Sunday, February 15, 2015

Freeport Investasi 40 Triliun Tapi Tolak Bangun Smelter

PT Freeport Indonesia telah mengeluarkan dana sebesar Rp 40 triliun untuk eksplorasi tambang baru yang direncanakan beroperasi 2021. Dana itu untuk membiayai dua lokasi tambang bawah tanah yang sejak 2003 dikembangkan Freeport. Yakni Deep Mile Level Zone (DMLZ) dan Grassberg block Cave (GBC).

Kedua lokasi tersebut belum bisa menghasilkan apa pun karena dalam tahap praproduksi. "Sampai saat ini Rp 40 triliun dan sampai tahun 2021 butuh Rp 100 triliun lagi. Karena itu, kami harap kelanjutan bisa diteruskan," kata Nurhadi Sabirin, Executive Vice President dan General Manager PT Freeport, di Timika, Minggu, 15 Februari 2015.

Nurhadi enggan mengomentari jika perpanjangan operasi Freeport mengalami hambatan. Kontrak karya generasi Freeport akan habis pada tahun 2021. Perusahaan, kata dia, membutuhkan kepastian usaha saat ini untuk meneruskan operasi tambangnya. Pasalnya, jumlah investasi Freeport telah banyak keluar. "Kami optimistis ada jalan keluarnya dengan investasi yang sudah kami tanamkan," katanya.

Tambang bawah tanah DMLZ dan GBC akan dioperasikan untuk menggantikan Grassberg Mine dan DOZ (Deep Ore Zone) yang akan habis cadangan mineralnya. Cadangan Grassberg Mine akan habis tahun 2017 dan DOZ pada akhir tahun ini.

DMLZ mempunyai cadangan tambang 526 juta ton, sedangkan cadangan GBC lebih banyak dua kali lipat atau 999,6 juta ton. Pengembangan konstruksi DMLZ akan berakhir pada tahun ini, sedangkan GBC pada tahun 2017. "Tetapi, pada 2021, operasi tambang baru optimal," katanya.

Setiap tahun, Freeport mengeluarkan dana investasi Rp 15 triliun untuk perluasan dan pengembangan tambang bawah tanah. Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan sebenarnya berharap PT Freeport Indonesia ikut serta dalam menanamkan modalnya dalam pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) di Papuan. "Harapan kami dia investasi, tapi dia hanya bersedia memakai smelter yang dibangun pihak lain termasuk pemerintah," katanya di Mimika, Ahad, 15 Februari 2015.

Kendati demikian, Lukas mengaku siap membangun smelter di Papua sejak beberapa tahun lalu. Untuk itu, pemerintah Papua akan menyiapkan dana untuk membantu investor. "Bagi investor yang berminat datang ke Papua," tuturnya. Sesuai harapan masyarakat Papua, menurut dia, pembangunan smelter ini bisa memberi efek ganda seperti meningkatkan jumlah tenaga kerja yang dapat ditampung dan makin banyaknya industri hilir yang dibangung terkait dengan konsentrat. “Akan ada banyak industri ikutan akan dibangun disini.”

Dia memastikan pemerintah provinsi tidak ikut berinvestasi dalam pembangunan smelter di Papua. Penyertaan modal untuk pembangunan smelter akan dilakukan melalui BUMD Papua untuk mewakili pemerintah daerah. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengatakan, Freeport, pemerintah daerah dan pemerintah pusat telah menyepakati rencana pembangunan smelter di Mimika, Papua. Pemerintah daerah akan menyiapkan lahan, dana awal, sekaligus mencari investor untuk pembangunan smelter nasional.

Pembangunan smelter ini akan menjadi bagian dari rencana pembangunan kawasan industri di wilayah Mimika. Sudirman juga ingin setelah kesepakatan ini, permasalahan yang berjalan adalah mencari solusi pembangunan Papua dari keberadaan Freeport. "Kami mencari solusi supaya keberadaan Freeport dapat maksimal untuk masyarakat papua dan bangsa Indonesia.”

PT Freeport Indonesia menerjunkan 17 mesin otomatis yang bekerja di area tambang bawah tanah untuk memanen ore (tembaga mentah yang belum diolah). Setiap mesin yang masing-masing berharga US$ 1 juta ini dapat menambang seribu ton ore per hari dari area tambang DOZ (Deep Ore Zone), Timika, Papua.

"Dengan mengoperasikan alat ini risiko pekerjaan berkurang," kata Nurhadi Sabirin, General Manajer PT Freeport Indonesia, di Timika, Papua Sabtu 14 Februari 2015. Ia mengatakan, penggunaan alat ini sudah dimulai sejak sepuluh tahun lalu. Menurut Nurhadi, semua alat ini dapat bekerja secara auto pilot atau semi auto pilot (dikendalikan operator). Mesin beroda ini terhubung dengan ruang operator pengendali melalui kabel listrik.

Meski alat otomatis tersebut mengurangi jumlah karyawan yang bekerja di tambang bawah tanah, Nurhadi mengklaim bahwa penggunaan mesin ini tidak mengurangi total jumlah tenaga kerja. Sebab, terdapat operator yang akan berada di ruang kontrol untuk mengendalikan alat tersebut.  Adapun penggunaan alat ini ternyata masih mengeluarkan biaya sama seperti menerjunkan pekerja di lapangan bawah tanah."Tapi ke depan akan lebih efisien dan aman," kata Nurhadi. Dengan menggunakan mesin tersebut, dia memperkirakan produktivitas tambang Freeport akan bertambah 10-20 persen.

Saat ini, sebanyak 2.000 karyawan bekerja di area DOZ secara bergilir dengan waktu kerja delapan jam sehari. Namun, kini cadangan tambang DOZ sudah menipis karena sebanyak 75 persen dari 450 juta ton ore yang terkandung telah dieksploitasi Freeport. "Cadangannya tinggal 5 tahun. Setelah habis akan digantikan dua tambang lain yang sedang kami kembangkan," kata Nurhadi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengatakan, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Papua akan mengerucut pada pembahasan renegoisasi amandemen kontrak karya yang berakhir pada bulan Juli 2015. Dengan adanya kesepakatan pembangunan smelter di Papua, dia berharap pemerintah dan PT Freeport Indonesia dapat melakukan renegoisasi lebih cepat.

"Ketidakpastian harus cepat diakhiri karena Freeport harus melakukan investasi tambang bawah tanah," kata Sudirman, di Mimika, Ahad, 15 Februari 2015. Dengan kesepakatan smelter akan dibangun di Papua, menurut Sudirman, maka secara implisit pemerintah mempunyai atensi agar Freeport melanjutkan operasi. "Karena tidak mungkin smelter ini dibangun kalau operasi tidak dilanjutkan," ucapnya.

Saat ini Kementerian Energi dan Freeport sedang mempertajam finalisasi enam poin renegoisasi. Menurut dia, setelah kesepakatan ini maka pembicaraan renegoisasi akan lebih lancar. Kendati demikian dia enggan memberikan penegasan operasi Freeport akan dilanjutkan setelah kontrak karya selesai pada 2021.

Dengan begitu, menurut dia, masih ada waktu enam bulan untuk mengambil keputusan. “Saya ingin meniru pak Jokowi. Jangan didesak, jangan dikejar. Pada waktunya kami sampaikan," katanya. Dia mengatakan kesepakatan yang dicapai pemerintah dan Freeport saat ini adalah kesepakatan prinsip bahwa smelter akan dibangun di Papua. Adapun detail pembangunan smelter Papua akan dibahas kembali.

Untuk itu Sudirman memerintahkan Staf Ahli Menteri Said Didu sebagai pimpinan tim penelaah kapasitas smelter nasional untuk mengumpulkan fakta-fakta lebih detail untuk membuat rencana teknis. Dalam project plan smelter Papua ini, agar pembangunan feasible, maka Freeport dan pelaksana proyek harus menandatangani perjanjian.

Perjanjian tersebut, kata Sudirman, di antaranya akan berbunyi bahwa Freeport akan menyuplai konsentrat ke smelter Papua. "Karena itu bagian dari kelayakan.” Dia mengatakan kepastian Freeport untuk memasok konsentrat ke smelter Papua akan menjadi bagian dari pembahasan dalam renegoisasi amandemen kontrak karya. "Kenapa kami wajibkan itu bagian dr perpanjangan kontrak, karena kami ingin smelter dibangun di Papua untuk mendapatkan input supaya ada kapasitas yang dipakai," tuturnya.

No comments:

Post a Comment