Metode ini sebenarnya bukan metode yang baru karena sudah diterapkan oleh PTPN VI (Persero) dengan melepas sapi-sapi di kebun sawit. Hasilnya pun cukup memuaskan. "Hasilnya bagus, sapi bisa gemuk dan pemeliharaan juga lebih efisien. Tidak perlu biaya besar mencari pakan karena sapi bisa memakan daun-daun dan batang pohon yang jatuh. Sebaliknya, kotoran sapi bisa digunakan sebagai pupuk alami," papar Kusuma.
Sayang, upaya ini belum dijalankan optimal. Hingga 2013, baru 5 dari 1.500 perusahaan sawit yang telah melaksanakan integrasi sapi-sawit ini. Untuk itu, perlu ada dorongan dari pemerintah agar kegiatan ini bisa diterapkan oleh lebih banyak perusahaan perkebunan sawit. Ia mengaku, Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) sebagai organisasi kepakaran juga akan membantu pemerintah mencari formula yang tepat agar hal ini bisa menarik diterapkan oleh para pengusaha sawit.
"Pendekatannya harus bisnis. Misalnya dibantu permodalan dan sebagainya. Kemudian jangan impor (daging sapi) berlebihan supaya mereka nggak khawatir produk mereka nggak diserap pasar," tegasnya. Bila berhasil diterapkan oleh lebih banyak perusahaan sawit, kata Kusuma, maka permasalahan lahan yang sering dikemukakan sebagai kendala kegiatan peternakan untuk meningkatkan populasi ternak bisa diatasi. Hingga 2014, diperkirakan luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 10-11 juta hektar.
Selain itu, dengan sinergi ini pula diharapkan sapi-sapi yang diternak bisa mengalami peningkatan bobot yang lebih baik. Dengan demikian, produksi daging sapi juga bisa meningkat. "Ternak kita rata-rata bobotnya sekitar 200-250 kg. Kalau sapi lokal yang bukan asli sekitar 300 kg. Kalau sapi silangan IB 400-450 kg. Dengan sinergi ini, bobot masing bisa ditingkatkan 20-30%," papar Kusuma. Tiga negara ini mampu memproduksi daging sapi yang lebih murah ketimbang Indonesia. Bila Indonesia menghasilkan daging lokal dihargai sekitar Rp 95-100 ribu/kg, di negara-negara ini harga ekspornya bisa lebih rendah.
Tiga negara tersebut adalah India, Brasil dan Australia. Daging sapi di India diekspor dengan harga US$ 2,88/kg atau Rp 36.864/kg. Sementara daging sapi asal Brasil diekspor dengan harga rata-rata US$ 4,52/kg atau Rp 57.856/kg, dan daging sapi asal Australia US$ 4,73/kg atau Rp 60.544/kg.
"Tiga negara ini punya daging lebih murah dari Indonesia," ujar Pemilik Perusahaan Peternakan Sapi PT Citra Agro Buana Semesta Yudi Guntara Noor di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (25/2/2015). Pasalnya, kegiatan peternakan di Indonesia dianggap masih belum efisien. Banyak biaya-biaya yang harus ditanggung para peternak sehingg membuat harga jualnya sulit bersaing.
Perbedaannya terutama terletak pada metode peternakan. Bila di 3 negara tersebut, hewan ternak khususnya sapi dibiarkan lepas di alam bebas. Hal ini bisa menekan biaya perawatan kandang, biaya buruh untuk mencari pakan dan biaya operasional lain. Karena tidak efisien, produksi daging sapi di Indonesia pun tidak bisa maksimal lantaran sapi-sapi yang diternak sulit mencapai bobot ideal karena pakannya sangat bergantung pada pemberian oleh peternak.
Lebih lanjut ia menjelaskan, berkat kegiatan peternakan yang lebih efisien dan metode peternakan yang tepat, 3 negara ini mampu menghasilkan produk daging sapi yang sangat besar. Bahkan, 3 negara ini mampu menjadi pemasok terebesar yang mengendalikan ketersediaan sapi dunia. "Tiga pemain di dunia ini yang punya pasokan sapi global. Pertama India, kedua Brasil, dan ketiga Australia. Mereka memasok lebih dari 3 juta ton daging sapi ke pasar dunia," kata dia.
Dari catatan ISPI, pada 2013 lalu, India tercatat sebagai eksportir daging sapi terbesar di dunia. Sebanyak 1,56 juta ton diikuti Brasil dengan volume ekspor daging sapi sebanyak 1,18 juta ton dan Australia sebesar 1,07 juta ton.
Sebenarnya, Indonesia punya peluang besar masuk dalam jajaran pemasok daging sapi terbesar dunia didukung oleh masih luasnya lahan yang tersedia untuk dimanfaatkan sebagai lahan peternakan serta Indonesia telah mengantongi predikat bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) sapi. Artinya produk daging sapai Indonesia bisa diterima di seluruh dunia.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Ali Agus mengungkapkan, alasan minimnya jumlah sarjana pertanian yang mau terjun menjadi peternak. Salah satunya, kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap profesi ini. "Selama ini kebijakan pemerintah hanya condong konsumen saja tidak ke pengusaha. Akibatnya, sarjana jarang yang mau masuk," ujar Ali saat ditemui di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Tidak berpihaknya pemerintah kepada pengusaha sektor peternakan, terutama terlihat dari reaksi pemerintah ketika terjadi kenaikan harga daging. "Selalu saja heboh kalau harga daging naik. Langsung buru-buru keran impor dibuka. Tapi nggak pernah heboh kalau pengusaha (peternakan) kecil pada bangkrut karena terhimpit daging impor," keluh dia.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah harus bisa menentukan sikap dan memposisikan diri agar tidak terlalu condong pada satu pihak saja. "Pemerintah itu harus bisa menjadi wasit. Jadi berada di tengah-tengah. Seperti ketika menetapkan harga. Ketika harga naik, jangan buru-buru buka impor daging. Kalau ada keberpihakan, orang juga ada semangat untuk jadi peternak," tegasnya.
No comments:
Post a Comment