Penurunan suku bunga tersebut, menurut Anggito, dapat dimulai dengan memangkas bunga 25 basis point agar pasar tidak kaget. Dengan begitu, penurunan suku bunga diharapkan dapat diikuti oleh turunnya suku bunga perbankan dan sinkronisasi antara kebijakan nilai tukar dan upaya memperkuat daya saing ekspor.
Mantan Kepala Badan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga menyatakan bank sentral sangat mungkin menurunkan suku bunga karena inflasi pada tahun ini ditargetkan berada di angka 3-5 persen. "Ditambah harga BBM yang diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan karena rendahnya harga minyak dunia," ujarnya. Nah, dengan penurunan suku bunga, aliran modal yang masuk ke Indonesia juga terjaga. "Ini akan membuat pertumbuhan ekonomi kita akan lebih baik," kata Anggito.
Ia berharap BI akan mensimulasikan alternatif penurunan suku bunga ini. "Karena selama ini saya lihat BI lumayan responsif dengan pasar," ujarnya. Anggito memperkirakan BI bakal menurunkan suku bunga pada Februari atau Maret mendatang.
Penurunan suku bunga ini juga diharapkan akan mengantisipasi kondisi perekonomian dunia. Beberapa fenomena yang terjadi di antaranya perbaikan perekonomian Amerika Serikat dan kemungkinan penundaan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika (The Fed). Selain itu, ada sejumlah paket kebijakan stimulus di Eropa, Rusia, Cina, dan Jepang.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Fauzi Ichsan, memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) naik 25-50 basis point atau menjadi 8-8,25 persen pada semester kedua 2015. "BI Rate diperkirakan naik, tapi naiknya tidak banyak. Kebijakan BI Rate sangat bergantung pada kebijakan Fed Fund Rate," ujar Fauzi di Jakarta, Jumat, 13 Februari 2015.
Fauzi memprediksi suku bunga The Fed naik pada semester kedua tahun ini sebesar 25-50basis point dari 0,25 persen menjadi 0,5-0,75 persen, lebih rendah dibanding perkiraan analis global yang memprediksi kenaikan 75 basis point. Mengacu pada perkembangan ekonomi global, Fauzi juga tidak melihat adanya kemungkinan Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan. Terlebih saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan.
"Negara-negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, seperti Brasil, India, Turki, Afrika Selatan, dan Indonesia, tidak mungkin menurunkan suku bunga," kata Fauzi. Indonesia memang ikut terpukul karena anjloknya harga komoditas. Pada 2011, Indonesia mendapatkan keuntungan lantaran pada tahun itu tercatat harga minyak masih di atas US$ 140 per barel dan harga batu bara di atas US$ 120 per ton.
Sebanyak 60 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas, sehingga ketika harga komoditas naik, kinerja ekspor indonesia terbantu. Neraca transaksi berjalan Indonesia pun mengalami surplus US$ 2 miliar pada tahun itu. Akibatnya, pada 2010-2011, nilai tukar rupiah menguat.
Namun, dengan anjloknya harga komoditas, neraca perdagangan Indonesia ikut terpuruk, sehingga neraca transaksi berjalan menjadi defisit. Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan sekitar US$ 28 miliar, sedangkan pada 2014 sekitar US$ 25 miliar. Hal itu menjadi penyebab rupiah melemah tajam pada 2013 dan 2014.
Fauzi mengibaratkan defisit neraca berjalan suatu negara dengan utang perusahaan. Semakin besar kebutuhan utang suatu perusahaan, kata dia, semakin besar bunga yang harus dibayar. Bila defisit transaksi berjalan semakin tinggi, negara harus semakin menomboki defisit ini. "Semakin besar penombokannya, semakin tinggi suku bunga yang ditawarkan negara supaya aliran modal masuk ke negara tersebut," ujar Fauzi.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Fauzi Ichsan, memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) naik 25-50 basis point atau menjadi 8-8,25 persen pada semester kedua 2015. "BI Rate diperkirakan naik, tapi naiknya tidak banyak. Kebijakan BI Rate sangat bergantung pada kebijakan Fed Fund Rate," ujar Fauzi di Jakarta, Jumat, 13 Februari 2015.
Fauzi memprediksi suku bunga The Fed naik pada semester kedua tahun ini sebesar 25-50basis point dari 0,25 persen menjadi 0,5-0,75 persen, lebih rendah dibanding perkiraan analis global yang memprediksi kenaikan 75 basis point. Mengacu pada perkembangan ekonomi global, Fauzi juga tidak melihat adanya kemungkinan Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan. Terlebih saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan.
"Negara-negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, seperti Brasil, India, Turki, Afrika Selatan, dan Indonesia, tidak mungkin menurunkan suku bunga," kata Fauzi. Indonesia memang ikut terpukul karena anjloknya harga komoditas. Pada 2011, Indonesia mendapatkan keuntungan lantaran pada tahun itu tercatat harga minyak masih di atas US$ 140 per barel dan harga batu bara di atas US$ 120 per ton.
Sebanyak 60 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas, sehingga ketika harga komoditas naik, kinerja ekspor indonesia terbantu. Neraca transaksi berjalan Indonesia pun mengalami surplus US$ 2 miliar pada tahun itu. Akibatnya, pada 2010-2011, nilai tukar rupiah menguat.
Namun, dengan anjloknya harga komoditas, neraca perdagangan Indonesia ikut terpuruk, sehingga neraca transaksi berjalan menjadi defisit. Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan sekitar US$ 28 miliar, sedangkan pada 2014 sekitar US$ 25 miliar. Hal itu menjadi penyebab rupiah melemah tajam pada 2013 dan 2014.
Fauzi mengibaratkan defisit neraca berjalan suatu negara dengan utang perusahaan. Semakin besar kebutuhan utang suatu perusahaan, kata dia, semakin besar bunga yang harus dibayar. Bila defisit transaksi berjalan semakin tinggi, negara harus semakin menomboki defisit ini. "Semakin besar penombokannya, semakin tinggi suku bunga yang ditawarkan negara supaya aliran modal masuk ke negara tersebut," ujar Fauzi.
No comments:
Post a Comment