Gencarnya aksi Grup Sinar Mas mengincar aset Grup Bakrie mencuatkan banyak tanya. Salah satunya adalah dugaan adanya motif tersembunyi atas aksi Grup Sinarmas yang terus menadah aset-aset Grup Bakrie. Kabar yang beredar di kalangan pebisnis menyebut, kedekatan Franky Oesman Widjaja, salah satu putra mahkota taipan Eka Tjipta Widjaja dengan Nirwan Bakrie disebut-sebut menjadi alasan. Sinarmas mencoba membangunkan bisnis Bakrie Grup yang tengah surut.
Sayang, Nirwan yang selama ini disebut-sebut sebagai otak bisnis dalam Grup Bakrie tak bisa dikonfirmasi. Tapi, jawaban datang dari Managing Director Grup Sinar Mas Soeherman Gandi Sulistiyanto. Dia menyangkal kabar tersebut. "Tidak ada hubungannya, kecuali pertimbangan bisnis," tandas Gandi, panggilan karibnya.
Biro Risetmencatat, aksi Sinarmas mengoleksi aset Bakrie sudah dimulai sejak tahun 2013. Kala itu, Sinar Mas melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk membeli 3 hektare (ha) lahan di superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk. Sinarmas mengeluarkan dana investasi sebesar Rp 868,93 miliar untuk mendanai aksi korporasi itu. Rencananya, Sinarmas akan mendirikan apartemen di lahan tersebut.
Tak puas sampai disitu. Pada tahun 2014, Sinarmas kembali mengambil alih mal Epicentrum Walk yang berada di Rasuna Epicentrum. Nilai investasi atas aksi korporasi itu Rp 297 miliar. Melalui anak usaha lain yang bergerak di bisnis perkebunan, yakni Golden Agri Resources Ltd, perusahaan ini menadah dua aset lahan sawit seluas 16.000 hektare milik PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk senilai 178 juta dollar AS.
Pada akhir tahun 2014 lalu, PT Smarfren Telecom, perusahaan telekomunikasi yang dimiliki Sinarmas juga telah merangsek masuk ke Bakrie Telecom, dengan kerjasama pemakaian jaringan. Sinarmas juga agresif memborong saham Grup MNC yang mengempit aset eks Bakrie. Belum lama ini, lewat Argyle Street Management Limited (ASML) Sinarmas membeli 5 persen saham PT MNC Land Tbk (KPIG). Dan, portofolio MNC Land adalah lahan eks Bakrie antara Lido Resort, jalan ton dan Bali Nirwana Resort.
Yang terakhir, konglomerasi yang dibangun taipan Eka Tjipta itu ingin menguasai PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), salah satu tentakel bisnis Bakrie di pertambangan batubara. Lewat ASML, Sinarmas menawar 100 persen saham Asia Resource Minerals Plc (ARMS), induk usaha BRAU. Saat ini, ASML mengempit 11,1 juta, setara 4,65 persen saham ARMS yang tercatat di Bursa Efek London.
Adapun, pengendali saham ARMS adalah Samin Tan yang menguasai 47,6 persen saham ARMS, yaitu 23,8 persen melalui PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) dan 23,8 persen melalui Ravenwood. ASML menawar saham ARMS seharga 41 pence per saham. Perusahaan ini juga berjanji menyuntikkan dana segar 150 juta dollar AS ke ARMS sebagai salah satu alternatif restrukturisasi utangnya. Asal tahu saja, BRAU memiliki utang senilai 950 juta dollar AS yang jatuh tempo tahun ini dan tahun 2017.
Namun, niat ASML tersebut bisa jadi tak mulus karena Nathaniel Rothschild juga berambisi menguasai saham mayoritas ARMS. Saat ini Rothschild menggenggam 17,5 persen saham ARMS. Masa keemasan saham Grup Bakrie di pasar modal Indonesia tinggal kenangan. Kapitalisasi pasar emiten Grup Bakrie kian menciut seiring kejatuhan harga saham kelompok usaha tersebut. Kepercayaan investor luntur lantaran beragam restrukturisasi utang Bakrie tak kunjung rampung.
Kapitalisasi Grup Bakrie tahun ini merosot tajam ketimbang masa kejayaannya pada tahun 2010-2011. Pada 2010, kapitalisasi 9 emiten Grup Bakrie Rp 113,27 triliun atau 3,5 persen dari kapitalisasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Lalu, pada 2011, total kapitalisasi 10 emiten Grup Bakrie Rp 108,18 triliun (3 persen kapitalisasi BEI). Ini menjadikan saham Bakrie terus menempati daftar emiten terlikuid, LQ 45. Kini, tak satu pun saham Bakrie masuk indeks terencer itu.
Kini, kapitalisasi Bakrie Rp 39,89 triliun, cuma 0,77 persen dari total kapitalisasi BEI senilai Rp 5.179 triliun. Kejatuhan harga saham itu bersamaan dengan terkoyaknya finansial emiten Bakrie. Tengok saja, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mengajukan proteksi dari kemungkinan tuntutan pailit para kreditor. Permohonan diajukan ke Pengadilan Kepailitan di Manhattan, AS, oleh anak usaha BUMI, Bumi Investment Pte Ltd. Permohonan itu sebulan setelah Bumi Investment gagal membayar bunga obligasi Oktober 2014.
Pada 2008, harga BUMI sempat ke puncak tertinggi di Rp 8.550 per saham. Namun, Jumat (5/12/2014), harga BUMI longsor 99 persen ke Rp 78 per saham. Beberapa harga saham Grup Bakrie, seperti UNSP, BNBR, BTEL, dan ELTY, anteng di angka gocap rupiah per saham. Kondisi terkini Grup Bakrie masuk radar Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK siap memantau koreksi nilai saham maupun penyebabnya. "Kalau ada indikasi pelanggaran tentu perlu pengawasan khusus," papar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida, Sabtu (7/12/2014).
Pengamat pasar modal Teguh Hidayat menilai, proteksi kepailitan hanya memberi napas tambahan ke BUMI, tetapi tak memperbaiki fundamental keuangan. Hingga tadi malam, manajemen BUMI belum bisa dimintai konfirmasinya. Direktur Utama BUMI Saptari Hudaya dan Direktur BUMI Dilleep Srivastava tak merespons panggilan telepon dan pesan singkat
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono memastikan aset PT Minarak Lapindo Jaya, yang dijaminkan sebagai ganti rugi warga terdampak lumpur, akan menjadi milik negara jika Abu Rizal Bakrie tidak bisa melunasi dalam waktu empat tahun. Menurut Basuki, seluruh aset yang dijaminkan Minarak Lapindo kepada pemerintah berupa tanah yang masuk dalam peta terdampak. Luasnya sekitar 420 hektar dengan nilai aset pasca-audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 2,7 triliun.
"Sebelum kami bayar kepada rakyat sebesar Rp 767 miliar itu, kami tahan dulu sertifikat dan surat-surat tanah yang dibayar Rp 2,7 triliun itu, sampai empat tahun. Kalau empat tahun Pak Bakrie tidak bisa bayar, kami akan sita (aset)," ujar Basuki ditemui di sela-sela Peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015, di Jakarta, Selasa (24/3/2015).
Saat ini, surat-surat tanah yang dijaminkan belum di tangan pemerintah. Sebab, tim untuk percepatan penyelesaian lumpur Lapindo belum dibentuk. Pembentukan tim menunggu penandatanganan keputusan Presiden. Basuki menegaskan, sejauh ini belum ada pernyataan kesanggupan dari pihak Minarak Lapindo terkait aset-aset yang dijaminkan. "Belum, wong belum ada yang ngomong. Nanti kalau sudah ada timnya, baru kita ngomong," ucap Basuki.
Nantinya, setelah dibentuk, tim akan membahas pula soal mekanisme pembayaran ganti rugi, apakah melalui perbankan atau tidak. Sementara itu, dia memastikan, jika aset yang dijaminkan tidak dibayar, maka hal itu akan menjadi milik negara. "Yang harus ditebus Bakrie Rp 767 miliar. Itu belum termasuk fasilitas sosial karena ada pondok pesantren di situ. Minggu ini, (nilai ganti rugi) pondok pesantren dan delapan keluarga (tambahan) akan dihitung," kata Basuki.
No comments:
Post a Comment