Wednesday, October 15, 2014

Ribuan Ton Gula Menumpuk Di Pabrik Karena Tidak Diserap Pasar

Pelaku gula saat ini menjerit dengan situasi sulit yang mereka alami. Situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, di PG Gempol Kerep Mojokerto kini hasil giling tebu berupa gula terus menumpuk di pabrik. Seharusnya dalam waktu 15 hari, gula-gula itu sudah harus jatuh ke pasar dengan cara dilelang.

Humas PG Gempol Kerep, Syamsu, menuturkan bahwa pihaknya kesulitan melepas gula hasil produksinya. "Selama 30 tahun saya bekerja di PG. Baru kali ini saya menemukan situasi sulit. Tak ada yang mau membeli gula kami. Gula terus menumpuk di pabrik. Ini bukan gudang," ucap Syamsu kesal setengah pasrah, Rabu (15/10).

PG Gempol Kerap pada musim giling tahun ini menargetkan hasil gula sekitar 65.000 ton. Gula-gula ini terus menumpuk karena tak terserap pasar. APTR setempat gagal melelang gula dengan harga Rp 8.100 per kilogram. Padahal harga ini sudah harga terendah dan jauh dari harga ideal.

Harga idel adalah minimal Rp 8.500 per kilogram. Harga ini akan bisa memberi surplus bagi petani setelah dipotong biaya operasipnal. Namun situasi saat ini sangat sulit mencapai harga itu. Meski dengan membanting harga di tingkat lelang, tetap saja tak laku. Sampai akhirnya memilih melelang ke kota lain. Situasi yang sama terus dialami. Tak laku.

Padahal hasil penjualan gula dengan lelang oleh APTR itu sangat dinantikan tidak hanya PG, tapi juga petani. Sebab, sumber dana dan keuangan untuk biaya operasional seluruh PG dan petani adalah dari lelang gula. Jika kondisi ini terus terjadi tanpa ada perubahan situasi, PG Gempol Kerep terancam tidak melanjutkan proses giling.

Saat ini, proses giling belum mencapai 40 persen. Tidak mungkin menggiling sementata di areal prosuksi menumpuk ribuan ton gula. Gula hasil PG ini diklaim yang paling baik. PG Gempol Kerep membawahi 33 koperasi petani. Mereka berada di Lamongan, Jombang dan Mojokerto.

Dari para kelompok tani ini dihasilkan tebu sebanyak 10,8 juta kwintal. Tahun ini, rendemen (kadar gula dalam tebu) tebu relatif bagus. Meski diakui kemarau panjang sangat berpengaruh. Rendemennya masih 7,9 persen. Target rendemen adalah 8,3 persen. Rendemen ini masih lebih baik dibanding tahun lalu yang hanya 7,2 persen.

"Salah satu penyebab situasi sulit ini adalah pemerintah yang malah mengimpor gula. Membanjirnya gula impor inilah muaranya. Lha harga gula impor Rp 6.000," kata Syamsu.

Karyawan PG Mulai Jualan Gula
Dengan situasi sulit yang dialami sekarang, hampir seluruh karyawan PG terkena dampak langsung. Saat ini, para karyawan di PG Gempol Kerap harus mau jualan gula. Selain untuk "menyingkirkan" tumpukan ribuan ton gula di pabrik, juga untuk mendapatkan suntikan dana segar. Operasional pabrik dan gaji karyawan juga sangat bergantung dengan hasil lelang gula.

Karena melalui mekanisme lelang tidak membuahkan hasil, kini PG Gempol Kerap setengah memaksa karyawannya sendiri untuk ikut mengurangi tumpukan gula di PG. "Ya mereka teman-teman karyawan kini harus jualan sendiri gulanya. Saya sudah tawar-tawarkan ke pihak ketiga," kata Syamsu.

Bahkan harga jual gula ini juga relatif rendah. PG Gempol Kerep mematok harga Rp 8.100 per kilogram. Namun harga ini berlaku untuk minimal pembelian minimal 50 ton. Ini pula yang sudah dilakukan Syamsu sendiri, menawarkan ke semua pihak yang mau.

Saat ini, sebanyak 1.300 karyawan di PG terus dipacu untuk ikut membantu mengatasi situasi sulit. Karyawan juga mengaku baru kali ini harus ikut jualan gula. Diakui Samsu bahwa mati hidupnya PG bergantung stabil dan anjloknya harga gula. Roda perputaran PG sangat bergantung ini.

Apa pun situasinya, Syamsu menegaskan tidak boleh menyerah dengan situasi saat ini. Sekarang sudah banyak gula yang laku melalui karyawan. Melibatkan karyawan menjual gula adalah bagian dari berwira usaha. Menjual dan mencari chanel.

Syamsu berharap banyak dengan pemerintahan baru nanti. "Jika situasi terus sulit begini, akan mengancam kehidupan para karyawan. Malah bisa-bisa para karyawan ini digaji dengan gula. Sebaiknya memang impor gula dihentikan," kata Syamsu.

Saat ini, biaya produksi di tingkat petani sangat tinggi. Wajar jika petani saat ini menjerit dengan harga gula yang di luar nalar. Untuk bisa mengembalikan ongkos produksi, mulai tanam hingga tebang. Harga Rp 8.300 adalah harga ideal.

Tidak saja gula impor yang akan mengancam prikehidupan industri gula dan petani. Ada ancaman serius terkait kecukupan kebutuhan gula dalam kurun waktu mendatang. Mojokerto yang saat ini terbangun jalan tol menjadi ancaman serius lenyapnya lahan pertanian. Pembangunan perumahan sampai gudang dan industri sudah di depan mata.
Ancaman tol. Berimbas pada pabrik

Lima tahun ke depan lahan tebu masih akan ada. Tapi setelah sepuluh tahun, tidak ada lagi lahan di Mojokerto. Apalagi kini ada pembangunan sentra industri baru di Mojokerto yang memakan lahan 10.000 hektare.

"Salah satu solusi menekan ongkos produksi mau tidak mau harus mengadopsi tenaga mesin. Dengan traktor dan menghindari tenaga manusia. Apalagi ketesediaan tenaga manusia sulit. Soal lahan yang terancam, PG Gempol Kerep akan melakukan ekspansi ke Lamongan yang relatif aman dari ancaman tol," kata Syamsu.

Kisruh gula nasional ikut membawa Badan Urusan Logistik Divisi Regional (Divre) Jawa Timur ikut menanggung dampaknya. Sebab sekitar 2.308 ton gula tersimpan di gudang Bulog Kebonagung, Kabupetan Malang dan sulit dijual.

Perum Bulog membeli gula produksi PT Rajawali Nasional Indonesia (RNI), salah satu BUMN produsen gula pada April 2014. Sebanyak 2808 ton gula dari Pabrik Gula (PG) Krebet milik RNI kemudian dipindah ke gudang Bulog Kebonagung.

“Jadi yang melakukan pembelian itu Bulog pusat, sementara Divre Jatim ditunjuk untuk mengambil barang dari PG Krebet. Barang harus segera kami pindahkan, karena kalau tidak kami kena pinalti,” ungkap Kadivre Bulog Jatim, Rusdianto, Rabu (15/10/2014).

Gula tersebut kemudian dikirim ke beberapa Divre lain, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan ke luar Jawa. Namun hingga saat ini, hanya 500 ton gula yang bisa dijual. Selebihnya, 2.308 ton masih tersimpan di gudang Kebonagung.

Kondisi ini tidak lepas dari perbedaan harga pembelian, dengan harga pasaran. Saat pembelian, kesepakatan antara Bulog dan RNI sebesar Rp 8.760 per kilogram. Sementara kondisi saat ini, harga di pasaran untuk partai antara Rp 8.500 sampai Rp 8.600 per kilogram. Kondisi ini menyulitkan Bulog untuk menjual gula tersebut secara partai.

“Kami tidak mungkin lagi menjual dengan system partai, karena harganya sudah kalah di pasaran. Mau tidak mau kami harus mengecer,” terang Rusdianto. Masih menurut Rusdi, kondisi yang sama juga dialami Bulog di provinsi lain. Mereka kesulitan menjual, sehingga tidak lagi minta kiriman dari Jawa Timur.

Kondisi ini berbeda dari sebelumnya, dimana surplus gula Jawa Timur bisa dijual ke luar Jawa, khususnya Indonesia timur. Rudi mengakui, pada pemasok lain yang memenuhi kebutuhan gula di wilayah tersebut. Mereka menjual dengan harga lebih murah. Akibatnya Bulog tidak bisa lagi menjual dengan standar harga yang sama.

Namun saat ditanya, siapa pihak yang menggantikan peran Bulog, Rusdianto enggan menjawab. “Sebenarnya bisa dilihat, produsen gula ya itu-itu saja, terus ada pihak swasta juga. Tapi siapa yang mengendalikan harga, bukan kapasitas saya menjawab,” kilahnya.

Untuk memudahkan penjualan, Bulog Divre Jatim terpaksa berinovasi dengan cara diecer. Gula yang tersisa dikemas dalam plastik ukuran satu hingga beberapa kilogram. Akibatnya bulog harus mengeluarkan biaya ekstra untuk plastik, timbang dan kemas sebesar Rp 500 per kemasan.

Untuk menekan harga, Rusdianto bahkan sampai harus memberdayakan karyawannya.
Setidaknya setiap orang menyempatkan diri mengemas 10 bungkus gula. Cara ini meniadakan biaya kemas dan timbang. “Kalau plastik memang harus untuk kemasan. Kalau karyawan kita sendiri yang nimbang dan mengemas, kan bisa menekan ongkos,” ujarnya.

Dengan cara ini Bulog bisa menjual dengan harga Rp 9.400 per kilogram. Gula-gula tersebut kemudian dipasok ke 13 sub-divisi regional yang ada di Jawa Timur untuk dipasarkan. Cara ini juga tidak sepenuhnya berjalan lancar.

Dari 13 sub-Divre tersebut, hanya Malang yang Tulungagung stoknya habis. Itu pun jumlahnya hanya beberapa ton. Sementara stok sub-Divre lain masih menumpuk dan belum order lagi. Di lain sisi, Bulog harus bekerja ekstra untuk menjaga kualitas gula yang ada di gudang Kebonagung Malang.

“Untung saja tikus tidak suka dengan gula. Kami usahakan agar tidak ada sirkulasi udara, sehingga gula tidak turun kualitasnya dan tidak meleleh,” tutur Rusdianto. Meski demikian, Rusdianto yakin hingga akhir tahun seluruh stok gula yang tersisa bisa terjual habis. Caranya, kini Bulog Divre Jatim pintar-pintar menggalakan penjualan langsung ke tengah masyarakat. Antara lain melalui pasar rakyat, bazaar dan pasar murah yang banyak diminati warga.

Momentum operasi pasar juga dimaksimalkan untuk mengeluarkan stok yang ada di gudang. Rusdianto berharap ada momentum kenaikan harga, diiringi permintaan pasar.
“Karena Bulog menjual gula ini murni kegiatan bisnis kami. Kalau begini terus Bulog bisa merugi,” pungkasnya.

Sementara pejabat lain yang enggan disebut namanya, selain produsen gula dalam negeri, ada pihak swasta yang juga menjadi produsen gula. Ada pula para importir terdata yang turut menjadi pemasok gula di dalam negeri. Pada kenyataannya banyak gula yang beredar di masyarakat tanpa terkendali. Bahkan gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri, juga turut beredar bebas.

Gula dengan kandungan diabetes tinggi ini berbaur dengan gula konsumsi dalam kemasan eceran. “Sebenarnya gampang saja, berapa kebutuhan nasional dan berapa kekurangannya. Kekurangan ini yang kita tutup dengan import. Tapi kondisi saat ini kan memang sengaja dimainkan,” ujar pejabat tersebut.

No comments:

Post a Comment