Friday, June 5, 2015

Pemerintah dan DPR Siap Ampuni Para Mafia dan Koruptor Agar Obligasi Pemerintah Bisa Laku

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama DPR tengah menginisiasi kebijakan pengampunan hukum pidana dan khusus (special amnesty) bagi para mafia dan koruptor yang menyimpan uangnya di luar negeri. Syaratnya, penjahat hukum tersebut harus mengalihkan sebagian dana haramnya untuk membeli surat utang negara atau obligasi pemerintah bertenor lima sampai 10 tahun.

Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP, menjelaskan gagasan ini dimunculkan dalam rangka menarik aset-aset bangsa yang dilarikan oleh para mafia dan koruptor kembali ke dalam negeri  "Termasuk kita repatirasi assetnya, termasuk mereka yang masuk dalam daftar orang yang merepatriasi harus masuk dalam pasar obligasi negara. How to maturity (tenornya) bisa kita bilangnya 5 tahun atau 10 tahun," ujar Mekar di Hotel Aryaduta, Jumat (5/6).

Mekar mengatakan klausul tersebut muncul ketika mengetahui aset yang dimiliki para warga Indonesia yang tinggal di luar negeri tidak hanya berbentuk portofolio dan properti. "Harta yang dimiliki di luar negeri tidak hanya berbentuk portofolio saja, tapi juga berbentuk cash. Nah ketika itu direpatriasi ke Indonesia akan kita wajibkan pembelian obligasi pemerintah," kata Mekar.

Namun, menurutnya pemerintah harus mendiskusikan kembali wacana ini dengan pihak terkait seperti pengusaha, yang masuk klasifikasi sebagai penerima special amnesty. Wacana special amnesty pertama kali digulirkan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) Sigit Priadi Pramudito. Menurutnya, atas inisiator DPR, pemerintah menargetkan sekitar 10-15 persen dari total uang negara yang digelapkan luar negeri masuk ke dalam kas negara melalui kebijakan ini.

"Jadi asal ada tebusan sekitar 10-15 persen dari dana yang terparkir di luar negeri bisa mendapat pengampunan pidana umum dan pidana khusus. Kami tak akan utak-utik duit mereka dari mana, apakah dari illegal logging, illegal fishing, ataupun korupsi. Kecuali mereka melakukan kejahatan narkotika dan terorisme," ujar Sigit di kantornya, Rabu (27/5) malam.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fadli Zon setuju soal wacana pemberian pengampunan pajak (tax amnesty) untuk para penggelap duit negara. Menurut politikus Partai Gerindra ini, penerimaan negara dari pajak justru akan meningkat dengan dikembalikannya duit negara oleh para pengemplang pajak.

"Ini pemikiran masuk akal tapi harus didudukkan untuk asas keadilan. Mungkin dana-dana Warga Negara Indonesia di luar negeri, bisa masuk ke Indonesia dan produktif untuk pembangunan," ujar Fadli ketika diwawancara di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (30/5). Lebih lanjut, Fadli berpendapat, solusi tersebut dapat menjawab kekhawatiran penerimaan negara dari sektor pajak apabila tak mencapai target. "Namanya amnesti, pajak sebelumnya harus dibayar," katanya.

Fadli pun tak mempermasalahkan apabila seorang pengemplang pajak dibebaskan dari ancaman dan hukuman pidana jika sudah melunasi hutangnya pada negara. "Siapa yang mau kalau bawa uangnya dari luar negeri tapi dipenjara. Namanya amnesti ya (dibebaskan)," tuturnya. Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito menuturkan wacana pengampunan pidana bagi mafia dan penggelap uang negara (special amnesty) muncul pertama kali dari anggota legislatif.

Kemudian, Ditjen Pajak mengkaji tebusan pajak yang pantas dikenakan kepada para penjahat tersebut, yakni sekitar 10-15 persen dari total dana haram yang mengendap di luar negeri. Usulan ini bakal dilegalkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang tengah diupayakan masuk dan dibahas bersama DPR pada paruh kedua tahun ini. Sigit optimistis beleid kontroversi ini bisa dibahas cepat dalam dua atau tiga bulan sehingga dapat diterapkan mulai akhir tahun ini.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut baik rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pidana (special amnesty) bagi para mafia dan koruptor yang mengalihkan dananya dari luar negeri ke Indonesia. Sejauh ini baru Sarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura yang secara terang-terangan mendukung wacana tersebut.

"Ini terobosan yang bagus karena selama ini Indonesia sulit untuk membawa pulang uang-uang hasil kejahatan yang ditaruh ke luar negeri," ujar Sarifuddin.  Selain perlu payung hukum, kata Sarifuddin, pemerintah Indonesia perlu membuat perjanjian khusus dengan negara-negara yang menjadi destinasi favorit para pengemplang pajak.  Menurutnya, selama ini cukup besar dana milik warga negara Indonesia yang berputar di negara lain tanpa memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. "Coba itu dipakai di sini, itu kan bisa buat pembangunan dan lain-lain," katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito menyebut wacana pengampunan pidana bagi mafia dan penggelap uang negara (special amnesty) muncul pertama kali dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan usulan tersebut, DJP mengkaji tebusan pajak yang pantas dikenakan kepada para penjahat tersebut, yakni sekitar 10-15 persen dari total dana haram yang mengendap di luar negeri.

"Wacana ini sudah ada tanggapan dari pelaku (penggelap uang negara). Bahkan ada yang nawar, DPR minta 2 persen saja," ujar Sigit di kantornya, Kamis (28/5) malam.  Wacana ini, kata Sigit, akan dilegalkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang tengah diupayakan masuk dan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada paruh kedua tahun ini. Apabila melihat rancangan UU-nya yang tidak memuat terlalu banyak pasal, Sigit optimistis beleid kontroversi ini bisa dibahas cepat dalam dua atau tiga bulan.

"Prolegnas kan dimulai Juni 2015. Kami akan upayakan secepatnya dibahas DPR, kalau September atau Oktober selesai (dibahas DPR), bisa saja special amnesty diterapkan akhir tahun ini," katanya. Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito menyebut wacana pengampunan pidana bagi mafia dan penggelap uang negara (special amnesty) muncul pertama kali dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun baru sebatas rencana, salah satu anggota parlemen telah menawar nilai upeti lebih rendah dari yang direncanakan pemerintah 10 persen.

"Wacana ini sudah ada tanggapan dari pelaku (penggelap uang negara). Bahkan ada yang nawar, DPR minta 2 persen saja," ujar Sigit di kantornya, Kamis (28/5) malam.  Sayangnya Sigit tidak mengungkapkan siapa inisiator awal dan penawar tarif upeti pengampunan spesial yang berada di gedung DPR itu.  "Jadi asal ada tebusan sekitar 10-15 persen dari dana yang terparkir di luar negeri bisa mendapat pengampunan pidana umum dan pidana khusus. Kami tak akan utak-utik duit mereka dari mana, apakah dari illegal logging, illegal fishing, ataupun korupsi. Kecuali mereka melakukan kejahatan narkotika dan terorisme," ujar Sigit Priadi.

Sigit berharap pemerintah dan DPR bisa segera membahas rancangan Undang-Undang Special Amnestyini pada paruh kedua tahun ini. Dia optimistis pembahasan bisa berlangsung cepat jika melihat jumlah pasal yang tidak terlalu banyak.  "Tarifnya di akhir tahun ini mungkin 7,5 persen dulu dan baru 10 persen pada tahun depan," tuturnya.  Indonesia, kata Sigit, sebenarnya pernah dua kali mengupayakan pengampunan sanksi pajak (tax amnesty), tetapi tidak diminati mafia karena tidak disertai dengan pengampunan sanksi pidana umum dan khusus. Karenanya, DJP melibatkan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merancang dan menyukseskan kebijakanspecial amnesty ini.

"Kalau cuma tax amnesty tidak akan menarik, tidak laku. Karenanya RUU ini nanti akan diinisiasi oleh DPR.," tuturnya.  Italia, India dan Afrika Selatan, kata Sigit, merupakan contoh negara yang berhasil meningkatkan pundi-pundi penerimaan negara dari kebijakan sepcial amnesty. Sementara Argentina dan Indonesia gagal karena keliru menerapkannya.

Rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menghapus sanksi pidana bagi wajib pajak (WP) yang melanggar Undang-Undang Perpajakan atauprosecution amnesty juga akan berlaku bagi koruptor. Keputusan tersebut diambil DJP demi mencapai target penerimaan pajak Rp 1.294,25 triliun tahun ini. "Bukan hanya pembebasan sanksi pidana pajak, tetapi juga diatur pembebasan pidana umum dan pidana khusus termasuk untuk kasus korupsi. Kecuali yang tidak bisa diampuni adalah kasus narkotika dan terorisme," kata Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito di Jakarta, Selasa (19/5).

Mengenai mekanisme pengampunannya, Sigit mengatakan masih perlu dirumuskan bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya, payung hukum dari tax amnesty bukanlah revisi Undang-Undang tentang Ketentuam Umum Tata Cara Perpajakan (UU KUP) melainkan UU baru mengenai pengampunan hukum khusus (legal amnesty) yang sedang diupayakan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini atau minimal tahun depan.

Menurut Sigit, kebijakan tersebut akan dijalankan dengan menjalankan prinsip keadilan bagi wajib pajak yang patuh hukum. "Makanya bukan tax amnesty, tapi legal amnestyatau special amnesty seperti yang dilakukan Pemerintah Afrika Selatan,” katanya.  Eksekusi kebijakannya, kata Sigit, tergantung seberapa cepat DPR membahas beleid baru ini. "Kalau mulai dibahas Agustus ini dan selesai akhir tahun ya bisa langsung, atau paling tidak awal tahun depan. Jadi apapun kasusnya, bukan hanya pajak saja termasuk pidana umum dan pidana khusus dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Bareskrim," kata Sigit.

No comments:

Post a Comment