Monday, October 5, 2015

Ekonomi China Terus Alami Pelambatan, Bnak Dunia Khawatir Gejolak Financial

Bank Dunia memprediksi kelesuan ekonomi dan guncangan sektor keuangan masih akan membayangi kawasan Asia Timur dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu yang menjadi perhatian utama Bank Dunia adalah perekonomian China, yang diramalkan akan terus melambat hingga 2017 setelah diyakini tumbuh 7 persen pada tahun ini.

“Pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur melemah karena ekonomi Tiongkok berupaya mendapatkan keseimbangan dan kemungkinan normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat,” kata Sudhir Shetty, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik di Singapura melalui teleconference Senin (05/10).

Menurut Shetty, pelambatan ekonomi yang akan terjadi di China pada 2016-2017 dampak yang upaya otoritas terkait di negara tersebut mengendalikan dan menangani resiko penurunan ekonomi. Kebijakan stabilisasi ekonomi China yang menjadi sorotan antara lain pemangkasan utang negara, pelarangan menabung di luar sistem perbankan, dan serta memperbesar peran negara dalam sistem keuangan.

"Jika pertumbuhan Tiongkok semakin melambat, dampaknya dapat dirasakan di seluruh kawasan, terutama di negara-negara yang terhubung dengan Tiongkok melalui perdagangan, investasi dan pariwisata," tuturnya.  Tak hanya faktor China, Bank Dunia juga mempehitungkan pula rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) menaikkan suku bunga acuannya dalam beberapa bulan ke depan.

"Meski kenaikan ini telah diantisipasi, dan diharapkan berlangsung secara teratur, tetap ada resiko pasar dapat bereaksi terhadap pengetatan tersebut, yang dapat menyebabkan depresiasi mata uang, meningkatnya perbedaan imbal hasil, surat utang negara, berkurangnya aliran dana dan pengetatan likuiditas," jelas Sudhir Shetty. Menurut Shetty, faktor-faktor ini dapat menimbulkan guncangan finansial dalam jangka pendek. Namun, semua itu dinilai sebagai penyesuaian yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Axel van Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik menilai melambatnya ekonomi China ditandai dengan bergesernya struktur ekonomi Negeri Tirai Bambu, dari yang sebelumnya mengandalkan industri kini lebih berorientasi pada konsumsi domestik dan sektor jasa.  Apabila China bisa tumbuh 7 persen pada tahun ini, maka negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur diramalkan Bank Dunia hanya akan tumbuh 4,6 persen pada 2015.

Indonesia, bersama negara-negara produsen komoditas lainnya seperti Malaysia dan Mongolia diyakini juga akan terkena imbasnya. Penurunan harga komoditas menyebabkan perekonomian ketiga negara ini akan tumbuh perlahan dan berakibat pada menurunnya pendapatan negara.

"Sedangkan negara-negara importir komoditas akan bertahan stabil, bahkan tumbuh. Vietnam, misalnya, diharapkan tumbuh 6,2 persen pada 2015 dan 6,3 persen pada 2016," tutur Trotsenburg. Konsultan Ekonomi dan Bisnis Ramah Lingkungan, Green Investment cooperations (IGIco) Advisory menilai keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) mempertahankan suku bunga acuan merupakan bagian dari sinkronisasi kebijakan ekonomi dan moneter global yang mulai mengacuhkan keberadaan China sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. 
 
Martin Panggabean, Ekonom IGICo Advisory menuturkan kebijakan The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga acuannya justru menunjukkan pengakuan bahwa China dan nilai tukar Yuan sudah tidak dapat lagi dimarjinalkan. Perlambatan ekonomi China dengan kebijakan devaluasi Yuan-nya, menurut Martin memberikan bobot yang besar bahwa kondisi global masih dalam posisi rentan.

“Yang penting ditangkap dari keputusan The Fed ini adalah (AS) berusaha memarjinalkan Yuan sebagai mata uang dunia, tampaknya justru menunjukkan pengakuan bahwa China dan nilai tukarnya sudah tidak dapat lagi (bisa) dipinggirkan,” ujar Martin Panggabean melalui keterangan tertulis, kemarin.

Dia mengatakan, keputusan The Fed juga bisa dianggap sebagai bagian dari sinkronisasi kebijakan ekonomi moneter secara global seperti yang tersirat dari imbauan pimpinan IMF Christin Lagarde kepada AS. “The Fed sudah lama tidak menaikkan suku bunganya. Lebih baik memastikan data yang diperlukan benar-benar jelas dan tegas, untuk menaikkan suku bunganya,” ujar Martin mengutip pernyataan Lagarde pada pertemuan pimpinan G-20 di Ankara, Turki awal September ini.

Dalam beberapa hari ini, lanjut Martin, volatilitas pasar keuangan masih tetap tinggi dan diperkirakan masih akan terus terjadi. Hal ini konsisten dengan pernyataan China bahwa masih ada gejolak pasca pecahnya bubble pasar China yang harus dibersihkan. “Namun tidak naiknya The Fed justru memang memperpanjang siklus ketidakpastian dan akan menciptakan spekulasi-spekulasi baru. Dengan demikian volatilitas masih akan terus terjadi,” katanya.

Di sisi lain, Martin menilai kebijakan moneter yang diambil Bank Indonesia (BI) untuk tidak mengubah BI rate sudah tepat. Dia beranggapan betapapun menggiurkannya insentif mendorong ekonomi di tengah pelemahan rupiah dan penurunan cadangan devisa, tetapi dampak negatifnya terhadap sektor riil juga harus dipertimbangkan.  Dengan demikian, keberanian BI untuk mempertahankan BI Rate adalah langkah yang tepat” tuturnya.

Sementara pemerintah, lanjut Martin, perlu mengimbangi kebijakan moneter BI dengan segera menerjemahkan paket deregulasi dan debirokratisasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih nyata. Untuk itu, dia berharap segera terbit peraturan-peraturan seperti yang disebutkan dalam matriks paket kebijakan ekonomi jilid I Joko Widodo (Jokowi).

“Walaupun tampaknya terburu-buru, namun berbagai peraturan tersebut perlu dikeluarkan dengan kualitas yang tinggi," tuturnya.  Eksekusi paket kebijakan deregulasi tersebut, kata Martin, merupakan pembuktian bagi pemerintah kelak untuk memanfaatkan peluang yang muncul pasca normalisasi kebijakan moneter The Fed dan upaya China menstabilkan ekonominya.

"Kondisi ini memberikan window of opportunity selama beberapa bulan ke depan sehingga pemerintah bisa berupaya menggerakkan perekonomian dengan kondisi eksternal yang relatif stabil‎," jelasnya.

No comments:

Post a Comment