Program mobil nasional kembali mencuat setelah A.M. Hendropriyono --melalui perusahaannya PT Adiperkasa Citra Lestari -- menggandeng industri mobil Proton Malaysia. Kerja sama bisnis mantan Kepala Badan Intelijen Negara dengan Proton yang diteken di Kualalumpur pekan lalu itu mengundang tanggapan banyak kalangan. Termasuk pengamat otomotif Dewa Yuniardi.
Dewa mengatakan, hingga saat ini belum ada konsep mobil nasional yang benar-benar siap berproduksi. Tahapan produksi massal dan serapan pasar menjadi kendala utama. "Secara umum ada tiga tahapan dalam memproduksi mobil nasional," kata Dewa saat dihubungi, Senin 9 Februari 2015.
Tahapan pertama adalah pembuatan desain dan konsep. Konsep yang masih berbentuk gambar tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk nyata yang disebut prototype. "Nah langkah ketiga adalah tahapan industrialiasasi atau produksi massal. Ini yang paling susah," ujar Dewa.
Penandatanganan kerja sama antara Proton dengan PT Adiperkasa Citra Lestari, perusahaan milik Hendro, disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Namun, Menteri Perindustrian Saleh Husein mengatakn bahwa hal itu bukan perjanjian antarnegara melainkan swasta dengan swasta.
Selain butuh modal besar, proses industrialisasi ini juga perlu kematangan pasar agar mampu terserap secara optimal. Dia mencontohkan produksi mobil Esemka, walaupun sudah melalui uji emisi, namun produksi masalnya tak kunjung terealisasi.
Tak hanya harus sesuai dengan serapan pasar, dalam tahapan industri ini produsen harus menyesuaikan dengan kapasitas produksi, serta memiliki harga saing. "Saya kira, mobil nasional dalam negeri belum ada yang siap. Kalau sekadar membuat prototype, semua bengkel juga bisa," kata Dewa.
Dewa mengaku pernah terlibat langsung dalam perancangan mobil nasional di bawah naungan Asosiasi Industri Automotif Nusantara sejak 2008. Walaupun dianggap sudah siap berproduksi massal, namun prosesnya tak dilakukan, karena minimnya daya serap pasar.
Dalam proyek itu, ada dua prototype utama yaitu Fin Komodo dan Tawon. Karena ketatnya persaingan, walaupun tetap berproduksi, namun jenis ini akhirnya hanya digunakan untuk kendaraan non-aspal seperti untuk perkebunan dan perbaikan jalan. Sedangkan Tawon, yang awalnya ditujukan untuk menggantikan bajaj, produksinya terhenti karena kalah bersaing. Padahal kapasitas produksi mobil ini, kata Dewa, diklaim sudah mencapai 600 unit per tahun.
Intinya, menurut Dewa, selain daya serap pasar, produksi mobil nasional juga mutlak membutuhkan dukungan dari APBN. Nasib Tawon mirip dengan beberapa prototype mobil nasional lainnya seperti Kancil, Timor dan Gea. "Juga memang agak sulit pada pembiayaannya. Butuh dukungan besar pemerintah."
Pengamat otomotif, Dewa Yuniardi, mengatakan kerja sama dengan pabrikan mobil asal Malaysia Proton Holdings Bhd dengan PT Adiperkasa Citra Lestari tak membawa keuntungan apa pun. Baik dengan pemerintah Indonesia maupun swasta, kerja sama ini dinilai hanya akan menguntungkan Proton yang saat ini sedang lesu.
"Saya justru khawatir ini ada agenda lain yang tersembunyi," kata Dewa, saat dihubungi, Senin, 9 Februari 2015. Menurutnya, orang sekelas A.M. Hendropriyono, bos PT Adiperkasa, tak mungkin melakukan kerja sama dengan perusahaan yang di dalam negeranya sendiri sedang terpuruk. "Terkesan tak serius, alamat kantor Adiperkasa setelah ditelusuri juga tak jelas."
PT Adiperkasa Citra Lestari, perusahaan yang terafiliasi dengan bekas Kepala Badan Intelijen Negara itu menandatangani nota kesepahaman dengan Proton di Kuala Lumpur, Malaysia. Acara itu bahkan disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Namun, Menteri Perindustrian Saleh Husein mengatakan bahwa hal itu bukan perjanjian antarnegara melainkan swasta dengan swasta.
Proses penandatanganan perjanjian itu, menurut Dewa, juga janggal. Jika memang perjanjian dilakukan antarswasta, seharusnya kepala negara kedua negara tak perlu hadir. Dari segi apa pun, kerja sama dengan Proton tak layak. Apalagi jika nantinya Indonesia hanya sebagai tempat pemasaran. Jika kondisinya seperti itu, Indonesia bisa saja hanya menjadi tempat pengujian produk sebelum mereka melakukan ekspor ke negara lain.
Dewa mengatakan pengembangan mobil nasional memang membutuhkan kerja sama dengan pabrikan asing. Namun, agar tak hanya menjadi tempat pemasaran, kerja sama harus tetap dibatasi. "Kalau niat mengembangkan mobil nasional ya jangan beli lisensi. Lisensinya punya kita sendiri," kata Dewa. Pembelian lisensi, menurut dia, akan membatasi pengembangan mobil nasional.
Saat ini, penjualan Proton di Malaysia memang sedang lesu. Pada 2014, Proton mencatatkan penjualan 115.783 unit mobil di Malaysia. Jumlah ini turun 16, persen dari penjualan 2013 sebanyak 138.753 unit. Penurunan penjualan pada 2014 juga menyebabkan pangsa pasar Proton turun dari 21,2 persen pada 2013 menjadi 17,4 persen pada 2014. Penjualan Proton hampir disalip oleh Toyota yang memiliki pangsa pasar 15,3 persen dan Honda dengan pangsa pasar 11,6 persen. Pangsa pasar Proton di Malaysia dicatat terus tergerus dari 60 persen pada periode 1990-an menjadi 17,4 persen pada 2014.
PT Adiperkasa Citra Lestari menandatangani kerja sama dengan Proton yang melahirkan kembali isu pembuatan mobil nasional di Indonesia karena dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Namun Jokowi mengatakan kehadirannya dalam acara tersebut karena diundang oleh Komisaris Proton Mahathir Mohamad dan PM Malaysia Datuk Seri Najib Razak. “Jadi, kemarin diundang Dr Mahathir dan Pak PM Najib Razak. Ya, saya datang," ujarnya di Hotel Diamond, Manila, sebelum mengunjungi Rizal Park Monument, Filipina, Senin, 9 Februari 2015.
Saat itu Jokowi datang ke Malaysia dalam rangka kunjungan kenegaraan tahap pertama sejak menjabat Presiden RI. Dalam kunjungannya, Jokowi didampingi adalah Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid, serta Dubes RI untuk Malaysia Herman Prayitno.
Jokowi belum tahu gambaran besar kerja sama otomotif tersebut karena masih melakukan studi kelayakan. "Belum, FS-nya juga belum. Saya mesti lihat feasibility study-nya seperti apa, kemudian target yang mau dicapai sebetulnya apa," ujarnya. Rachmat Gobel menuturkan Proton akan melakukan studi kelayakan selama enam bulan ke depan. Pemerintah Indonesia membuka lebar pintu investasi pembangunan pabrik mobil Proton tersebut.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia mengundang tanggapan dari sejumlah kalangan. Pasalnya, di sela-sela kunjungan ke negara Jiran itu, Presiden hadir menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara perusahaan milik mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, PT Adiperkasa Citra Lestari, dengan perusahaan otomotif Malaysia, Proton Holding Berhard.
Menanggapi pertanyaan yang mengaitkan hal itu sebagai bagian dari program mobil nasional, secara khusus Menteri Perindustrian Saleh Husin memastikan penandatanganan adalah kesepakatan bisnis antara swasta dengan swasta. "Penandatanganan MoU itu murni business to business dan dilakukan dalam rangka membuat feasibility study untuk enam bulan ke depan," kata Saleh di Jakarta, Ahad, 8 Februari 2015.
Menteri juga menegaskan, pemerintah sama sekali tidak terlibat dalam kesepakatan tersebut. Begitu juga dengan pelibatan perusahaan pelat merah alias badan usaha milik negara. "Tidak ada pelibatan unsur pemerintah, baik menggunakan APBN maupun BUMN. Jadi, sekali lagi itu murni private to private," Saleh menegaskan.
Terkait kehadiran Presiden Joko Widodo, Menteri Perindustrian mengungkapkan hal itu adalah wajar. Acara seperti itu jamak diselenggarakan dalam rangkaian kunjungan pemimpin-pemimpin negara manapun. Selain itu, merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap pihak swasta yang membuka peluang kerja sama dengan mitra dari negara tetangga.
"Selama ini, kunjungan seorang pemimpin negara manapun ke luar negeri juga menyertakan delegasi para pengusaha nasional untuk bertemu dengan sesama pengusaha di negara tujuan," ujarnya.
No comments:
Post a Comment