Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyumbang penerimaan ke kas negara sebesar Rp 686,27 triliun sampai September 2015 atau baru 53 persen dari target Rp 1.294,26 triliun. Angka tersebut sedikit menurun 0,26 persen jika dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu Rp 688 triliun.
"Shortfall memang kami perkirakan Rp 120 triliun kurang lebih atau realisasinya sampai akhir tahun 91,6 persen dari target," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Mekar Satria Utama di Jakarta, Kamis (8/10). Menurut Satria hampir seluruh pos penerimaan pajak terkoreksi pada tahun ini, kecuali pajak penghasilan (PPh) non migas yang masih tumbuh sebesar 8,65 persen. Realisasi penerimaan PPh non migas per 30 September 2015 tercatat sebesar Rp 357,77 triliun atau 56,8 persen dari target Rp 629,84 triliun.
Berdasarkan jenis pajak PPh non migas, tiga penyumbang terbesarnya adalah PPh pasal 25 atau pasal 29 badan sebesar 32 persen, PPh pasal 21 sebesar 24 persen, dan PPh final 19 persen. Dari target pertumbuhan 10 persen pada tahun ini, setoran PPh 21 dari para pekerja hingga September 2015 tercatat tumbuh 9,8 persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.
Satria menjelaskan, belum tercapainya target pertumbuhan dikarenakan terkait dengan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 24,3 juta per tahun menjadi Rp 36 juta per tahun. Demikian pula untuk PPh badan usaha, pertumbuhannya hingga bulan kesembilan baru sebesar 5 persen dibandingkan dengan realisasi September 2014. Padahal, DJP ditargetkan untuk menaikkan penerimaan pajak ini sebesar 48 persen hingga akhir tahun.
"Faktor-faktor makroekonomi, seperti perlambatan ekonomi dan depresiasi rupiah sangat mempengaruhi kinerja penerimaan PPh 25/29 badan," jelas Satria. Sementara untuk PPh final atau yang tidak dapat dikreditkan, Satria mengungkapkan kenaikannya yang sebesar 54 persen telah melampaui target tahunannya 45 persen. Kendati demikian ada tantangan ke depan bagi DJP untuk memungutnya, yakni tren penurunan suku bunga, perlambatan penjualan dan kenaikan harga hunian, serta lambatnya penyerapan anggaran infrastruktur.
Di luar PPh non migas, DJP mengungkapkan penurunan serempak setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan, PPh migas, serta pajak lainnya. Untuk PPN dan PPnBM tercatat realisasinya selama Januari-September 2015 sebesar Rp 271,7 triliun atau baru 47,13 persen dari target 576,47 persen. Pencapaian tersebut mengalami penurunan 3,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, di mana saat itu tumbuh 7,6 persen.
PPN dalam negeri sebagai penyumbang terbesar pos pajak ini (61 persen), hingga kuartal III 2015 baru sebesar 49 persen. Kendati tumbuh 4 persen dibandingkan dengan kuartal III 2014, tetapi jauh di bawah target tahun ini yang dipatok 40 persen. Satria beralasan, perlambatan ekonomi yang memukul daya beli masyarakat dan rendahnya belanja pemerintah menjadi penyebab rendahnya setoran pajak konsumsi ini.
Penyumbang kedua terbesar PPN dan PPnBM adalah PPN impor, yakni sebesar 36 persen. Dari target pertumbuhan 47 persen pada 2015, hingga September setorannya justru anjlok 12 persen. Kali ini Satria menyebut merosotnya aktivitas impor, depresiasi rupiah dan kejatuhan harga minyak dunia sebagai biang keladinya. Meskipun tak mudah untuk mencapai target tinggi penerimaan pajak, Satria mengatakan DJP tetap akan mengupayakan sejumlah strategi untuk memaksimalkan setoran pajak di tiga bulan tersisa. Selain melakukan pembinaan serta melanjutkan penyidikan dan penyanderaan (gijzeling), DJP akan menggiatkan ekstensifikasi serta mengoptimalkan penanganan kasus faktur pajak fiktif.
"Namun memang ada sejumlah tantangan yakni kondisi makroekonomi global, perlambatan ekonomi regional dan domestik, realisasi belanja pemerintah," tuturnya
No comments:
Post a Comment