Thursday, July 2, 2015

Daftar 13 Maskapai Penerbangan Indonesia Yang Memiliki Modal Negatif

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan ada 13 maskapai penerbangan nasional yang memiliki ekuitas negatif berdasarkan laporan akuntan publik. Untuk itu, pemerintah meminta maskapai-maskapai tersebut untuk menambah modal. “Ada yang minusnya sekitar Rp 100 juta, Rp 100 miliar, terbesar sekitar Rp 150 miliar,” ujar Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Muhammad Alwi ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (2/7).

Ketigabelas maskapai tersebut menurut Alwi antara lain: AirAsia, Air Pasifik Utama, Asialink Cargo Airlines, Batik Air, Cardig Air, Eastindo Services, Ersa Eastern Aviation, Johnlin Air Transport, Manunggal Air Service, Nusantara Buana Air, Survai Udara Penas, Transwisata Prima Aviation, dan Tri-MG Intra Airlines.

“Maskapai-maskapai tersebut diberikan waktu satu bulan hingga 31 Juli untuk memperbaiki ekuitasnya. Ada yang sudah janji untuk menyelesaikan dalam satu minggu ini,” tutur Alwi. Menurut Alwi, seluruhnya sudah berkomitmen untuk memperbaiki ekuitasnya. Dengan ekuitas yang sehat diharapkan tingkat keamanan penerbangan akan terjaga. “Ada yang minta waktu karena menunggu laporan akuntan publiknya, yang kedua ada yang memang equity-nya (sudah) minus,” ujarnya.

Lebih lanjut, dua maskapai besar seperti AirAsia dan Batik Air sudah secara khusus melaporkan kesiapannya untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam waktu dekat. “Mereka (AirAsia dan Batik Air) dalam minggu ini akan menyelesaikan, sudah saya panggil. Mereka itu perusahaan besar tidak mungkin tidak menyelesaikan kewajibannya,” tutur Alwi. Apabila hingga 31 Juli 2014 masih ada maskapai yang ekuitasnya negatif maka, Alwi memastikan Kemenhub akan mencabut izin usaha angkutan penerbangan terkait.

“Kalau sudah dicabut izin usahanya, maka semuanya (aktivitas) usahanya di-drop, sudah tidak bisa apa-apa lagi,” ujarnya. Pemerintah memberikan waktu hingga 30 Juli 2015 bagi maskapai penerbangan berjadwal yang belum memenuhi kepemilikan dan penguasaan minimal pesawat yang diwajibkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Selama proses pemenuhan ketentuan itu, mulai 30 Juni 2015 izin usaha angkutan udara niaga maskapai yang bersangkutan dibekukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengancam jika hingga waktu yang sudah ditentukan, maskapai yang dimaksud belum juga memenuhi persyaratan kepemilikan pesawat maka otomatis izin angkutan udaranya dicabut. “Tidak bisa diundur-undur lagi. Undang-undangnya saja sudah terbit 2009. Kenapa implementasinya baru enam tahun kemudian,” kata Jonan dikutip dari laman Kemenhub, Kamis (2/7).

Kebijakan kepemilikan pesawat sendiri tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 97 tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kepemilikan dan Penguasaan Pesawat Udara. Beleid tersebut diteken Jonan pada 3 Juni 2015 dan diundangkan satu hari kemudian yakni pada 4 Juni 2015. PM 97 Tahun 2015 menyatakan maskapai berjadwal wajib memiliki paling sedikit lima pesawat dan menguasai minimal lima pesawat dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai rute yang dilayani.

Mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) itu mengatakan ada beberapa cara bagi maskapai komersial untuk memenuhi persyaratan kepemilikan pesawat selain membeli tunai. Salah satunya adalah dengan financial lease. Akan tetapi, untuk skema pembayaran seperti itu, regulator menuntut adanya keterangan legal dari notaris atau konsultan hukum. “Pernyataan dari konsultan hukum itu perlu, yakni bahwa ini (pesawat) akan dimiliki oleh maskapai. Cara seperti ini sama dengan membeli motor dengan diangsur,” ujarnya.

Selain dengan skema tersebut, dalam PM 97 Tahun 2015 disebutkan kepemilikan pesawat udara bisa ditempuh melalui sewa-menyewa pesawat dengan hak opsi untuk membeli. Itu dibuktikan dengan jaminan dari pemilik bahwa penyewa wajib memiliki pesawat tersebut pada masa akhir sewa yang disahkan dengan notaris. Maskapai juga bisa mendapatkan hibah atau hadiah pesawat yang dibuktikan dengan dokumen yang sah. Atau, maskapai bisa memiliki pesawat atas dasar keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuasaan hukum tetap.

Sebelumnya PT Sriwijaya Air berupaya melindungi anak usahanya PT National Aviation Management (NAM) Air dari sanksi larangan terbang karena belum bisa memenuhi ketentuan kepemilikan pesawat. Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air menjelaskan sebelum kesepakatan hibah pesawat dibuat, NAM Air yang belum lama beroperasi sejak Desember 2013 lalu baru memiliki dua unit Boeing 737-500.

Namun saat peluncuran NAM Air, CEO dan Presiden Direktur Sriwijaya Air Group Chandra Lie telah membuat Memorandum of Understanding (MOU) pembelian 100 unit pesawat R-80, buatan PT Ragio Aviasi Industri (RAI), suatu perusahaan swasta nasional yang mendapuk B.J. Habibie sebagai komisaris. “Di tengah proses perjanjian dan pengadaan pesawat tersebut ada ketentuan pemerintah yang harus dipenuhi. Oleh karena itu NAM Air harus melakukan upaya strategis untuk melengkapi persyaratan UU tersebut sehingga menggandeng Sriwijaya Air melengkapi 10 unit pesawat yang dioperasikannya dengan pesawat tipe Boeing 737-500,” ujar Agus beberapa waktu lalu.

Hibah pesawat Sriwijaya kepada anak usahanya secara otomatis akan mengurangi jumlah pesawat yang dioperasikan perseroan dari sebelumnya sebanyak 37 pesawat yang terdiri dari 737-800 NG, 737-400, 737-300 dan 737-500. Namun, Agus memastikan hal tersebut tidak membuat Sriwijaya melanggar ketentuan kepemilikan pesawat. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan telah membekukan (suspend) sementara dua maskapai penerbangan nasional karena tidak memenuhi standar kelaikan keselamatan dan belum memenuhi syarat kepemilikan pesawat minimum sesuai yang diinstruksikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

“Satu maskapai memiliki Air Operator Certificate (AOC) 121 yaitu Air Maleo dan satu lagi pemegang AOC 135 Pura Baruna Wisata,” kata Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Muzaffar Ismail ketika ditemui di kantornya, Jakarta (2/7). Air Maleo merupakan maskapai penerbangan charter yang melayani angkutan kargo, sedangkan Pura Wisata Baruna merupakan maskapai penerbangan tidak berjadwal yang melayani angkutan penumpang. “Mereka mengakui sudah tidak bisa memenuhi aturan kepemilikan pesawat, mau bilang apa,” ujar Muzaffar.

Sebelumnya, sesuai pasal 118 butir 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, maskapai penerbangan berjadwal harus mempunyai lima pesawat berstatus milik dan lima pesawat dikuasai.  Sedangkan bagi maskapai niaga tidak berjadwal dan khusus (kargo) harus mempunyai minimal satu pesawat berstatus milik dan dua pesawat sewa. Adapun kelaikan keselamatan pesawat-pesawat tersebut harus dipenuhi.
Aturan turunan dari ketentuan kepemilikan pesawat tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 97 tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kepemilikan dan Penguasaan Pesawat Udara. Beleid tersebut diteken Menteri Jonan pada 3 Juni 2015 dan diundangkan satu hari kemudian yakni pada 4 Juni 2015. Muzaffar mengungkapkan, kedua maskapai tersebut diberikan waktu 1 bulan hingga 31 Juli untuk memenuhi ketentuan tersebut. Apabila tidak dapat dipenuhi, maka Kemenhub terpaksa mencabut izin usaha kedua perusahaan.

“Setelah 1 Agustus mereka bisa beroperasi kembali, kalau memenuhi (ketentuan) tersebut. Kalau tidak memenuhi mereka akan dicabut izin usahanya,” ujar Muzaffar. Maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk. menghibahkan empat pesawat Boeing 737-800 kepada anak usahanya yang melayani penerbangan low cost carrier (LCC), PT Citilink Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi aturan kepemilikan pesawat dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

“Sekarang Citilink sudah ditambahkan lagi jumlah pesawat yang dihibahkan (dari Garuda Indonesia). Ada penambahan (Boeing) 737 (kepada Citilink) jadi sudah memenuhi apa yang disyaratkan oleh pemerintah maupun yang disyaratkan oleh undang-undang," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo dalam paparan publik di kantornya, Tangerang, Jumat (15/5).

Arif mengungkapkan hingga Maret 2015 Citilink telah mengoperasikan 38 pesawat dengan rincian empat pesawat milik jenis Boeing B737-300 dan 34 pesawat sewa jenis Airbus A320-200. Rencananya, hingga akhir tahn 2015, Citilink akan mengoperasikam sebanyak 40 pesawat. “Kita (telah) hibahkan jadi total delapan (pesawat milik). Pesawat baru yang masuk nanti menggantikan pesawat lama. Karena ada Airbus A320 yang harus diganti,” tutur Arif.

Sebagai informasi, sesuai dengan Pasal 118 UU Nomor 1 Tahun 2009, setiap maskapai penerbangan berjadwal harus memiliki setidaknya lima pesawat berstatus hak milik dan lima pesawat lagi berstatus sewa. Ketentuan tersebut harus dipenuhi paling lambat pada tanggal 30 Juni 2015. Apabila tidak terpenuhi, maka Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memiliki wewenang untuk mencabut izin operasional maskapai tersebut (Air Operator’s Certificate/AOC).
Arif mengungkapkan tahun ini Garuda Indonesia akan melakukan penambahan sebanyak 18 pesawat. Adapun rinciannya terdiri dari 7 pesawat jenis Boeing 737-800 NG, 3 pesawat jenis Boeing 777-300ER, 3 pesawat jenis CRJ-1000, 3 pesawat jenis ATR 72-600, dan 2 pesawat jenis Airbus 330-300.

“Jadi 18 pesawat ini yang akan menopang pertumbuhan (Garuda Indonesia) di tahun 2015" kata Arif dalam kesempatan yang sama. Sebelumnya, hingga Maret 2015 Garuda Indonesia telah mengoperasikan sebanyak 136 unit pesawat yang terdiri dari 117 pesawat berstatus sewa dan 19 pesawat berstatus milik.

No comments:

Post a Comment