menjadi pasar, bukan pemain," ujar Agus.

No comments:

Post a Comment