Sunday, October 12, 2014

Buah dan Sayur Impor Berhasil Kuasai Pasar Modern Indonesia

Ribuan warga Bogor memadai Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang untuk menghadiri makan bersama buah-buahan lokal dalam Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) yang dipusatkan di Kota Bogor, Ahad, 12 Oktober 2014. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempromosikan dan memberikan pendidikan kepada masyarakat agar mencintai buah lokal yang kualitasnya tidak kalah dengan buah impor.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, anggapan buah impor membanjiri pasaran nasional tidaklah sepenuhnya benar. Menurutnya, buah impor yang beredar di pasaran tidak lebih dari 8 persen dari produksi buah nasional. "Jadi masih sekitar 90 persen pasar sebenarnya dikuasai oleh buah lokal, karena buah impor yang beredar tidak lebih dari 9 persen," kata dia.

"Jika dibandingkan antara buah ekspor dengan yang impor masih defisit. Jika dihitung, buah yang kita impor hanya sekitar 7-8 persen dari produksi buah nasional. Pasar buah lokal masih membanjiri pasar kita, namun hanya pasar modern saja yang dibanjiri buah impor," jelas Suswono.

Kendati demikian, pihaknya menilai pemerintah harus melakukan pembenahan, terutama dalam hal manajemen pasokan buah karena tahun 2015 Indonesia sudah harus menghadapi perdagangan bebas, yang tentunya akan berpengaruh pada kebijakan dan kehidupan di masyarakat. "Itu yang harus kita siapkan dengan baik sehingga jangan sampai karena kira tidak siap, produk negara lain yang membanjiri masyarakat kita," kata dia.

Suswono yakin kualitas buah lokal jauh lebih baik dan eksotis karena tidak dimiliki negara lain. Suswono menambahkan, impor buah terpaksa dilakukan dengan berbagai alasan. Pertama karena jenis buah tertentu tidak tumbuh di daerah tropis. Kedua, ada alasan impor karena faktor resiprokal.

"Contohnya aja Indonesia menerima impor jeruk kino karena negara penghasil jeruk kino membeli CPO Indonesia dengan nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai impor jeruk kino," kata dia.

Perdagangan di sektor pertanian juga masih surplus senilai US$ 20 miliar per tahun. Serta nilai impor buah dalam dua tahun terakhir mulai menurun. Misalnya saja, tahun 2011 hingg 2012 impor buah kita di atas 2 juta ton. "Bahkan untuk tahun 2013 turun menjadi 1,5 juta ton. Hal ini, lanjut Suswono sekaligus menjadi bukti adanya penghargaan masyarakat terhadap buah lokal yang semakin meningkat," kata dia.

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Agus Purwito mengatakan, berdasarkan hasil analisis Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, secara keseluruhan nilai impor produk buah dan sayur Indonesia termasuk olahannnya pada tahun 2011 mencapai lebih kurang Rp 17,61 trilliun. "Nilai ini lebih tinggi dari impor Indonesia untuk komoditas beras senilai Rp 10,6 trilliun, jagung Rp 8,61 trilliun , kedelai Rp 9,38 trilliun, dan gandum Rp 17,02 trilliun," kata dia.

Berdasarkan data dari BPS, volume impor Indonesia tahun 2011 mencapai lebih kurang 832 ribu ton dan menghabiskan devisa lebih kurang Rp 8,5 trilliun dengan tingkat pertumbuhan impor rata-rata tahun 2007-2011 sebesar 17,98 % per tahun. "Sedangkan untuk ekspor buah segar Indonesia pada tahun dan periode yang sama baru mencapai volume 223 ribu ton, dengan nilai devisa yang diraih mencapai Rp 2,2 trilliun," kata dia.

Persoalan utama produksi buah lokal, menurutnya, adalah tingkat kerusakan yang cukup tinggi mulai dari pada saat produksi di kebun maupun paska panen. Tingkat kerusakannya bahkan bisa mencapai 30-60 %. Hal ini terjadi karena lebih dari 90 persen produksi buah-buahan Nusantara tumbuh di lahan pekarangan dengan jumlah kepemilikan rata-rata per petani hanya beberapa pohon saja. "Prasyarat dihasilkannya produk buah-buahan yang memiliki produktifitas, kualitas yang tinggi. Itu yang membuat buah lokal kalah bersaing dengan buah impor," kata Agus

Potensi Indonesia untuk bisa mengekspor buah-buahan cukup besar, terlihat dari iklim tropis yang cenderung cocok untuk berbagai tanaman buah. Hanya saja, menurut Ketua Umum Asosiasi Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja, pemerintah kurang mendukung produksi buah dalam negeri.

Johnny meminta pemerintah membuat pemetaan kawasan yang cocok untuk ditanami jenis buah tertentu. Seperti misalnya, di Nusa Tenggara Timur yang cocok untuk ditanami buah alpukat, Sulawesi yang cocok untuk buah sirsak, dan Sumedang yang cocok untuk buah sawo. Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga harus menyediakan bibit unggul agar saat panen buah terlihat bagus sehingga tak kalah saing dengan buah impor.

"Sekarang kita tidak punya pemetaan kawasan seperti itu, pemerintah hanya fokus pada jenis buah yang harus ditanam bukan melihat daerah mana yang cocok untuk tanaman apa," ujarnya saat dihubungi Tempo, Sabtu (4/6).

Di sisi petanii, dia menambahkan, perlu adanya pembinaan petani tentang keterampilan pasca panen. Sebab, saat mengangkut buah usai panen petani tidak berhati-hati sehingga tampilan buah banyak mengalami penyok dan tak menarik. Ini yang disebut Johnny sebagai salah satu penyebab buah impor lebih banyak dipilih oleh konsumen Indonesia.

"Konsumen pasti dalam memilih buah dan sayur yang pertama kali dilihat adalah kualitas, yaitu tampilan luarnya. Soal rasa urusan belakangan. Contohnya jeruk impor tampilannya lebih berwarna dan lebih bagus ketimbang buah lokal," ujarnya.

Dia menyebutkan, saat ini buah yang laris di pasar ekspor yakni manggis dan salak. Beberapa negara tujuan ekspornya ke Hongkong, Singapura, Malaysia, dan beberapa ke Timur Tengah. Untuk salak, sudah ada kawasan khusus seluas 3.400 hektare di Provinsi Jawa Tengah yang memang diperuntukkan bagi tanaman buah salak.

Sayangnya, menurut Ketua Komite Tetap Peningkatan Produk Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Handito Joewono, pemerintah kurang memikirkan pertumbuhan buah lokal. Buktinya, kata dia, pemerintah belum membenahi kondisi buruk sistem logistik dan distribusi buah di dalam negeri."Pemerintah harus segera menyelesaikan. Jika dibiarkan, suatu saat generasi petani tidak lagi berminat memproduksi buah," kata dia.

Buah lokal, lanjunya, mampu menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi. Dan jika pemerintah serius membenahi persoalan logistik dan distribusi, diperkirakan dalam tiga tahun ke depan buah lokal dapat bersaing di pasar internasional. "Tapi melihat kondisi saat ini, secara hitung-hitungan bisnis buah lokal lebih baik dikonsumsi di dalam negeri ketimbang diekspor," katanya.

Persoalan logistik dan distribusi buah lokal diakui Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim mendorong impor buah menjadi besar. Menurut pertimbangannya, biaya logistik antarpulau di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan dengan biaya transportasi dari luar negeri.

Dia menjelaskan, rata-rata impor jeruk dalam 3 tahun terakhir mencapai Rp 2 triliun per tahun. Salah satu cara mengurangi membludaknya buah impor, kata dia, dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Sedangkan masalah logistik dan distribusi perlu dibenahi bersama dengan Kementerian lain.

"Infrastruktur dan logistik harus menjadi perhatian Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum, sedangkan Kementerian Perdagangan yang seharusnya mengatur perdagangan antarpulau. Karena jika tidak segera dibenahi, maka biaya transportasi di dalam negeri akan tetap tinggi," ujarnya.

No comments:

Post a Comment