Tuesday, April 21, 2015

Tenaga Ahli Jepang Di Indonesia Kebanyakan Tidak Lulus S1

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menyatakan sejumlah investor Jepang merasa berkeberatan dengan aturan Menteri Tenaga Kerja yang mewajibkan tenaga kerja asing (TKA) yang ada di Indonesia harus bergelar sarjana. "Investor Jepang komplain tenaga mereka yang datang ke mari harus S1," kata Sofyan di sela-sela World Economic Forum on East Asia, Jakarta, Senin 20 April 2015. Menurut Sofyan, ketentuan itu tidak sesuai dengan tradisi ketenagakerjaan di Jepang.

Sebab, di Negeri Sakura itu, tenaga kerja umumnya berijazah diploma dengan berbagai training sebagai pelengkap keterampilan. "Yang penting D2 dan D3, kemudian bekerja sekian lama, ikut berbagai training sehingga mereka menjadi lebih expert," kata dia. Perbedaan itu, kata Sofyan, ternyata menjadi kendala saat para pebisnis Jepang akan memulai usaha di Indonesia. Sebab, tenaga kerja mereka di sana kesulitan masuk ke Indonesia.

Masalah lain adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk mengurus visa. Para investor, kata Sofyan, berharap pemerintah Indonesia memiliki solusi untuk memangkas waktu pengurusan visa. "Kadang ada tenaga ahli yang hanya perlu waktu 6 jam untuk membetulkan mesin di sini, tapi waktu mengurus visanya perlu dua minggu. Ini tidak efisien," katanya. Menurut Sofyan, pemerintah akan mencoba responsif terhadap keluhan dan masukan dari para investor. Hal tersebut menurut Sofyan telah dicontohkan oleh Presiden Jokowi yang selalu cepat dan solutif dalam berinteraksi dengan pengusaha-pengusaha asing.

"Melalui forum seperti ini akan kami komunikasikan tentang Indonesia, sehingga mereka yakin bahwa Indonesia tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini," katanya. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dafiri mengatakan tenaga kerja asing wajib menguasai bahasa Indonesia. "Asas resiprokalitas, maksudnya kalau mengirim orang ke Jepang, dilatih bahasa Jepang, ke Korea kita latih bahasa Korea. 

Kalau ada orang asing masuk ke sini, dia harus melatih diri dengan bahasa Indonesia," kata dia di sela kunjungan kerjanya di Bandung, Kamis, 19 Maret 2015.
Hanif mengatakan syarat kemampuan menguasai bahasa Indonesia itu menjadi bagian kebijakan pengendalian bagi tenaga kerja asing. "Ada dua kebijakan terkait tenaga kerja asing, pertama pelayanan, kedua pengendalian," kata dia.

Menurut Hanif, tenaga kerja asing wajib menguasai bahasa Indonesia untuk bekerja di Indonesia. "Kemahiran berbahasa Indonesia penting karena mereka bekerja di Indonesia, harus memahami kultur dan budaya Indonesia. Mereka juga harus memahami aturan ketenagakerjaan di Indonesia," kata Hanif.

Hanif mengatakan, selain bahasa Indonesia, kebijakan pengendalian ini menyangkut soal kualifikasi tenaga kerja asing. "Untuk memastikan bahwa yang dikirim ke sini benar-benar memiliki kualifikasi sebagaimana yang diajukan oleh perusahaan terkait. Perusahaan mengajukan rencana penggunaan tenaga kerja asing tuh, misalnya untuk sektor apa, jabatannya apa, biar sesuai," kata dia.

Untuk mengimbanginya, pemerintah juga berjanji memperbaiki pelayanan terhadap tenaga kerja asing. "Dari segi pelayanan, kami buat cepat, efisien, mudah, online base. Itu dari sisi pelayanan, cepat, sederhana," kata Hanif. Sementara itu, soal kebijakan pengetatan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor rumah-tangga, diklaimnya hampir rampung. "Resminya akan kami umumkan kepada masyarakat dalam waktu dekat," kata Hanif.

Hanif mengatakan kementeriannya tengah merampungkan finalisasi road mappemberhentian penempatan tenaga kerja ke luar negeri di sektor rumah tangga. "Ihwal yang berkaitan dengan TKI, tunggu saja," kata dia. Dia mengklaim sudah melaporkan soal itu kepada Presiden Joko Widodo. "Saya sudah lapor ke Presiden, prinsip-prinsip seperti apa yang menjadi konten utama dari road map itu," kata Hanif.

No comments:

Post a Comment