Mantan Menteri Lingkungan Hidup di Era Orde Baru, Emil Salim melihat ada beberapa kesalahan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Misalnya di sektor industri yang menurutnya berjalan tanpa 'otak' atau minim nilai tambah.
"Indonesia memang memiliki industri. Tapi produksi dari industri tersebut berjalan tanpa otak," ungkapnya dalam seminar nasional di Gedung Perpusatakaan, Jakarta, Rabu (22/10/2014).
Maksud tanpa otak tersebut adalah tidak adanya nilai tambah dari setiap produk yang dihasilkan, contohnya adalah logam dasar dengan pertumbuhan produksi terbesar mencapai 11%.
"Jangan pikir logam dasar itu hasil industri. Itu hanya mentah. Tanpa nilai tambah," sebutnya. Hal yang serupa juga terjadi pada tembaga, sampai sekarang Indonesia belum memiliki industri tembaga. Selama ini produk yang diekspor masih tergolong mentah hanya dalam bentuk konsentrat.
"Padahal sudah 40 tahun kita ada Freeport. Tapi kita tidak pernah ada industri tembaga," kata Emil.
Begitu pun dengan industri kelapa sawit, saat harga komoditas ini melonjak, banyak yang berbondong-bondong memproduksi kelapa sawit. Sayangnya produk yang diekspor masih dalam bentuk mentah atau crude palm oil (CPO/minyak sawit mentah).
"Kalau hanya mentah yang diekspor itu artinya tidak ada otak dalam produksi itu. Cuma digali terus diekspor. Makanya saya katakan industri kita berjalan tanpa otak," paparnya
Permasalahan industri lainnya adalah pada komponen bahan baku yang masih bergantung pada impor yaitu industri otomotif. "Mobil itu diproduksi di dalam negeri dan diekspor. Tapi bahan bakunya itu masih impor," terang Emil
Akibatnya, industri tidak bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi yang kuat. Semakin digenjot industri untuk tumbuh, maka semakin merusak fundamental ekonomi, karena tingginya angka impor bahan baku, sehingga mengganggu nilai tukar.
"Industri ini yang menjadi biang keladi defisit neraca perdagangan. Semakin digenjot industri, semakin tinggi impornya," katanya.
No comments:
Post a Comment