Kebijakan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel yang melarang impor pakaian bekas didukung pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan kian maraknya impor baju bekas membuat industri tekstil nasional semakin kehilangan pasar.
Menurut Ernovian, angka konsumsi pakaian Indonesia pada 2014 mencapai Rp 154,3 triliun. Dari angka tersebut, nilai impor baju yang resmi melalui izin impor di Kementerian Perdagangan sebesar Rp 48,02 triliun. Sedangkan yang dipasok industri dalam negeri senilai Rp 93,35 triliun. "Ada selisih Rp 10,9 triliun yang merupakan pakaian impor yang diduga ilegal atau tidak tercatat di Kementerian Perdagangan," katanya di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia, Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Menurut Ernovian, jenis pakaian yang diimpor secara ilegal ada dua macam, yakni baru dan bekas. "Ini, kan, seharusnya bisa diisi oleh produsen di dalam negeri," katanya. Tak hanya mendatangkan kerugian ekonomi, menurut Ernovian, impor pakaian bekas juga menyangkut harga diri bangsa. "Masak, kita pakai pakaian bekas bangsa lain?" katanya.
Larangan impor pakaian bekas sebenarnya sudah diatur sejak 1982 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 28 Tahun 1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Namun, penegakan hukum atas larangan ini masih lemah. Pakaian impor bekas leluasa masuk ke pasar Indonesia.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengajak masyarakat ikut menjaga kehormatan bangsa dengan tidak membeli pakaian impor bekas. “Mari kita jaga harkat-martabat bangsa. Masak, kita mau memakai bra dan celana dalam bekas bangsa lain?" kata Gobel.
Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo mengimbau importir pakaian agar tidak lagi mengimpor pakaian bekas. Sebab, ketentuan tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyatakan setiap importir wajib mengimpor barang baru, termasuk pakaian. “Berdaganglah yang lain, jangan baju bekas, agar dapat menjaga harkat-martabat bangsa,” kata Widodo.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan akan bersikap tegas terhadap impor baju bekas. Komoditas ini memang sudah lama dilarang masuk ke Indonesia. Namun hingga kini, penjualan baju bekas masih menjamur.
Contohnya adalah di Kota Bandung, Jawa Barat. Bila di Jakarta penjualan baju bekas berpusat di Pasar Senen, di Bandung terletak di Cibadak Mall atau dikenal dengan Cimol. Jangan bayangkan Cimol serupa pasar baju bekas lainnya yang becek dan pengap. Di sini, para pedagang baju bekas menempati los-los yang nyaman di dalam pasar. Ada pula tukang jahit untuk mempermak baju.
Konsumen yang datang juga beragam. Bukan hanya kelas bawah, penggemar baju bekas di Cimol banyak pula dari kalangan orang berduit. Saban akhir pekan, tempat parkir di Cimol nyaris selalu penuh. Selain dari Bandung, banyak mobil berpelat luar kota di antaranya dari Jakarta.
Cimol selalu ramai peminat karena harganya yang murah, namun model baju yang tak ketinggalan zaman. Menurut salah satu pedagang, Igun Gunawan, dia telah berjualan berbagai jenis jaket impor bekas sekitar 2 tahun lalu. "Jaketnya kebanyakan made in China sih, tapi ada beberapa buatan Korea, Jepang, dan Eropa," katanya.
Pakaian bekas ini ramai peminat karena harganya lebih murah dibandingkan pakaian baru. Untuk jaket gunung misalnya, dibanderol dengan harga Rp 300 ribu. Igun menyewa toko di Gede bage dengan harga Rp. 1 juta per bulan. Penghasilan yang dia peroleh setiap hari rata-rata sekitar Rp 200 ribu. "Kalau untuk penghasilan tidak menentu karena namanya juga pedagang kecil ya hasilnya juga kecil," ujarnya.
Sedangkan Yusmina, 53 tahun, pedagang lainnya menyatakan alasan pelarangan pakaian bekas karena mengandung penyakit, tidak masuk akal. "Kalau pakaian bekas impor itu mengandung bakteri yang membahayakan kenapa tidak ditutup dari dulu," ujar dia. "Buktinya sudah belasan tahun saya menjual barang bekas impor, mulai dari pakaian dalam, baju tidur, kemeja, bed cover, sampai jaket, tapi tidak terkena penyakit berbahaya," kata Yusmina.
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil mendukung kebijakan tersebut. "Kalau ternyata pengujian mendalam telah dilakukan dan terbukti ada bakteri yang mematikan, saya setuju asal sesuai dengan prosedur," katanya.
No comments:
Post a Comment