Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Fauzi Ichsan memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) akan naik sekitar 25-50 basis poin atau menjadi 8-8,25 persen pada semester kedua 2015. "BI rate diperkirakan akan naik, tapi naiknya tidak banyak. Kebijakan BI rate sangat bergantung pada kebijakan Fed Fund Rate," ujar Fauzi di Jakarta, Jumat, 13 Februari 2015.
Fauzi memproyeksikan suku bunga The Fed sendiri memang akan naik pada semester kedua tahun ini sebesar 25-50 basis poin dari 0,25 persen menjadi sekitar 0,5-0,75 persen, lebih rendah dibandingkan perkiraan analis global yang memproyeksikan kenaikan sebesar 75 basis poin.
Dengan perkembangan ekonomi global, Fauzi juga tidak melihat adanya kemungkinan Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan, terlebih saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan. "Bagi negara-negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, seperti Brasil, India, Turki, Afrika Selatan, dan Indonesia, tidak mungkin negara-negara tersebut menurunkan suku bunga," kata Fauzi.
Indonesia memang ikut terpukul karena anjloknya harga komoditas. Pada 2011 lalu, Indonesia mendapatkan keuntungan di mana saat itu merupakan puncak harga komodiitas seperti harga minyak yang masih di atas 140 dolar per barel atau harga batu bara di atas 120 dolar per ton.
Ekspor Indonesia sebanyak 60 persen merupakan ekspor komoditas sehingga ketika harga komoditas naik, kinerja ekspor indonesia terbantu. Neraca transaksi berjalan Indonesia juga mengalami surplus 2 miliar dolar AS. Akibatnya, pada 2010-2011 nilai tukar rupiah sempat menguat.
Namun dengan anjloknya harga komoditas, neraca perdagangan Indonesia juga ikut terpuruk, sehingga neraca transaksi berjalan menjadi defisit. Pada 2013 lalu defisit neraca transaksi berjalan sekitar 28 miliar dolar AS dan pada 2014 diperkirakan sekitar 25 miliar dolar AS. Hal itu menjadi penyebab rupiah melemah tajam pada 2013 dan 2014.
Fauzi mengatakan defisit itu ibaratnya seperti utang perusahaan, semakin besar kebutuhan utang suatu perusahaan semakin besar bunga yang ia harus bayar. Sama juga dengan negara yang memiliki defisit transaksi berjalan, defisit ini harus dibiayai atau ditombok. "Semakin besar penombokannya semakin tinggi suku bunga yang ditawarkan negara supaya aliran modal masuk ke negara tersebut," ujar Fauzi.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menilai saat ini Bank Indonesia menghadapi dilema antara menggerakkan pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga yang rendah atau tetap melakukan kebijakan moneter yang ketat.
Fauzi mengatakan pada satu sisi pemerintah menginginkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan meminta Bank Indonesia menurunkan tingkat BI rate. Namun pada saat yang sama BI tidak bisa menurunkan suku bunga dengan mudah. "Ini memang dilema Bank Indonesia," kata Fauzi di Jakarta, Jumat, 13 Februari 2015.
Saat kampanye pemilihan presiden lalu, Presiden Joko Widodo menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Namun, lanjut Fauzi, jika pertumbuhan ekonomi dipicu setinggi itu maka otomatis impor modal dan bahan baku ke Indonesia juga akan meningkat. Kondisi ini otomatis mendorong defisit neraca transaksi berjalan Indonesia semakin melebar. "Rupiah bisa semakin terpuruk," kata Fauzi.
Pada saat yang sama nilai ekspor tidak bisa dinaikkan secara tajam sebab 60 persen ekspor Indonesia dalam bentuk komoditas. Padahal, harga komoditas juga diperkirakan tidak akan naik tajam. Oleh karena itu, kata Fauzi, satu-satunya cara untuk mengelola ekonomi dengan baik adalah dengan mengerem laju pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini Bank Indonesia menerapkan suku bunga yang cukup tinggi 7,75 persen.
Bank Indonesia sendiri sempat menahan suku bunga acuan di level 7,5 persen selama 13 bulan sampai November 2013 lalu untuk mempertahankan agar defisit transaksi berjalan tidak semakin melebar. Namun, ketika pemerintah menaikkan harga BBM pada bulan yang sama, BI langsung merespon dengan menaikkan suku bunga acuan 0,25 persen menjadi 7,75 persen.
No comments:
Post a Comment