Friday, October 10, 2014

Ketimpangan Ekonomi Di Indonesia Tinggi Karena Partai Yang Korup

Ketimpangan ekonomi yang tinggi, di atas 0,4, mengkhawatirkan. Jika kondisi ini terus berlanjut, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Bambang Sudibyo khawatir, pemerintah pendek akal, dan cari gara-gara seperti yang dilakukan China.

Dalam kesempatan Indonesia Knowledge Forum 2014, Jumat (10/10/2014), memaparkan apa yang terjadi pada negeri tirai bambu, di mana ketimpangannya sangat tinggi. "Partai Komunis China itu korup sekali, sama seperti Indonesia. Membuat ketimpangan dan kemarahan rakyat China," kata dia.

Namun, apa yang dilakukan pemerintah China? Bambang bilang, pemerintah China tahu betul energi dari bawah yang ingin menyerang pemerintahan secara vertikal sangat besar. Pemerintah China lantas menggunakan dendam rakyat terhadap Jepang sebagai alat untuk memindahkan kebencian.

"China dulu dijajah Jepang, dengan sangat tidak manusiawi. Dua negara ini, Korea dan China, sangat anti kepada Jepang. Pemerintah China paham betul akan berat menghadapi rakyatnya sendiri, sehingga mereka membuat sengketa dengan Jepang. Kemarahan rakyat yang tadinya vertikal menjadi horizontal," terang Bambang.

Lebih lanjut, dia mengatakan, dari pengalaman China itu, bukan tidak mungkin jika kesenjangan Indonesia makin tinggi dari saat ini, pemerintah akan menjalankan cara yang diambil pemerintah China.

"Barangkali pemerintah kita akan bikin gara-gara. Dengan siapa lagi, kalau bukan dengan Malaysia. Pasti nanti akan ada kambing hitamnya," ucap mantan Menteri Keuangan itu.

Informasi saja, pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau tahun 2005 indeks gini Indonesia di level 0,36. Pada 2011, indeks gini Indonesia dan hingga sekarang sudah capai 0,41.

Ketimpangan ekonomi penduduk Indonesia yang tercermin dari indeks gini semakin mengkhawatirkan. Indeks gini ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara. Dengan indeks gini di atas 0,4, ketimpangan di Indonesia tergolong tinggi.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Bambang Sudibyo mengatakan, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai pemerintahan, indeks gini Indonesia di level 0,36 (2005). Pada 2011 indeks gini sudah mencapai 0,41.

"Dulu zaman Pak Harto saja belum pernah seperti ini (ketimpangan tinggi). Pak Harto saja yang otoriter tidak pernah indeks gininya setinggi ini. Dan ini terjadi pada zaman SBY," kata dia dalam Indonesia Knowledge Forum 2014, di Jakarta, Jumat (10/10/2014).

Lebih lanjut, mantan menteri keuangan itu menuturkan, pembangunan adalah biang kerok dari munculnya ketimpangan sosial. Namun di sisi lain, pemerintah gagal memberikan kebijakan bagi utamanya petani.

Dia mencontohkan, pembangunan "gagal" menyebabkan ketimpangan di negara-negara seperti Thailand, Singapura, Malysia, dan Argentina, tinggi. Bahkan ketimpangan di Thailand mencapai 0,531, sedangkan di China juga tercatat tinggi mencapai 0,48.

"Kenapa Thaksin populer? Karena indeks gini di masyarakatnya sangat tinggi," imbuh Bambang, disambut riuh tawa peserta forum.

Bambang menyebut, sejumlah negara berhasil melakukan pembangunan dan menjadi negara maju, namun ketimpangannya juga rendah. Sebut saja, Perancis (0,32), Taiwan (0,326), Korea (0,321), serta Jerman (0,27). Australia juga memiliki ketimpangan sosial rendah. Indonesia, kata dia, sudah selayaknya belajar dari negara-negara yang berhasil ini.

Pembangunan salah arah
"Dalam sebuah diskusi, saya pernah bertanya ke Ketua Komite Ekonomi Nasional, yang sekarang menjadi Menko Perekonomian, Chairul Tanjung. Saya tanya, kenapa ketimpangan jadi tinggi begini? Dia (Chairul) bilang, itu biasa. Pembangunan seperti itu," sebut Bambang.

Namun, melihat data-data negara yang memiliki ketimpangan tinggi dan rendah tadi, Bambang yakin ada hal lain yang bisa dilakukan pemerintah, agar pembangunan tidak menciptakan ketimpangan.

Dia bilang, di Amerika Serikat, pemerintah mendukung betul Usaha Kecil Menengah, sehingga indeks gininya kecil.

Di sisi lain, dia melihat, ketimpangan di Indonesia bisa dilihat dari memburuknya nilai tukar petani pangan. Data BPS mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2014, NTP umum mengalami kenaikan, namun NTP petani pangan memburuk signifikan.

"Petani pangan, utamanya beras, kesejateraan agregatnya memburuk," ujar Bambang.

Kesimpulannya, lanjut dia, hal ini menunjukkan bahwa pengenalian inflasi melalui impor pangan hanya melindungi daya beli konsumen. Namun, dampaknya adalah menurunkan NTP petani pangan, yang berarti impor telah menurunkan insentif untuk bertani pangan.

"Ini mengancam kemandirian pangan, yang menjadi salah satu Trisakti-nya Bung Karno, yang kini menjadi visi-misinya Jokowi-JK," kata Bambang.

No comments:

Post a Comment