Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil membongkar satu pabrik jaringan penerbit faktur pajak fiktif yang diduga menjadi pusat jaringan mafia faktur. Kelompok tersebut beroperasi di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Mekar Satria Utama mengatakan dari pengembangan yang dilakukan PPNS, pabrik tersebut melayani 58 wajib pajak yang terdaftar di berbagai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan.
Satria menjelaskan sebelum beroperasi, jaringan itu mengikuti prosedur pengajuan penggunaan aplikasi e-Faktur sehingga beberapa Wajib Pajak dalam jaringan tersebut telah memiliki sertifikat elektronik untuk dapat menerbitkan dan melaporkan Faktur Pajak dengan menggunakan mekanisme e-Faktur.
“Modus operandi jaringan tersebut adalah dengan membuat KTP palsu untuk para kurir yang sebelum penggunaan e-Faktur berlaku, bertugas memasukkan SPT Masa PPN. Namun setelah diberlakukannya e-Faktur, para kurir itu dijadikan sebagai direktur perusahaan dari Wajib Pajak tersebut. Hal itu dilakukan karena adanya ketentuan bahwa pengurus atau direktur perusahaan harus datang langsung ke KPP ketika mengajukan pendaftaran penggunaan e-Faktur,” ujar Satria dikutip dari laman Kementerian Keuangan, Jumat (3/7).
KTP palsu yang digunakan oleh pelaku terdiri dari dua macam yaitu seluruh identitas palsu namun dengan foto yang sesuai, atau nama dan foto sesuai namun identitas lainnya palsu. Selanjutnya, saat datang ke KPP dalam rangka pengurusan e-Faktur, jaringan ini membawa dokumen fiktif akta pendirian atau akta perubahan perusahaan. Diduga jaringan tersebut dibantu oleh seorang notaris yang membuat akta pendirian atau akta perubahan tanpa keharusan para pesero menghadap kepadanya.
“Jaringan mafia Faktur Pajak fiktif ini terungkap berkat ketelitian pegawai Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) pada KPP Pratama Jakarta Tebet yang mencurigai penampilan tidak layak pelaku yang datang ke KPP dan mengaku sebagai direktur perusahaan Wajib Pajak penerbit Faktur Pajak fiktif itu saat mengajukan pendaftaran penggunaan e-Faktur,” ujar Satria.
Setelah diteliti secara administratif oleh petugas TPT itu, diketahui bahwa pelaku selama ini bertugas sebagai kurir yang mengantarkan SPT Masa PPN ke KPP namun karena adanya ketentuan bahwa pengurus/direktur harus datang langsung ke KPP untuk mengajukan pendaftaran penggunaan e-Faktur, maka dibuatlah dokumen yang menunjukkan bahwa si kurir itu adalah pengurus/direktur perusahaan Wajib Pajak penerbit Faktur Pajak fiktif itu.
“Aksi tindak pidana di bidang perpajakan itu juga terendus karena KTP pelaku bukan e-KTP tapi KTP biasa yang bentuknya sama dengan KTP sebelum berlakunya e-KTP. Ketika pelaku diminta menunjukkan identitas lain seperti SIM dan paspor, ia tidak dapat menunjukkannya,” katanya.
Kemudian saat pelaku diminta menunjukkan Kartu Keluarga dan menyebutkan identitas anggota keluarganya, ia juga tidak dapat menunjukkan bukti dan penjelasan yang memadai. Dan ketika petugas KPP melakukan pengecekan terhadap sistem kependudukan nasional diketahui bahwa KTP tersebut tidak terdaftar dalam sistem kependudukan nasional.
KPP Pratama Jakarta Tebet, Kanwil DJP Jakarta Selatan serta Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Inteldik) Kantor Pusat DJP kemudian langsung berkoordinasi melakukan penanganan. Dari pengembangan informasi yang diterima dari kurir tersebut, diketahui rencana jaringan itu untuk melakukan pendaftaran penggunaan e-Faktur di berbagai KPP. Ketika penyidik melakukan pengamatan di TPT di berbagai KPP itu dan berkomunikasi dengan orang-orang tersebut yang datang ke KPP untuk keperluan e-Faktur, terlihat bahwa penampilan orang-orang tersebut sangat jauh dari penampilan sebagai seorang direktur perusahaan.
Selain itu, orang-orang itu kadang kala lupa nama dan alamat yang tertera dalam KTP palsu dan ketika ditanya tentang alamat kantor, jawaban spontan adalah kantor tempat beroperasinya jaringan penerbit Faktur Pajak fiktif tersebut dan bukan alamat wajib pajak yang terdaftar dalam Master File DJP.
Hal itu karena 58 perusahaan tersebut secara fisik tidak ada di alamat tempat perusahaan terdaftar sebagai wajib pajak dalam Master File DJP, namun dioperasikan dari satu apartemen di Jakarta dan orang-orang itu setiap hari berada di alamat tersebut.
“Saat dilakukkan penggeledahan dan penyitaaan terhadap dokumen dan barang yang berada di apartemen itu, ditemukan banyak sekali SPT, cap, dokumen, flash disk, external harddisk yang menunjukkan bahwa jaringan mafia Faktur Pajak fiktif itu hanya menebitkan Faktur Pajak tetapi tidak ada sedikitpun usaha nyata yang mereka lakukan,” kata Satria.
Atas dibongkarnya praktik mafia faktur tersebut, DJP akan memperketat mekanisme pemberian sertifikat elektronik untuk penggunaan e-Faktur bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mengajukan pendaftaran penggunaan e-Faktur di seluruh KPP di Indonesia.
No comments:
Post a Comment