"Karena kan sekarang produksi dunia sedang berlimpah tapi permintaan menurun makanya harga turun. Ya hukum supply and demand saja. Kalau mau harga naik lagi, memang salah satu solusinya produksi batu bara dalam negeri dikurangi," kata pria yang sering disapa SBS itu ketika ditemui di Food Security Summit, Jakarta, Kamis (12/2/2015).
Ia tidak menampik berkurangnya produksi batu bara di dalam negeri akan memberikan efek samping ke perusahaan. Efeknya mulai dari rapor merah perbankan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. "Ya, kalau ada dampak sampingan itu tidak bisa dihindari. Tentu semua punya konsekuensi. Tapi yang diharapkan kan tentu harga kembali seperti semula," ujarnya.
Bisnis batu bara di awal tahun ini memang masih lesu. Harga jual batu bara di pasar internasional juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Suryo menilai situasi yang buruk ini jangan diperparah dengan produksi yang tinggi. "Tidak bijak juga kalau produksi tetap jor-joran seperti sekarang nanti harga tambah anjlok. Lagian sekarang semua orang malah berlomba-lomba meningkatkan produksi di tengah kondisi seperti ini. Itu malah yang akan bikin harga tambah turun," ujarnya.
Berapa produksi batu bara Indonesia? Simak sambungan beritanya.Ditengah anjloknya harga batu bara sejak 2011 hingga saat ini. Ternyata masih banyak batu bara Indonesia yang diekspor secara ilegal. Pemerintah mengakui, pengawasannya cukup sulit.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, yang dikutip, Kamis (12/2/2015). Dalam setahun sekitar 50-60 juta ton batu bara per tahun diekspor secara ilegal. Banyaknya batu bara yang diekspor secara ilegal ini disebabkan sulitnya mengawasi pengapalan batu bara. Pasalnya, wilayah laut Indonesia begitu luasnya.
"Sampai saat ini belum ada aturan pemakaian pelabuhan ekspor batu bara. Sementara, pengapalan batu bara banyak dilakukan di tengah laut dengan cara transshipment, dari tongkang ke kapal (vessel), sehingga sulit diawasi," tulis Ditjen Minerba. Ekspor ilegal batu bara ini dapat dilihat berdasarkan perbandingan data ekspor Ditjen Minerba dengan Kementerian Perdagangan, di antaranya:
Pada 2008, Minerba mencatat ekspor batu bara mencapai 200 juta ton, namun Kemendang mencatat ekpor batu bara mencapai 210 juta ton. Artinya ada sekitar 10 juta ton ekspor batu bara yang tidak tercatat alias ilegal.
- Pada 2009, Ditjen Minerba mencatat ekspor batu bara mencapai 200 juta ton, namun Kemendang mencatat ekspor mencapai 240 juta ton.
- Pada 2010, Ditjen Minerba mencatat ekspor batu bara 210 juta ton, Kemendang mencatat ekspor batu bara 300 juta ton.
- Pada 2011, Ditjen Minerba mencatat ekspor batu bara mencapai 290 juta ton, namun Kemendang mencatat ekspor 350 juta ton
- Pada 2012, Ditjen Minerba mencatat ekspor batu bara mencapai 340 juta ton, namun Kemendang mencatat ekspornya mencapai 390 juta ton.
Tahun ini bukanlah tahun yang baik bagi bisnis batu bara. Selain harga jual internasional yang masih rendah, kebijakan pemerintah juga dinilai tidak mendukung. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Ekawahyu Kasih mengatakan, dua kebijakan yang bisa mencekik pengusaha tambang batu bara adalah kenaikan royalti dan pengenaan bea keluar.
"Berbagai isu regulasi pemerintah bisa mengakibatkan industri makin tertekan. Soal rencana kenakan royalti. Perusahaan tambang sekarang saja sudah rugi, apalagi kena royalti," ujarnya ketika dihubungi, Kamis (12/2/2014). Royalti ini, kata dia, di satu sisi bisa berdampak ke kesejahteraan rakyat Indonesia tapi di sisi lain justru makin membuat industri tambang terpuruk.
Rencananya pemerintah akan merivisi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Nantinya, revisi aturan itu akan mengubah besaran royalti usaha pertambangan mineral dan batu bara. Pemerintah berencana menyamakan tarif royalti batu bara antara perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Dalam PP No. 9 Tahun 2012 tersebut dinyatakan tarif royalti yang berlaku bagi perusahaan PKP2B berbeda dengan pemegang IUP. Pemegang PKP2B dikenakan royalty sebesar 13,5%. Sementara pemegang IUP ditetapkan 3-7% sesuai nilai kalori dari batubara.
Untuk industri batubara berkalori rendah ditetapkan royalti 3%, untuk berkalori sedang 5%, dan untuk yang berkalori tinggi 7%. Nah, nanti semua akan disamaratakan menjadi sebesar 13,5%. "Ada juga bea keluar. Sekarang saja tidak ada bea keluar ini sudah terpuruk, apalagi kalau ditambah bea keluar. Nanti harganya makin tidak kompetitif," ujarnya.
Pengenaan bea keluar ini dimungkinkan terjadi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Dua kebijakan pemerintah tersebut saat ini masih dibahas pemerintah. Harga jual batu bara terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Stok melimpah tidak sesuai dengan permintaan batu bara yang rendah.
Akibatnya, banyak perusahaan yang mengurangi bahkan sampai menyetop produksi sementara, sampai stok yang dimiliki bisa terserap oleh pasar. Buntut dari pengurangan produksi ini adalah karyawan yang dirumahkan dengan batas waktu yang tak ditentukan, hingga ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Maka dari itu, besar harapan pelaku usaha bisnis batu bara supaya pemerintah bisa turun tangan mengembalikan industri ini seperti masa jayanya sebelum krisis 2008 silam.Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Ekawahyu Kasih, mengatakan dalam kondisi bisnis batu bara yang sangat terpuruk seperti sekarang ini, pemerintah harus segara duduk bersama pengusaha dan mencari solusi supaya harga batu bara kembali membaik.
"Inti masalahnya adalah harga yang terus merosot, ini yang harus dicari solusinya," katanya ketika dihubungi , Kamis (12/2/2015). Yang jadi masalah saat ini adalah stok batu bara melimpah sementara permintaan makin rendah. Negara-negara tujuan ekspor batu bara juga sudah mulai mengurangi ketergantungan, salah satunya dengan menggenjot produksi dalam negeri.
Indonesia juga harus mulai lakukan hal serupa. Stok batu bara melimpah itu harus banyak diserap oleh konsumsi dalam negeri. Caranya dengan apa? Dengan mempercepat proyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang sudah ada dalam wacana pemerintah.
"Kalau harga (batu bara) makin stabil, maka perusahaan bisa mulai membayar kembali bunga bank, bayar lagi kontraktor, tidak ada PHK dan lain-lain yang bisa bikin ribet. Semuanya akan membaik," imbuhnya. Ia menambahkan, ancaman PHK itu datang dari beberapa perusahaan tambang yang setop produksi. Perusahaan-perusahaan itu diketahui mulai mengalami kesulitan setelah perbankan tak mau lagi mengucurkan pinjaman.
"Kita ini sudah di titik mengkhawatirkan. Konsekuensi 2-3 tahun terakhir ini adalah lembaga perbankan melakukan pengereman, tidak beri fasilitas lagi. Banyak (perusahaan) yang nilainya merah dan gagal bayar. Banyak juga yang tutup, makanya bank mengerem," ujarnya.
Sayangnya, bisnis batu bara sendiri diprediksi masih akan sulit tahun ini. Harga jual batu bara di pasar internasional juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
No comments:
Post a Comment