Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp 13.234 pada perdagangan Kamis (4/6). Angka tersebut melemah 0,35 persen dari posisi hari sebelumnya dan merupakan yang terendah dalam 17 tahun terakhir. Taye Shim, Kepala Riset PT Daewoo Securities Indonesia menilai semakin terpuruknya rupiah akibat pelarian modal yang terpicu oleh pelemahan ekonomi nasional. Posisi rupiah saat ini merupakan yang terparah sejak krisis moneter melanda Indonesia pada 1998.
Menurut Taye, kejatuhan kurs paling dalam terjadi ketika puncak krisis keuangan Asia meruntuhkan ekonomi Indonesia, yakni pada 17 Juni 1998 saat rupiah berada di level Rp 16.650 per dolar AS “Saat ini, pelemahan rupiah sebagian besar didorong oleh kombinasi dari pelemahan ekonomi dan arus keluar modal yang berkepanjangan,” ujar Taye dalam ulasan resmi yang diterima .
Taye menuturkan perlambatan ekonomi Indonesia belakangan ini mempercepat aksi jual aset oleh investor asing dan menyebabkan repatriasi dana. Hal ini berimplikasi pada terdepresiasinya rupiah sebesar 5,9 persen sejak awal tahun dan menjadi yang terburuk di kawasan Asia. Lebih lanjut, Taye menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang lemah di kuartal I 2015 dan tren makro yang kurang baik selama dua bulan pertama di kuartal II 2015 kemungkinan menghambat pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
“Selain itu, kenaikan suku bunga global telah mendorong investor untuk mangalihkan posisi dagang yang besar dari negara berkembang," katanya. Daewoo Securities sampai saat ini memprediksi rupiah masih akan melemah ke kisaran Rp 13.200 per dolar AS.
“Kami mempertahankan pandangan kami bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan meningkat di semester II 2015. Sementara rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal berada di level Rp 13.200 untuk tahun ini, atau lebih buruk dari rerata tahunan sebelumnya di level Rp 12.913 per dolar AS,” jelas Taye.
Disinyalir, menurunnya kepercayaan investor terhadap Pemerintahan Joko Widodo menjadi salah satu pemicu terjerembabnya rupiah di posisi terdalam dibandingkan mata uang negara lain di Asia. "Tidak fair kalau hanya menyebut faktor eksternal, ada juga masalah internal. Bank Indonesia bilang fundamental ekonomi kita baik, tapi ada faktor confidence Jokowi yang turun. Ada pelemahan trust terhadap pemerintahan Jokowi, sehingga ujung-ujungnya investor pilih pegang dolar," jelas Tony Prasetiantono, Ekonom yang juga Komisaris Independen Bank Permata di Senayan, Sabtu (28/3).
Menurut Tony, Jokowi mengalami kemunduran karakter belakangan ini dibandingkan dengan masa-masa menjelang dan awal kepemimpinannya sebagai presiden. Ketidaktegasan dan keragu-raguannya dalam menuntaskan sejumlah kisruh politik dan hukum memicu kekecewaan masyarakat yang mayoritas mendukungnya. Tak ayal, kejadian tersebut turut mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri.
Pemerintah dan Bank Indonesia, lanjut Tony, harus merespon pelemahan kurs ini dengan bijak agar rupiah tidak menembus level psiokologis negatif baru. Menurutnya, apabila hal ini dibiarkan tentunya akan memukul daya beli masyarakat dan membuat investor khawatir untuk investasi di Tanah Air. "Rupiah Rp 13.000 itu tidak bisa dibiarkan. Bisa bahaya," katanya.
Beberapa indikator yang menjadi perhatian Tony antara lain posisi utang luar negeri Indonesia yang mencapai kisaran US$ 398 miliar. Angka tersebut lebih besar dua kali lipat dari nilai cadangan devisa Indonesia yang saat ini hanya sekitar US$ 155 miliar. Apabila utang tersebut jatuh tempo atau ada kewajiban pembayaran, maka rupiah bisa melemah semakin dalam dan sulit kembali ke level idealnya.
"Indikator lainnya adalah bank-bank saat ini kebanjiran DPK (dana pihak ketiga). Itu artinya yang punya duit lebih memilih menyimpan uangnya di bank. Ini tidak sehat," katanya.
No comments:
Post a Comment