Kalangan pengusaha dan pekerja berharap pemerintah segera bertindak mengingat angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah semakin meningkat. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit mengatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah memberikan kepastian lapangan pekerjaan padat karya dengan cara membenahi berbagai kebijakan.
Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah dengan melakukan kesepakatan perdagangan dengan negara lain, agar kelebihan produksi industri padat karya dalam negeri bisa diserap langsung oleh pasar luar negeri. "Dengan adanya hal ini, maka akan tercipta keberlangsungan tenaga kerja karena ada kepastian tujuan produksi. Selain itu, kebijakan ini kan juga bisa menarik prinsipal asing berbasis ekspor untuk berinvestasi di Indonesia," jelasnya di Jakarta, Kamis (1/10).
Lebih lanjut, Anton menerangkan bahwa Indonesia merupakan lokasi potensial karena memiliki penduduk yang banyak. Akibat jumlah penduduk yang banyak itu, menurutnya, Indonesia juga merupakan pasar potensial sehingga para investor di Indonesia seharusnya bisa dijanjikan pasar ekspor dan juga pasar domestik yang sama-sama kuat. "Kalau misalkan produsen asing banyak ekspor barang ke Indonesia namun tak membuat basis produksinya di sini kan artinya ada yang salah. Disinilah kami butuhkan kebijakan pemerintah untuk menjamin investasi yang bisa memberikan kestabilan jumlah tenaga kerja," jelas Anton.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Labor Institute Indonesia (LII) Rekson Silaban mengatakan bahwa pemerintah juga perlu memberikan kompensasi kepada korban PHK dalam bentuk subsidi tunai langsung. Menurutnya, hanya itulah solusi yang bisa diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya beli buruh korban PHK selama belum ada solusi konkrit dari pemerintah. "Memang mau tak mau harus digenjot konsumsinya, apalagi konsumsi itu merupakan komponen terbesar di pertumbuhan ekonomi. Kita bukan negara lain yang bisa bergantung dari sisi produksi," terang Rekson di lokasi yang sama.
Ia merujuk pada data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukkan bahwa porsi konsumsi swasta di Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) nasional rata-rata sebesar 56 persen di semester I 2015. Kalau hal ini dibiarkan terus, terang Rekson, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan mencapai target yang diinginkan.
"Namun jangan selamanya buruh yang kena PHK ini dikasih subsidi terus, karena dalam waktu jangka panjang kita harus keluar dari mengandalkan konsumsi dan lebih mengandalkan sisi produksi," tambahnya. Namun dalam memastikan efektifitas kebijakan-kebijakan itu, keduanya sepakat bahwa diperlukan data yang akurat terkait PHK. Pasalnya, hingga saat ini belum ada basis data yang jelas dan disinyalir banyak industri-industri yang belum lapor terkait angka PHK yang terjadi.
"Ini kembali ke urusan pemerintah, bagaimana memunculkan data yang akurat. Memang masing-masing asosiasi industri punya data terkait PHK yang terjadi, tapi apakah hal itu sudah dilaporkan juga? Dari tahun ke tahun data PHK itu siluman," jelas Anton. Apalagi menurutnya, kini indikasi penambahan angka PHK makin terasa setelah adanya data Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa sudah ada 682 ribu peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mencairkan jaminan hari tua sepanjang tahun ini. Semakin cepat dan akurat pemerintah melakukan pendataan, maka bisa cepat tercipta kebijakan yang mencegah PHK berkelanjutan.
Sebagai informasi, data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mengatakan bahwa sepanjang tahun ini telah terdapat 62.321 PHK yang tersebar di 14 provinsi. Di dalam data tersebut, provinsi Jawa Timur memiliki jumlah PHK terbanyak yaitu 24.599 orang atau 39,52 persen dari jumlah terdata. Sedangkan pada periode yang sama, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat adanya PHK sebesar 42.449 orang yang terdapat di 7 provinsi. Pada data tersebut, Kalimantan Timur malah menjadi provinsi dengan jumlah terbanyak yaitu 10.721 orang, atau 25,25 persen dari jumlah tersebut.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan bahwa 11 dari 100 proyek investasi prioritas pada tahun ini telah berhasil terealisasi. Jumlah tersebut meningkat lima kali lipat dibandingkan pada Juni lalu yang hanya berhasil merealisasikan dua proyek. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan bahwa realisasi investasi ini sudah mampu menyerap 9.280 tenaga kerja langsung. Ia berharap, realisasi sisa proyek-proyek prioritas ini bisa cepat rampung hingga akhir tahun agar bisa menciptakan lebih banyak tenaga kerja.
"Beberapa proyek sudah selesai. Sudah ada penyerapan tenaga kerja, sudah ada ekspor, ke daerah sudah bayar pajak. Efeknya sudah mulai terasa. Kami harapkan bisa fasilitasi percepatan penyelesaian realisasi proyek-proyek ini karena bisa menambah penyerapa tenaga kerja," kata Azhar di kantornya, Kamis (1/10). Ia merinci bahwa 11 proyek tersebut terdiri dari smelter nikel di Sulawesi Tenggara dengan investasi US$ 635 juta, industri komponen otomotif di Jawa Tengah senilai US$ 70,52 juta, industri pengolahan susu di Jawa Barat sebesar US$ 29,6 juta, industri semen US$ 329,65 juta, dan industri ban US$ 126,5 juta.
Selain itu, BKPM juga mencatat adanya realisasi investasi industri semen di Banten US$ 854,73 juta, beberapa investasi di Jawa Timur seperti industri kertas tisu US$ 35,18 juta, industri farmasi US$ 13,3 juta, dan perkebunan tebu dan pabrik gula US$ 552 juta serta penanaman modal di Bali seperti Perhotelan US$ 14,4 juta dan pembangkit listrik sebesar US$ 385,36 juta. Total nilai seluruh investasi tersebut adalah US$ 3,04 miliar.
"Investasi-investasi tersebut sejauh ini diharapkan bisa menghasilkan ekspor sebesar US$ 513 juta. Namun yang utamanya, investasi itu bisa menyerap tenaga kerja hingga 9 ribu orang. Kalau 100 proyek ini selesai, bisa dibayangkan berapa jumlah tenaga kerja yang bisa terserap," kata Azhar. Sebagai informasi, sejak semester I tahun ini BKPM fokus kepada 100 proyek prioritas yang realisasinya diharapkan bisa cepat mengingat proyek-proyek itu memiliki nilai ekspor yang tinggi dan juga penyerapan tenaga kerja yang banyak. Proyek-proyek itu sendiri memiliki total nilai investasi sebesar US$ 219,67 miliar yang terdiri dari sektor industri (64 proyek), pembangkit tenaga listrik (14 proyek), perkebunan (6 proyek), jasa pertambangan (1 proyek), transportasi (3 proyek), pariwisata (11 proyek), dan peternakan (1 proyek).
Dari investasi tersebut, diharapkan bisa tercipta 73.459 tenaga kerja dan potensi ekspor sebesar US$ 3,29 miliar per tahunnya. Dengan kata lain, serapan tenaga kerja sejauh ini baru 12,63 persen dari total serapan tenaga kerja dari target 100 proyek itu. Sepanjang semester pertama tahun ini, BKPM sendiri mencatat adanya 696.147 tenaga kerja terserap dari realisasi investasi sebesar Rp 259,7 triliun atau 49,9 persen dari target realisasi tahun ini. Serapan tenaga kerja itu terdiri dari hasil penanamn modal dalam negeri (PMDN) sebanyak 261.210 tenaga kerja dan 434.937 tenaga kerja dari hasil realisasi penanaman modal asing (PMA).
No comments:
Post a Comment