Aktivitas kelautan dan perikanan Kabupaten Malang terpusat di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Menurut Kepala Desa Tambakrejo Sudarsono aktivitas penangkapan dan penjualan lobster tetap berlangsung seperti sebelum peraturan tentang larangan menangkap lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus pelagicus spp) itu berlaku sejak ditandatangani Menteri Susi Pudjiastuti pada 6 Januari 2015.
Peraturan itu antara lain mengatur bahwa tiga bahan sajian makanan laut favorit di warung hingga restoran tersebut dilarang ditangkap dalam kondisi bertelur. Ukurannya pun dibatasi. Hanya lobster dengan panjang karapas lebih dari 8 sentimeter yang boleh ditangkap. Kepiting yang lebar karapasnya kurang dari 15 sentimeter dilarang ditangkap. Adapun rajungan yang boleh ditangkap harus memenuhi syarat lebar karapas lebih dari 10 sentimeter. "Maklumlah, kami ini orang ndeso. Tapi kami tahu maksud dan tujuan peraturan itu demi keberlanjutan stok dan populasinya di alam," kata Sudarsono, Rabu, 21 Januari 2015.
Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Perwakilan Bengkulu memusnahkan ratusan lobster karena melanggar aturan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015. Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar di halaman kantor Balai Karantina Ikan Bengkulu. "Karena tidak diambil oleh pemiliknya pascapenyitaan di Bandara Fatmawati, maka terpaksa kami musnahkan," kata Kepala Perwakilan Balai Karantina Ikan Bengkulu Dedy Arief, Senin, 2 Februari 2015
Ia berujar pemusnahan dilakukan karena masa penolakan telah habis dan tidak diambil oleh pemiliknya. Maka sesuai aturan, lobster yang dikenal memiliki nilai ekonomi tinggi itu dibakar lalu dikubur. Agar kejadian serupa tidak terulang, Dedy mengusulkan kepada pemerintah daerah supaya membuat peraturan daerah tentang ketentuan dan manajemen penangkapan lobster untuk mendukung Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Sebaiknya pemerintah daerah membuat regulasi dalam bentuk perda mengenai besaran alat tangkap sesuai standar peraturan menteri dan jadwal penangkapan, karena lobster muncul di musim kemarau. Ini harus diatur agar pengembangbiakkannya dapat berjalan alamiah," kata Dedy.
Sebelumnya, kantor perwakilan Balai Karantina Ikan Bengkulu menggagalkan ekspor ratusan ekor lobster. Lobster itu terpaksa disita karena tidak memenuhi persyaratan ekspor sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 01 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Ikan Hewan dan Tumbuhan.
Dari hasil pemeriksaan, terdapat 230 ekor lobster berukuran lebih dari 200 gram, 103 ekor berukuran di bawah 200 gram, dan satu ekor dalam kondisi bertelur. Lobster-lobster itu berjenis mutiara, batik, bambu, dan pasir, berasal dari Kabupaten Kaur dan Kepulauan Enggano.
Para nelayan di pesisir selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur, tetap menangkap dan menjual lobster tanpa berpedoman pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015. Penasihat Kelompok Nelayan Rukun Jaya itu mengatakan penangkapan lobster biasanya berlangsung pada Desember-Maret atau tergantung pada kondisi cuaca. Jumlah tangkapan lobster masih sedikit, antara 50 dan 100 kilogram per hari, bila cuaca sedang bagus. Tangkapan itu tidak sebanding dengan besarnya permintaan lobster.
Ketua Koperasi Unit Desa Mina Jaya Sendangbiru Dhofir menambahkan, nelayan tidak menentang peraturan itu karena tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan sangat sedikit dibanding tangkapan ikan. "Sendangbiru ini terkenal sebagai sentra tangkapan ikan laut, terutama ikan tuna. Kalau ditotal, jumlah tangkapan lobster, kepiting, dan rajungan masih kurang dari 1 persen dari seluruh tangkapan hasil laut kami," kata Dhofir.
Menurut Dhofir, nelayan Sendangbiru tidak terbiasa menjual lobster berdasarkan ukuran panjang karapas, melainkan beratnya. Rata-rata satu lobster yang ditangkap nelayan berbobot 2-3 ons dan berharga Rp 200-250.000. Kalau sedang paceklik, satu lobster berbobot 0,5 kilogram bisa laku Rp 500 ribu.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memastikan tak ada larangan menjual atau mengekspor lobster dan kepiting. Ia kecewa karena peraturan yang belakangan beredar tak disampaikan dengan benar. "Kami tidak melarang bisnis lobster dan kepiting. Yang dilarang adalah menjual lobster yang bertelur. Setelah telurnya dilepas, ya, boleh ditangkap untuk dijual," kata Susi saat ditemui seusai acara pelantikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 19 Januari 2015.
Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri pada 7 Januari 2015. Dalam salah satu pasal disebutkan pelarangan penangkapan lobster dengan ukuran cangkang kurang dari 8 sentimeter dan kepiting dengan ukuran cangkang kurang 15 sentimeter, serta rajungan dengan ukuran cangkang di bawah 10 cm.
Susi menuturkan beleid tersebut pada dasarnya bukan melarang. Tujuan pemerintah terutama adalah memastikan produksi tak merosot karena kepiting dan lobster yang bertelur dijual. Ia mencontohkan, di Nusa Tenggara Barat, kepiting dan lobster yang masih di bawah 200 gram dijual dengan harga murah. Padahal, menurut dia, jika dibiarkan di laut hingga bobot 300 gram, nilai jualnya menjadi lebih tinggi. "Persoalannya, selama ini dibiarkan," katanya.
Susi optimistis aturan ini bisa diterima seluruh kalangan pengusaha. Sebab, Kementerian Kelautan telah melakukan sosialisasi di berbagai tempat dengan berbagai cara. "Twitter juga jalan. Intinya, ini pembatasan, bukan pelarangan," ujarnya.
No comments:
Post a Comment