Wednesday, July 8, 2015

Bursa Saham China Terjun Bebas ... Modal Triliunan Dolar Hilang Sekejab

Bursa saham China kembali terkoreksi dan terjun bebas sejak perdagangan dibuka pada pagi ini, Rabu (8/7). Shanghai Composite Indeks hingga siang ini anjlok lebih dari 8 persen, sedangkan Shenzen Component turun hampir 5 persen.  The Guardian melaporkan dalam waktu sepuluh menit perdagangan, lebih dari 1.000 saham di dua bursa China tersebut anjlok rata-rata 10 persen dan secara otomatis perdagangannya dihentikan karena terkena autorejection. Sementara itu, sekitar 1.400 perusahaan atau lebih dari setengah yang melantai di bursa meminta perdagangan sahamnya dihentikan guna mencegah kerugian yang lebih besar.

China Securities Finance Corporation (CSFC) mengatakan terjadi kepanikan yang irasional di pasar saham Negeri Tirai Bambu menyusul aksi jual yang meningkat tajam.  Bank Rakyat China mencoba membantu otoritas bursa tersebut guna mendapatkan likuiditas tambahan dalam upaya menstabilkan saham. Sejumlah langkah yang disiapkan seperti menyediakan pinjaman antar bank, pembiayaan hipotek dan obligasi. Bank Rakyat China menyatakan akan terus mencermati perkembangan pasar dan terus mendukung CSFC memitigasi risiko sistematik dari kejatuhan bursa tersebut.

Dilaporkan dua indeks acuan Negeri Tirai Bambu, Shanghai Composite Indeks dan Shenzen Component, masing-masing telah terkoreksi 32 persen dan 41 persen sejak Juni lalu.  Berdasarkan riset Bespoke Investment Group, kapitalisasi pasar China tergerus hingga US$ 3,25 triliun dalam satu bulan terakhir. Angka tersebut merupakan akumulasi modal yang ditarik keluar oleh investor sejak 12 Juni 2015. Nilai tersebut setara dengan total kapitalisasi pasar saham Prancis, atau sekitar 60 persen dari kapitalisasi pasar Jepang.

"Sekarang ini ada kepanikan di pasar dan marak aksi jual yang tidak masuk akal. Hal ini membuat likuiditas di pasar modal mulai kering," kata China Securities Regulatory Commission Indeks saham Shanghai di China anjlok lebih dari 8 persen dalam waktu sepuluh menit perdagangan dibuka pada pagi ini, Rabu (8/7). Kejatuhan indeks tersebut dinilai terjadi karena perubahan aturan margin saham setelah tingginya tingkat spekulasi di pasar saham negeri Tirai Bambu tersebut.
Untuk diketahui, sebelumnya bursa Shanghai meningkat tajam hingga 59 persen sejak awal tahun ini hingga 12 Juni 2015 ke level 5.166. Namun kemudian runtuh hingga level 3.727 atau 27,85 persen dari posisi puncak, pada penutupan Selasa (7/7).

Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan ekonomi China sudah beberapa tahun terakhir sedang mengalami perlambatan pertumbuhan. Dengan kondisi ekonomi yang memburuk tersebut, Satrio menilai orang kemudian mencari aktivitas ekonomi yang bisa mendatangkan uang. "Sayangnya bukan berinvestasi, tapi sudah masuk ke tahap berspekulasi lagi karena transaksinya terlihat ngawur," ujarnya ketika dihubungi.

Mengutip International Business Times, Satrio mengatakan bahwa sebagian besar spekulan adalah lulusan sekolah menengah atau SMP. Hal itu membuat transaksi saham cenderung tidak berkualitas. "Pelaku pasarnya memang tidak pintar. Jadi tidak melihat fundamental secara langsung," jelasnya. Aksi para spekulan tersebut, lanjutnya, kemudian membuat harga saham di bursa Shanghai melesat tinggi. Bayangkan, untuk 2015 ini saja, indeks Shanghai Composite sudah naik lebih dari 50 persen. Bahkan secara year on year, saat ini bursa Shanghai tumbuh 73 persen.

Ia menjelaskan, selain adanya spekulan tersebut, kekisruhan bursa Shanghai juga disebabkan oleh perubahan aturan margin yang drastis semenjak 2010 ketika pertama kali diperkenalkan. "Pada awalnya hanya memperbolehkan investor yang sudah berpengalaman, dengan jaminan minimal sebesar sebesar 500.000 RMB atau senilai sedikit di atas Rp 1 miliar. Namun kemudian berubah menjadi bisa dilakukan oleh investor yang cukup awam dan bisa dilakukan dengan tanpa jaminan," ujar Satrio.

Analis PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan bursa Shanghai yang melemah memang tidak memiliki efek langsung ke tanah air. Namun, lanjutnya, karena China merupakan konsumen komoditas yang terbesar, maka nanti efeknya lebih ke penurunan konsumsi batubara dan minyak asal Indonesia. "Efek langsung memang tidak ada. Tapi kalau sampai konsumsi China melambat, maka ekspor komoditas kita juga bakal terkena imbasnya," jelasnya. Senada dengan Hans, Satrio mengatakan bahwa efek fundamental dari pelemahan bursa Shanghai lebih ke konsumsi komoditas. Apalagi, lanjutnya saham perusahaan komoditas Indonesia dinilai cukup besar di pasar modal.

"Kalau kekisruhan bisa merembet ke konsumsi komoditas, kita juga bisa kena imbas negatif itu," ujarnya. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) meminta masyarakat Indonesia, terutama pelaku pasar modal untuk tidak ikut panik dengan kejatuhan bursa saham China. Kepala BKF Suahasil Nazara meyakini gejolak yang terjadi di Negeri Tirai Bambu tak akan berdampak serius terhadap perekonomian Indonesia.

"Kami melihat pasar modal kita masih normal, meskipun mungkin akan terjadi koreksi. Tetapi sebenarnya itu sudah terjadi selama ini. Yang penting tidak perlu panik," ujarnya. Dia mengatakan pemburukan ekonomi China dan Yunani merupakan fenomena global yang daya rambatnya tidak mudah untuk dihentikan. Intinya, pemerintah akan memantau serius perkembangan ekonomi China selaku mitra dagang utama Indonesia.

"Saya rasa ini global fenomena yang tidak bisa segampang itu disetop," katanya. Menurutnya, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mempunya protokol manajemen krisis jika sewaktu-waktu tekanan hebat melanda sistem keuangan nasional.

"BI punya cadangan devisa untuk intervensi pasar dan pemerintah punya Bond Stabilization Framework (BSF). Saya yakin efeknya tidak akan drastis, tapi patut diperhatikan serius," tuturnya.  Suahasil mengatakan gejolak yang terjadi di bursa saham China mungkin saja efek sampingan dari pemanasan ekonomi (overheating) Negeri Tirai Bambu. Hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi China yang semakin menyusut yang berimplikasi pada melemahnya ekspor Indonesia ke negara tersebut.

"Apakah asetnya bubble atau overheating? itu bisa saja. Tapi kita perlu lihat lebih lanjut," tuturnya.  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menilai kendati ada gejolak ekonomi di Yunani dan China, sejauh ini kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia masih cukup baik. Hal itu terlihat dari kesuksesan pemerintah melelang surat utang negara, baik yang berdemoninasi rupiah maupun valas.

"Sebenarnya dalam berbagai paparan, Menteri Keuangan sudah menunjukan grafik-grafik pelarian modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi sebenarnya sudah lama terjadi," tuturnya.  Bursa saham Tiongkok kembali terkoreksi dan terjun bebas sejak perdagangan dibuka pada pagi ini, Rabu (8/7). Shanghai Composite Indeks hingga siang ini anjlok lebih dari 8 persen, sedangkan Shenzen Component turun hampir 5 persen.

The Guardian melaporkan dalam waktu sepuluh menit perdagangan, lebih dari 1.000 saham di dua bursa Tiongkok tersebut anjlok rata-rata 10 % dan secara otomatis perdagangannya dihentikan karena terkena autorejection.  Sementara itu, sekitar 1.400 perusahaan atau lebih dari setengah yang melantai di bursa meminta perdagangan sahamnya dihentikan guna mencegah kerugian yang lebih besar.

No comments:

Post a Comment