Produk-produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menembus pasar ekspor. Hanya saja, masih banyak yang tidak tau dan memahami bagaimana prosedur dan mekanisme yang harus dilalui supaya produknya bisa dieskpor ke luar negeri. Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Kementerian Perdagangan Ari Satria menjabarkan ada empat langkah yang harus ditempuh pelaku usaha hingga produknya bisa diekspor, yakni persiapan administrasi, legalitas sebagai eksportir, persiapan produk ekspor, dan persiapan operasional.
Persiapan Administrasi
Sebagai badan usaha yang akan melakukan bisnis internasional tentunya harus mempunyai kantor yang bersifat permanen atau memiliki kontrak dalam jangka waktu panjang, beserta perlengkapan dan peralatan pendukung lainnya. Selain itu, pelaku usaha juga harus mempunyai jaringan komunikasi dan tenaga operasional yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, serta menyiapkan company profile sebagai bahan informasi dan promosi kepada calon pembeli.
Legalitas sebagai Eksportir
Kemudian, calon eksportir juga harus mempersiapkan legalitas yang dibutuhkan untuk mengekspor produknya. Beberapa persyaratan yang harus dipersiapkan di antaranya, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pokok (NPWP), serta dokumen lain yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah persyaratan di atas dipenuhi, pelaku usaha juga harus menyiapkan dokumen lainnya seperti kontrak penjualan, faktur perdagangan, letter of credit (L/C), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Bill of Lading (B/L), polis asuransi, packing list, Surat Keterangan Asal, surat pernyataan mutu, dan wessel export untuk eksportir.
Persiapan Produk Ekspor
Sambil persyaratan di atas dilengkapi, pelaku usaha sebelumnya harus dapat mengetahui ketentuan persyaratan internasional atau ketentuan permintaan pasar luar negeri, misalnya kuantias, kualitas, pengemasan, pelabelan, penadanaan dan waktu pengiriman. “Pelaku usaha juga harus mengkalkulasi biaya-biaya yang diperlukan mulai dari ongkos produksi hingga pemasaran, sehingga bisa menetapkan harga jual produk,” katanya. Selain itu, pelaku usaha juga harus bisa memastikan produksi yang kontinyu, sehingga tidak akan kelimpungan saat mendapatkan pesanan dalam jumlah yang besar.
Persiapan Operasional
Di sisi lain, pelaku usaha juga harus memperhatikan hal operasional lainnya, seperti proses ekspor, prosedur dan dokumen ekspor. Serta mulai mengenali kebijakan dan peraturan ekspor-impor, serta strategi ekspor. Ari menambahkan, saat ini para pelaku usaha bisa mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di Pusat Pelatihan Ekspor Daerah yang saat ini sudah ada di lima daerah. Pelatihan tersebut dipandu oleh para praktisi, sehingga materi yang diberikan bisa secara teknis.
“Karena sudah ada di beberapa daerah, pelaku usaha tidak perlu ikut pelatihan ke Jakarta. Selain itu, karena pengisi materinya adalah praktisi maka yang dijelaskan tidak mengawang,” paparnya. Meskipun sudah banyak pelatihan diupayakan pemerintah untuk mendorong ekspor produk, Ari mengakui masih banyak kendala lain yang dihadapi para pelaku usaha. Di antaranya, para pelaku usaha kurang mampu dalam melakukan komunikasi bisnis dengan calon pembeli.
Selain itu, banyak juga yang belum tahu arti penting kontrak bisnis yang harus dilakukan secara cermat untuk menghindari perselisihan dagang. “Pelaku usaha juga belum memanfaatkan keberadaan lembaga pemerintah di dalam dan luar negeri untuk mempromosikan produk serta berkonsultasi terkait peluang pasar,” ujarnya.
Para pelaku usaha juga terus didorong untuk mengikuti berbagai program dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kementerian Perdagangan, misalnya layanan satu pintu Customer Service Center dan Designer Dispatch Service (DDS).
Dengan menjadi anggota dari layanan satu pintu tersebut, pelaku usaha dapat memperoleh berbagai layanan seperti melakukan promosi, mendapatkan hasil riset pasar, dan permintaan hubungan dagang yang dikirimkan oleh para Perwakilan Perdagangan Indonesia di luar negeri maupun KBRI.
Di sisi lain, pelaku usaha juga harus menyesuaikan produknya dengan selera pasa yang dibidik. Mulai dari desain produk, preferensi konsumen, termasuk mengenai standar produk serta kebijakan perdagangan yang berlaku. “Pelaku usaha juga harus mengubah mindset menjadi aktif, agresif dan kreatif. Dari awalnya menunggu pembeli, menjadi menjemput pembeli,” kata Ari.
Saat ini sudah banyak produk-produk anak bangsa yang beredar di luar negeri. Hanya saja, sistem penjualan yang dilakukan para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) itu tidak bisa menyumbang angka ekspor Indonesia. Ekonom dan Ketua UKM Center Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, melihat fenomena tersebut merupakan gambaran umum dari kondisi UMKM di Indonesia.
Eugenia mengatakan sebenarnya sudah banyak produk-produk buatan dalam negeri yang beredar di mancanegara. Hanya saja, prosedur barang tersebut keluar tidak melalui mekanisme ekspor. Mayoritas produk-produk tersebut dibawa oleh orang asing yang datang ke Indonesia. Menurut Eugenia, hal itu disebabkan oleh pengetahuan pelaku UMKM yang tidak tuntas terkait dengan mekanisme ekspor. Sebagian besar wirausahawan tersebut mengetahuinya setengah-setengah. Padahal untuk memiliki kemampuan ekspor harus mengetahui mekanismenya dari awal hingga akhir.
“Saya lihat sudah banyak pelatihan yang dilakukan oleh berbagai kementerian, tapi semuanya belum terintegrasi, sehingga informasi yang diberikan juga tidak tuntas,” ucap Eugenia. Untuk itu, ujar Eugenia, harus didorong dengan pembaruan metode pelatihan yang diberikan kementerian terkait. Tak hanya sekadar pemberian materi, tapi juga harus ada pembinaan dan pendampingan hingga UMKM mampu melakukan ekspor secara mandiri.
Proses pendampingan tersebut bisa dilakukan dengan bekerja sama antara pemerintah, akademikus, dan swasta yang bisa menjadi mentor dan tempat konsultasi ketika pelaku usaha mengalami kesulitan saat menempuh tiap langkah proses ekspor. Selain mengenai hal-hal teknis ekspor, tutur Eugenia, pelaku usaha juga perlu dibina terkait dengan peningkatan kualitas produk ekspor serta bagaimana mengemas produknya supaya diterima pasar.
“Jika pelaku usaha mampu melakukan ekspor produk sendiri, pertumbuhan penjualannya bisa sangat signifikan,” katanya. Eugenia percaya kemampuan ekspor yang dimiliki UMKM tersebut bisa terus mendorong nilai ekspor Indonesia yang disumbang dari produk-produk UMKM. Pasalnya, selama lima tahun terakhir, tercatat tren positif dari produk UMKM.
Pada periode Januari-Februari 2015, nilai ekspor produk UMKM mencapai US$ 2,07 miliar, yang didominasi produk pertanian dengan nilai 40,99 persen. Sementara itu, produk UMKM yang memiliki pertumbuhan terbesar adalah obat tradisional terstandar yang tumbuh hingga 32,14 persen dan makanan olahan dengan pertumbuhan 12,72 persen.
No comments:
Post a Comment