Perusahaan asurasi biasanya melindungi risiko bisnisnya dengan membagi beban ke perusahaan lain. Aktivitas ini disebut reasuransi. Di Indonesia, belum banyak perusahaan reasuransi sehingga perusahaan di luar negeri menjadi pilihan. Tingginya reasuransi ke luar negeri menjadi salah satu penyumbang defisit neraca jasa Indonesia karena banyak dana 'lari' ke luar negeri.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani menyebutkan, sepanjang 2013 pembayaran premi reasuransi menyumbang sedikitnya Rp 8 triliun dari total defisit neraca jasa.
"Rata-rata naik 16,1% tiap tahun. Kondisi defisit ini mencerminkan tingkat kemampuan perusahaan asuransi yang belum mampu menangani risiko," kata Firdaus di Jakarta, Jumat (20/2/2015). Oleh karena itu, Firdaus mengatakan, pihaknya terus mendorong agar tercipta industri reasuransi dalam negeri yang kuat. Salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi beban neraca jasa.
"Harus terus didorong dengan menciptakan link and match," ujarnya. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menyebutkan, tingkat penetrasi asuransi hingga Desember 2014 baru mencapai 2,14%. Ini jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang masing-masing sudah mencapai 4,9% dan 4,7%.
Sementara untuk industri dana pensiun, angka penetrasi di tahun 2014 baru mencapai 5,7%. "Ini tingkat ke-6 dari 6 negara. Di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam," katanya. Muliaman menjelaskan, rendahnya penetrasi ini menunjukkan masih terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap kedua industri tersebut. "Masyarakat perlu terus diedukasi," ucap dia.
No comments:
Post a Comment