Tuesday, April 21, 2015

Industri Dana Pensiun Swasta Bubar Diri Jika Iuran Pensiun BPJS 8 Persen

Industri dana pensiun swasta dipastikan bakal kebakaran jenggot dengan diberlakukannya pungutan 8 persen untuk program pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Makanya, Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK) merekomendasikan tiga usulan kepada pemerintah.

Usulan pertama, kata Nur Hasan Kurniawan, Wakil Ketua Umum Perkumpulan DPLK, pemerintah hendaknya fokus mengoptimalkan dana kepesertaan program jaminan hari tua yang sudah berlangsung sejak 1992. Sebab, dari 63 juta pekerja sektor formal, baru 15 juta atau 24 persen yang baru ikut serta. "Itu saja (jaminan hari tua) tidak optimal, mengapa harus membebani pemberi kerja dan pekerja dengan kebijakan baru, iuran baru?" kata Nur, Senin (20/4/2015).

Kedua, jika pemerintah tetap memaksakan iuran pensiun diwajibkan, sebaiknya jumlah pungutan diturunkan di bawah 2 persen dan meningkat secara bertahap.Alasannya, iuran jaminan hari tua sebesar 5,7 persen saja tidak seluruh peserta membayar. Apalagi kalau ditambah dengan iuran baru sebesar 8 persen. Pemberi kerja dan pekerja yang belum membayar jaminan hari tua pasti akan kaget dengan iuran total 13,7 persen.

Usulan ketiga, adalah menunda program iuran pensiun ini. Asosiasi menilai, pemberlakuan program jaminan pensiun terlalu terburu-buru. "Tak banyak pekerja yang memahami bahwa iuran pasti dengan manfaat pasti baru bisa diperoleh tahun 2030 atau 15 tahun setelah membayarkan iuran," imbuh Suheri, Pelaksana Tugas Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI).

Wajar jika pelaku dana swasta ketar-ketir terhadap program dana pensiun BPJS Ketenagakerjaan ini. Sebab, bisnis dana pensiun akan terganggu. Dengan adanya program iuran wajib ini, industri dana pensiun swasta meramalkan pertumbuhan dana pensiun swasta bakal negatif. Padahal, dalam lima tahun terakhir, dana kelolaan dapen swasta rata-rata tumbuh 20 persen saban tahunnya.

"Kami perkirakan tadinya tumbuh 20 persen, tetapi dengan jaminan pensiun kami kira bisa minus," jelas Nur Hasan tanpa menyebut seberapa besar pertumbuhan dapen swasta bakal terkoreksi. Tak heran jika dapen swasta meluncurkan protes keras kepada pemerintah. Bahkan ADPI dan Perkumpulan DPLK siap membubarkan diri dan menghentikan kepesertaan jika pemerintah bersikeras.

Menurut Suheri, besaran iuran yang dipatok memberatkan pemberi kerja dan pekerja. Tanpa jaminan pensiun saja, beban kesejahteraan pekerja sudah mencapai 18,24 persen - 20,74 persen. Ditambah jaminan pensiun, beban kesejahteraan berpotensi meningkat menjadi 26,24 persen- 28,74 persen.

Tentu saja, bagi pekerja yang tidak sanggup lagi menanggung beban akan memilih program wajib BPJS Ketenagakerjaan dan melepas kepesertaan dapen swasta yang sifatnya sukarela. Sementara, di sisi lain, Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPKK) memiliki kewajiban tetap membayarkan kewajiban kepada pensiunan setiap bulan. "Iuran tidak ada, bagaimana bisa berbisnis," kata Suheri.

Besaran iuran jaminan pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menjadi bola panas baru. Sebab, antar instansi pemerintah dan regulator pemerintah belum bulat ihwal penetapan iuran pensiun wajib BPJS sebesar 8 persen dari gaji pegawai.

Heru Juwanto, Direktur Pengawasan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menilai, penetapan iuran pensiun wajib sebesar 8 persen belum putus. Alasannya, rapat yang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Iuran Jaminan Pensiun dan memutuskan iuran pensiun wajib sebesar 8 persen, tak menyertakan persetujuan Kementerian Keuangan (Kemkeu).

Rapat yang berlangsung 8 April 2015 itu hanya dihadiri Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), BPJS Ketenagakerjaan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal, menurut Heru, RPP Iuran Jaminan Pensiun itu harus mengantongi persetujuan dari Kemkeu sebelum diajukan ke presiden. Alhasil, "Selama Kemkeu belum tanda tangan, RPP itu harus dibahas ulang," kata Heru, Kamis (16/4/2015).

Asal tahu saja, rapat itu memutuskan dari iuran pensiun 8 persen. Sebesar 5 persen dibayar pemberi kerja dan 3 persen menjadi tanggungan pekerja. Nah, menurut hitungan OJK besaran iuran pensiun yang pas adalah 4 persen. Jika dipaksakan 8 persen, jumlah dana pensiun swasta akan menyusut. "Bisa habis nanti," kata Heru. Wahyu Widodo, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial, Kemnakertrans, membenarkan perwakilan Kemkeu memang absen dalam rapat terakhir. "Kalau tak hadir berarti sepakat," tandas Wahyu. Alhasil, ia menegaskan, iuran pensiun 8 persen sudah final.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya, menilai iuran pensiun sebesar 8 persen tak akan mematikan dana pensiun swasta. Sebab yang ditawarkan oleh BPJS adalah manfaat dasar, sehingga tak berkompetisi dengan swasta.

Isa Rachmatarwata, Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal Kemkeu menyatakan, pihaknya mengusulkan iuran pensiun mulai dari 3 persen. Setiap dua tahun atau tiga tahun sekali iurannya bertambah sebesar 0,2 persen atau 0,3 persen.

Isa mengklaim bahwa rumusan Kemkeu ini sudah memperhitungkan jumlah manfaat pasti yang dijanjikan, dan kondisi ekonomi dalam negeri. Tren demografi, kapasitas penyerapan investasi dalam negeri serta efisiensi alokasi dana oleh pemerintah dan swasta, juga masuk pertimbangan tersebut.

Meski iuran lebih rendah dari 8 persen, Isa berkeyakinan sudah mencukupi. Sebab, peserta program jaminan pensiun berhak atas manfaat pasti setelah membayar iuran minimal selama 15 tahun. Pengusaha dan dana pensiun kompak. Mereka protes atas besaran iuran program BPJS Ketenagakerjaan yang disepakati pemerintah sebesar 8 persen. Bagi pengelola dana pensiun, program wajib ini berpotensi menggusur bisnis mereka.

Dengan iuran sebesar itu, kata Sujatmoko, Manajer Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Bank Negara Indonesia (BNI), perusahaan kelas menengah bawah bisa menghentikan program pensiun komersial, dan beralih ke program pensiun BPJS Ketenagakerjaan.

"Jika biayanya tinggi, mereka tentu akan memilih yang wajib dulu," ujar Sujatmoko. Padahal, nasabah DPLK BNI kebanyakan perusahaan kelas menengah bawah dan peserta ritel. Hanya 10 persen dari total nasabah korporat adalah perusahaan-perusahaan besar. Agar bisnis tetap hidup, DPLK BNI harus akan menggenjot program pesangon.

SS Setiawan, Pelaksana Tugas Pengurus DPLK Bank Muamalat juga khawatir, pemberi kerja akan memprioritaskan BPJS Ketenagakerjaan. Hitungan dia, kemampuan iuran pemberi kerja maksimal adalah 10 persen. Agar bisa bersaing dengan BPJS Ketenagakerjaan, DPLK Muamalat akan meningkatkan layanan. Salah satu contoh strateginya dengan menawarkan hasil investasi menggiurkan dan biaya yang kompetitif. "Untuk produk alternatif, kami berharap banyak program pesangon dapat jadi andalan meningkatkan pasar," jelas Setiawan.

Adapun DPLK BJB mengaku tak terlalu khawatir dengan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, DPLK BJB memfokuskan bisnis pada nasabah ritel. "Dari 4.000 nasabah di tahun lalu, hanya 30 persen yang korporat," kata Group Head DPLK BJB Wahyu Rudiyat. Bagi pengusaha, iuran wajib dana pensiun sebesar 8 persen terlalu besar bagi perusahaan yang berkewajiban menanggung 5 persen dan karyawan 3 persen ini. Wakil Ketua Kadin Shinta Kamdani mengatakan, iuran ideal adalah 5 persen. Protes sebelumnya juga sudah disuarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK minta pemerintah menurunkan iuran pensiun BPJS.

Hitungan OJK, dengan tidak memasukkan iuran pensiun, saat ini, setiap perusahaan menanggung beban kesejahteraan sebesar 18,24 persen-20,74 persen. Pemberi kerja menanggung 14,24 persen-16,74 persen dan pekerja 4 persen. Beban tersebut untuk membayar iuran jaminan hari tua, jaminan kematian, serta jaminan kecelakaan kerja yang juga dijalankan BPJS Ketenagakerjaan, serta jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan dan pesangon.

No comments:

Post a Comment