Ribuan petambak di Dipasena, pesisir utara Lampung mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha budidaya udang akibat serangan penyakit udang white faeces hingga kenaikan pakan. Menurut salah seorang petambak Dipasena, Arie Suharso pada Rabu (3/6/2015) harga pakan naik menjadi Rp 13.250 per kilogram, padahal sebelumnya hanya Rp 13.000 perkilogram. Sementara itu harga udang turun menjadi Rp 53.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 67.000 per kilogram.
Dia mengungkapkan, penurunan harga udang kali ini cukup drastis. Dalam sepekan, udang turun hingga Rp 10 ribu per kilogram dari yang sebelumnya, padahal informasi harga udang di luar negeri masih cenderung stabil. "Kami sudah tidak harapkan apapun dari pemerintah dalam merevitalisasi aset eks-Dipasena, sekarang semua kami kerjakan secara mandiri. Masa iya urusi harga udang saja pemerintah tidak bisa, jangan cuma sebut target" ujar Arie.
Dia menambahkan bahwa kondisi seperti ini biasanya dimaklumi oleh petambak, namun melihat informasi harga udang di luar negeri yang cenderung stabil, ia menilai bahwa ada ketidakberesan alur produksi di dalam negeri. "Kami berharap pemerintah bisa segera mengatasi kondisi yang kurang baik ini agar para petambak bisa makmur apalagi ini mau dekat puasa dan lebaran," tuturnya.
Para petambak dari plasma PT Central Pertiwi Bahari (CPB) Bratasena, Kabupaten Tulangbawang curhat ke DPRD Lampung, menyusul anjloknya harga udang. Menurut Waluyo salah satu petambak pada Kamis (2/4/2015) selama ini perusahaan menghargai udang plasma selalu selisih Rp 6.000 dari harga pasar. "Misalnya udang yang ukuran 60 mm harga beli perusahaan Rp 56.000 padahal pasaran lokal sudah mencapai Rp 60.000 tanpa ada ketentuam ukuran," katanya.
Padahal udang yang budidaya yang dijual petambak kepada perusahaan berkualitas ekspor. "Kami tidak boleh menjual pada lainnya karena kami terikat kontrak," katanya lagi. Lebih lanjut ia mengatakan harga beli perusahaan menurutnya adalah hasil kesepakatan antara dinas kelautan dan perikanan (DKP) dan petambak. Dalam hal ini, petambak merasa dibohongi.
"Kami minta kebijakan kepada pemerintah dan perusahaan untuk memberikan harga yang layak, maka itu kami menyampaikan keluhan ini pada anggota dewan," ujar dia. CPB sendiri memprodukai 13.000 ton per tahun yang disuplai oleh 2.600 petambak. Sementara itu Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung Hantoni Hasan menuturkan terdapat potential lost dari selisih Rp 6.000 per Kg, sehingga jika ditotal bisa mencapai Rp 78 miliar pada tahun 2014.
Jika tahun 2015 tercapai 18 ribu ton maka akan ada angka kerugian lebih tinggi bagi petambak totalnya mencapai Rp180 miliar. "Kami secepatnya akan memanggil DKP dan CPB untuk menjelaskan semua ini pada dewan," ujar dia.
No comments:
Post a Comment