Pemerintah memutuskan untuk tidak menurunkan harga bahan bakar minyak, baik premium maupun solar. I.G.N. Wiratmadja, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan harga bahan bakar minyak baik premium maupun solar masih tetap sama seperti yang diumumkan pada pertengahan Januari lalu.
“Rapat di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan harga BBM tetap, sesuai dengan hasil kajian atau penghitungan,” katanya pada Minggu, 15 Februari 2015.
Artinya, harga BBM sama dengan harga yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 16 Januari 2014 dan berlaku mulai 19 Januari 2014. Harga premium Rp 6.600 per liter untuk wilayah luar Jawa, Bali, dan Madura; harga premium di Jawa Rp 6.700 per liter, dan harga premium di Bali Rp 7.000 per liter. Khusus di Bali harga lebih mahal karena pajak bahan bakar kendaraan bermotor mencapai 10%. Adapun harga solar bersubsidi sebesar Rp 6.400 per liter.
Keputusan tersebut berbeda dengan janji Kementerian ESDM untuk menurunkan harga solar bersubsidi dari Rp 6.400 per liter menjadi Rp 6.200 per liter pada hari ini. Janji tersebut dilontarkan setelah Komisi VII DPR meminta pemerintah menurunkan harga solar bersubsidi karena dianggap kemahalan.
Kementerian ESDM mengakui harga solar ketika itu kemahalan, sehingga pemerintah telah mengambil untung dari bisnis penyaluran solar bersubsidi. Pemerintah berdalih bahwa keuntungan itu akan digunakan untuk membangun tangki timbun yang berdampak pada kenaikan cadangan operasional BBM nasional dari 18 hari menjadi 30 hari. Pemerintah juga berencana membangun cadangan strategis untuk 30 hari. Selain itu, margin yang cukup diperlukan bagi Pertamina untuk mengembangkan infrastruktur BBM di seluruh wilayah Indonesia.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menolak keputusan pemerintah yang menurunkan harga solar sebesar Rp 200 per liter atau turun 3,1 persen. Wakil Ketua II Aptrindo Sugi Purnoto menilai penurunan harga solar ini justru merugikan pengusaha angkutan truk. “Tidak adabenefit apa pun. Yang ada justru kerugian,” katanya pada Minggu, 15 Februari 2015.
Menurut Sugi, pengusaha angkutan truk tidak bisa serta-merta menurunkan uang jalan atau biaya operasional kepada sopir. Selain itu, pengusaha akan kesulitan menerima permintaan penurunan biaya transportasi dari pelanggan. Padahal, kata Sugi, negosiasi tarif transportasi akibat penurunan harga solar belum selesai sepenuhnya. “Jika penurunan ini tetap dilakukan, maka dampaknya akan negatif terhadap kelangsungan usaha trucking di Indonesia,” ujarnya.
Sugi menyarankan agar pemerintah tetap menahan harga solar di level Rp 6.400 dalam kurun minimal tiga bulan ke depan untuk menjamin bisnis angkutan truk. Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Hanafi mengatakan industri transportasi truk barang terkena imbas berat karena penurunan harga solar ini bertepatan dengan enam faktor lain. Keenam faktor tersebut adalah pelemahan rupiah, PPnBM untuk suku cadang, penyesuaian upah minimum, kenaikan tarif tol, suku bunga bank dan inflasi, serta kenaikan tarif dasar listrik.
Yukki menyarankan agar pemerintah memberi kemudahan fiskal, seperti penurunan PPnBM bagi suku cadang angkutan produksi, guna mengurangi beban pengusaha. “Kami sudah usulkan kemudahan fiskal ini sejak setahun lalu. Hanya Indonesia saja dari negara di ASEAN yang mengenakan bea masuk untuk suku cadang alat berat, termasuk kendaraan produksi,” katanya.
Pemerintah akan menurunkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar mulai hari ini, Minggu, 15 Februari 2015. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Teguh Pamudji, mengatakan pemerintah akan menurunkan harga solar dari Rp 6.400 menjadi Rp 6.200 per liter.
No comments:
Post a Comment