Tuesday, April 21, 2015

Vietnam Optimis Program Swasembada Beras Presiden Jokowi Gagal

Ambisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk bisa mencapai swasembada pangan dalam lima tahun ke depan diragukan Vietnam, salah satu negara pemasok beras impor untuk Indonesia. Seorang pejabat Vietnam yakin tingginya permintaan beras dari Indonesia tidak akan mampu membuat Jokowi menutup keran impor beras dari negaranya. Hal tersebut diungkapkan Menteri Pertanian dan Daerah Vietnam Cao Duc Phat yang mengatakan Indonesia dan Vietnam sudah mempunyai perjanjian untuk kerjasama promosi dalam bidang pertanian termasuk perjanjian dalam perdagangan beras.

"Kemarin saya bertemu dengan Menteri Pertanian Indonesia, di situ disepakati untuk tetap bekerjasama dalam perdagangan beras antar dua negara," kata Duc Phat saat berbincang dengan CNN Indonesia di sela acara World Economic Forum di Jakarta, Selasa (21/4).  Namun, Duc Phat mengatakan pemerintahnya tetap menghargai upaya Jokowi untuk mengejar swasembada. Menurutnya Indonesia dan Vietnam memiliki visi dan misi yang sama terkait ketahanan pangan.

"Kami menghargai ide itu, karena swasembada merupakan hal yang sangat penting untuk sebuah negara yang memiliki populasi besar," ujarnya. Duc Phat menjelaskan tahun lalu, total nilai perdagangan antara Indonesia dan Vietnam mampu menembus target yakni US$ 50 miliar selama 2014. "Selain beras, kami juga ekspor ikan, sayuran, dan masih banyak yang masuk dalam perjanjan perdagangan kita," katanya.

Pada semester awal tahun 2014, impor beras dari Vietnam berada di peringkat keempat sebanyak 6.206 ton atau setara US$ 3,3 juta. Sedangkan yang terbesar tercatat dari Thailand sebanyak 90.763 ton senilai US$ 42,6 juta, disusul India 61.546 ton setara US$ 22,3 juta, Pakistan 8.950 ton senilai US$ 3,33 juta. dan Myanmar 8.136 ton sekitar US$ 2,7 juta.

Beberapa negara lainnya juga menjadi negara pengekspor beras ke Indonesia dengan kisaran sebesar 675 ton atau US$ 1,9 juta. Besaran impor beras biasanya disesuaikan dengan kondisi panen yang terjadi di negara tersebut. Ketahanan pangan menjadi isu krusial bagi seluruh negara di dunia. Di Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia dan Kamboja, ancaman krisis pangan di depan mata menyusul populasi penduduk yang tidak sebanding dengan luas lahan pertanian yang semakin terbatas.

"Ketahanan pangan adalah suatu permasalahan. Saya ingin ingatkan, kalau tidak ada minyak kita tidak akan mati, tapi kalau tidak ada makanan kita akan mati,” kata Perdana Menteri Kamboja Samdech Techno Hun Sen pada sesi diskusi World Economic Forum (WEF) 2015 bertajuk 'Setting Asia's Agenda for a Food-Secure Future' di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (21/4).

“Masalahnya, jumlah populasi terus meningkat, tapi tanah untuk pertanian semakin kecil, karena banyak dibangun perumahan," ujar Hun Sen lagi. Kasus ini, kata Hun Sen, tak hanya terjadi di Kamboja tetapi juga masalah bagi banyak negara. Karenanya, perlu upaya bersama yang juga melibatkan swasta untuk mengembangkan sektor pertanian sambil dibarengi dengan reformasi agraria. "Sejak memulai jabatan sebagai Perdana Menteri Kamboja pada 30 tahun lalu, saya telah mengimplementasikan reformasi tanah dan mengupayakan ekspansi atau meningkatkan produksi beras," tuturnya.

Hun Sen mengklaim berbagai terobosan yang diupayakan pemerintahannya berhasil meningkatkan produksi dan kualitas hasil tani, terutama beras. Beras Kamboja, kata Hun Sen, memiliki kualitas nomor satu di dunia, mengalahkan beras produksi Indonesia dan Hong Kong.  "Karena keterbatasan lahan, kami mengubah dari kultivasi ekstensifikasi menjadi kultivikasi intensifikasi," tuturnya.

Sebagai informasi, saat ini sekitar 70 persen masyarakat Kamboja bergantung hidup pada sektor pertanian. Selain menyerap cukup banyak tenaga kerja, sektor pertanian juga menyumbang sepertiga PDB Kamboja. Peter Ter Kulve, Presiden Direktur Unilever untuk kawasan Asia Tenggara dan Australia, menilai dunia tidak punya masalah terhadap produksi makanan. Menurutnya, lebih dari 50 persen makanan yang diproduksi terbuang oleh konsumen di berbagai negara, terutama negara kaya.

"Ada juga yang dibuang karena tidak dimakan, banyak sekali yang terbuang pada saat pengangkutan dan penyimpanan. 25 persen sampai 30 persen dari makanan yang diproduksi terbuang pada proses pengangkutan dan penyimpanan," tuturnya. Peter mengatakan prioritas utama yang harus dilakukan untuk menyesaikan krisis pangan adalah dengan melakukan perubahan prilaku konsumen. Konsumen di seluruh dunia, terutama di negara maju, diharapkan bisa lebih bertanggungjawab terhadap makanan yang mereka beli.

"Terlalu banyak orang yang kurang gizi, tapi di sisi lain banyak sekali orang yang membuang makanan begitu banyak," katanya Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menurunkan angka target produksi beras yang masuk kategori swasembada menjadi hanya 28 juta ton. Padahal dalam Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, untuk masuk kategori swasembada beras, tercantum angka produksi 82 juta ton yang harus dicapai Jokowi pada 2019.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan alasan diturunkannya target swasembada itu setelah pemerintah melakukan verifikasi ulang target awal tersebut. JK menjelaskan, verifikasi yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengubah standardisasi pengukuran konsumsi rumah tangga yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS) dari sebelumnya 139 kilogram per tahun atau 380 gram per hari, menjadi 114 kilogram per tahun setara 312 gram per hari. "Dengan begini target swasembada lebih cepat, karena angka secara nasional 28 juta ton beras. Pasti bisa mencapai swasembada beras di tahun ini,” kata JK di kantornya, Jakarta (20/3).

Jika jumlah produksi beras yang masuk kategori swasembada dipangkas menjadi hanya 28 juta ton saja, maka pada pertengahan tahun diperkirakan pemerintah sudah mencapai target tersebut. Sebab sebelumnya Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Hasil Sembiring memperkirakan hasil panen dari sawah para petani di seluruh Indonesia sampai April 2015 bisa mencapai 20,9 juta ton.

Rinciannya, produksi beras pada Januari 2015 sebanyak 1,9 juta ton, Februari sebanyak 4 juta ton, Maret diperkirakan mencapai 7 juta ton, dan April dipercaya bisa menghasilkan 7 juta-8 juta ton beras. Sementara, konsumsi beras di masyarakat per bulan hanya mencapai 2,5 juta ton sampai 2,6 juta ton. Atau secara total hanya berjumlah 10,4 juta ton sampai April 2015.

Sebelumnya Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan untuk disebut berhasil mencapai program swasembada beras maka Indonesia harus mampu memproduksi beras minimal sebanyak 73 juta ton per tahun. Pemerintah sebelumnya sesumbar bisa mencapai target tersebut dalam waktu tiga tahun. Mengutip data BPS, volume produksi beras nasional pada 2014 turun 0,63 persen menjadi 70,83 juta ton dibandingkan jumlah produksi 2013 sebanyak 71,28 juta ton

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tidak mudah bagi Indonesia untuk segera mencapai swasembada beras tanpa didukung dengan perbaikan infrastruktur.  “Saya pikir kalau dari realitanya kita harus step by step,” kata Ketua Apindo bidang Hubungan Internasional & Investasi, Shinta Widjaja Kamdani, usai menghadiri sebuah konferensi internasional Women Economic Empowerment, di Jakarta, Selasa (24/2). “Menyetop impor juga target yang tak mudah.”

Wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini mengungkapkan faktor logistik dan distribusi beras di Indonesia masih bermasalah karena kurangnya infrastruktur pendukung. Rantai pasokan (supply chain) beras di Indonesia masih panjang dan jalur distribusi masih belum efisien sehingga mempengaruhi tingginya harga beras di pasar.

Kendati demikian, Shinta mengapresiasi langkah pemerintah untuk memperpendek rantai distribusi beras dari Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) langsung ke konsumen tanpa harus melalui pedagang sebagai upaya menstabilkan harga. "Yang jelas bulog ini sudah turun langsung, membuka kesempatan untuk menjual langsung kepada masyarakat dan ini saya rasa akan bisa membantu," tuturnya. Sebelumnya Menteri Perdagangan Rachmat Gobel bersikukuh tidak akan melakukan impor beras meski harga beras kini melambung tinggi. Rahmat menginginkan Indonesia dapat segera melakukan swasembada beras.

Sebagai informasi, harga beras kualitas menengah yang awalnya Rp 9.000 per kilogram kini rata-rata sudah naik 30 persen menjadi Rp 12.000 per kilogram sedangkan untuk kualitas premium, harganya sudah mencapai Rp 15.000 per kg dari sebelumnya Rp 11.000 per kilogram di pasaran.

No comments:

Post a Comment