Ketua Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia Chris Hardijaya mengatakan tingkat produktivitas gandum di Indonesia masih sangat minim. Karena itu, menurut dia, pengusaha memilih untuk mengimpor gandum agar industri roti mereka tetap tumbuh.
"Hingga kini, Indonesia masih bergantung pada Australia untuk impor gandum," ujar Chris di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis, 23 Oktober 2014, seusai acara pemaparan Festival Roti Internasional di Muenchen pada November tahun depan.
Chris menuturkan kondisi lahan di Indonesia belum memungkinkan untuk menambah produktivitas gandum. Alasannya, untuk produksi beras sebagai bahan pangan pokok saja Indonesia masih perlu cadangan sawah akibat konversi lahan industri yang semakin pesat. "Lahan untuk beras saja sulit, apalagi gandum yang bukan kebutuhan primer," katanya.
Berdasarkan hasil analisis Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor, nilai impor gandum tahun ini mencapai Rp 17,02 triliun. Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia sebesar 70,7 persen, Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.
Sebelumnya, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan berujar, setiap tahun, Indonesia mengimpor 7,1 juta ton gandum dari Amerika. "Kita terlalu banyak memberikan pendapatan bagi petani Amerika," tuturnya
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), Ratna Sari Loppies, mengatakan mendukung revisi aturan impor yang disebutnya paket kebijakan ekonomi jilid dua. Ini terkait dengan keuntungan yang akan didapatkan pengusaha terigu melalui kebijakan tersebut.
“Tentunya saya mendukung karena akan memberi nilai tambah pada produk kami. Cuma perlu dipelajari, kemudahannya seperti apa,” katanya melalui sambungan telepon, Senin, 9 Desember 2013.
Namun, paket kebijakan kemudahan impor tujuan ekspor, bagi Ratna, bukan tuntutan utama pengusaha terigu terhadap pemerintah. Ia lebih menyoroti pajak pertambahan nilai (PPN) produk turunan terigu, seperti biskuit, mi instan, dan lain sebagainya. “Misal, industri biskuit kena PPN 10 persen. Begitu biskuit masuk toko, jadi kena pajak lagi 10 persen. Konsumen terbebani dengan pajak ini,” kata Ratna.
Walaupun diberikan kemudahan impor gandum, pihaknya tidak akan menurunkan harga terigu. Hal ini disebabkan harga terigu yang menurut dia masih stabil. Jika sebelumnya memang terjadi lonjakan kenaikan harga, Ratna akan mempertimbangkan harga produknya diturunkan.
Seperti yang diketahui, pengusaha terigu butuh mengimpor gandum untuk memproduksi terigu. Gandum merupakan bahan baku utama pembuatan terigu. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor gandum nasional berkisar sebesar 2,52 persen dari keseluruhan impor non-migas atau seharga US$ 2,9 juta dolar dari Januari-Oktober 2013. Ratna memperkirakan produksi terigu dalam negeri tahun ini mencapai lima juta ton.
No comments:
Post a Comment