PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X berencana berinvestasi hingga Rp 1,125 triliun untuk membangun pabrik bioetanol, pembangkit listrik dari ampas tebu, dan peningkatan kapasitas pabrik gula pada tahun ini. Dari nilai investasi itu, sebanyak Rp 975 miliar diantaranya adalah dana Penyertaan Modal Negara (PMN).
"Kami ingin membangun satu lagi pabrik bioetanol di kompleks Pabrik Gula Ngadiredjo, Kediri, dengan kapasitas yang sama dengan pabrik bioetanol di Mojokerto," kata Direktur Utama PTPN X Subiyono saat menerima kunjungan Komisi Bidang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto, Jawa Timur, Senin 16 Februari 2015.
PG Gempolkrep terintegrasi dengan pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero) yang diresmikan 2013 dengan kapasitas produksi 30 ribu kiloliter bioetanol per tahun. Subiyono mengatakan bahan baku bioetanol cukup melimpah dengan perkiraan produksi tetes tebu sebesar 292.500 ton. "Sehingga bisa dibangun satu lagi pabrik bioetanol berkapasitas 30 ribu kiloliter per tahun," katanya.
Pabrik bioetanol di PG Ngadiredjo, Kediri, itu diharapkan bisa menghasilkan pendapatan Rp 294 miliar per tahun. Adapun selama ini tetes tebu dari pabrik gula milik PTPN X dijual mentah ke perusahaan lain seperti perusahaan pembuat bumbu makanan. "Akan lebih menguntungkan jika kami olah sendiri makanya kami ingin mempunyai satu lagi pabrik bioetanol di Kediri," kata Subiyono.
Selain pabrik bioetanol, PTPN X juga menyatakan akan membangun pembangkit listrik melalui proyek cogeneration di tiga pabrik gula antara lain PG Ngadiredjo (Kediri), PG Tjoekir (Jombang), dan PG Gempolkrep (Mojokerto). Nilai investasinya Rp 246 miliar. Cogeneration adalah program pembangkit listrik berbasis bahan baku ampas tebu (bagasse). Cogeneration di PG Ngadiredjo direncanakan berkapasitas 20 Megawatt (MW), PG Tjoekir 10 MW, dan PG Gempolkrep 20 MW.
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja Penyertaan Modal Negara DPR RI Azam Azman Natawijana mengatakan kalau kehadiran mereka untuk mengecek pabrik apakah sesuai dengan yang dipaparkan direksi dan sesuai rencana investasi yang disampaikan. Dia membenarkan bahwa pemerintah memberi bantuan penyertaan modal sebesar Rp 975 miliar untuk PTPN X untuk mengembangkan industri hilir tebu.
Ribuan petani dari empat kecamatan di Kabupaten Indramayu berunjuk rasa di Pendopo Bupati Indramayu, Senin, 5 Januari 2015. Mereka menolak hak guna usaha (HGU) atas hutan yang selama ini dijadikan lahan tebu oleh PT RNI II (PT PG Rajawali II).
Para petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan itu berasal dari empat kecamatan, yaitu Cikedung, Tukdana, Bangodua, dan Lelea. Kepala Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Taryadi, mengatakan warga desa secara turun-temurun mengelola kawasan hutan dengan sistem tumpang sari. Tapi, sejak hutan berubah menjadi perkebunan tebu, masyarakat desa itu kehilangan mata pencaharian.
Menurut dia, karena kehilangan mata pencaharian dari hutan, ribuan warga desa terpaksa melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. "Karena tak memiliki bekal pendidikan dan keahlian di kota, mereka ada yang jadi pemulung," ujarnya.
Tidak hanya itu, kata Taryadi, alih fungsi hutan menjadi perkebunan tebu juga berdampak bagi lingkungan. Banjir jadi sering terjadi pada musim hujan, dan kekeringan melanda pada musim kemarau. "Suhu udara jadi memanas, ada polusi akibat pembakaran tebu, serta ada penurunan kualitas dan kuantitas air tanah," ucap Taryadi.
Menanggapi hal itu, Kepala Urusan Hukum dan Agraria Perum Perhutani Adang Mulyana mengatakan PT RNI II atau PT PG Rajawali dan Kementerian Kehutanan telah menyepakati perjanjian tukar-menukar lahan perkebunan tebu pada 1976. Perjanjian itu menghasilkan HGU I bagi PT PG Rajawali II yang berlaku 25 tahun terhitung sejak 1976.
Selama masa HGU I, PT PG Rajawali II harus menyediakan lahan pengganti perkebunan tebu yang digunakan mereka. Namun, ternyata, lahan pengganti tak kunjung disediakan. Bahkan setelah habis masa berlakunya pada 2001, HGU itu diperpanjang menjadi HGU II.
Perkebunan tebu itu masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka. Di Kabupaten Indramayu terdapat sekitar 6 ribu hektare, sementara di Kabupaten Majalengka 5 ribu hektare. "Kami telah mengusulkan agar HGU II dicabut, dan fungsi lahan dikembalikan seperti semula, sebagai hutan," kata Adang.
No comments:
Post a Comment