Sunday, April 26, 2015

Orang Singapura Rajin Memborong Properti Di Indonesia

Motivasi utama Ciputra Group melebarkan sayap bisnis ke Batam adalah pembeli potensial (potential buyer) , dan nyata (real buyer) yakni orang kaya Batam, dan para ekspatriat khusunya asal Singapura.  Meskipun jumlah pembeli asing masih kalah ketimbang pembeli domestik, namun terus tumbuh dari tahun ke tahun. Selain berasal dari Singapura, ada juga yang berasal dari Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Perancis.

Mereka meminati produk properti dengan harga di atas Rp 2 miliar. Rumah seharga ini, bagi para ekspatriat tergolong murah. Pasalnya, bila dibandingkan dengan harga rumah di Singapura perbandingannya bisa enam kali lipat lebih rendah. Sementara dengan Malaysia tiga atau empat kali lebih murah.

Tak mengherankan sebanyak 30 persen produk properti Ciputra Group, klaster The Royal Hill dalam area pengembangan CitraLand Megah Batam yang terjual 80 persen dari total 74 unit, dibeli para ekspatriat. Sementara sebagian besar 70 persen dibeli pembeli domestik asal Batam, Jakarta, dan Surabaya.

Dari komposisi 30 persen itu, 60 persennya diborong orang Singapura. Sisanya terbagi merata oleh orang Malaysia, Korea Selatan, Jepang, dan Perancis. Fenomena tersebut menggambarkan tingginya kebutuhan rumah untuk kalangan ekspatriat di Batam. Mereka, menurut General Manager General Manager Region I Ciputra Group, Andreas Raditya Wicaksono, membutuhkan hunian representatif.

"Mereka berbisnis di Singapura, tapi memiliki pabrik dan industri di Batam. Daripada ulang alik Singapura-Batam, mereka memilih beli rumah di sini. Hal itu pula yang mendorong peningkatan kebutuhan hunian di sini dalam tiga tahun terakhir," papar Andreas kepada Kompas.com, Sabtu (25/4/2015).

Lebih jauh Andreas menjelaskan, harga rumah di Batam lebih rendah ketimbang harga rumah di negara mereka masing-masing. Harga rumah di Singapura per unit bisa mencapai Rp 18 miliar. Itu pun ukurannya di bawah 200 meter persegi. Dengan nilai uang yang sama, mereka bisa memborong enam unit sekaligus di Batam plus bangunan yang lebih luas.

"Klaster The Royal Hill kami patok Rp 3 miliar untuk tipe 245 meter persegi. Bagi mereka luas rumah ini terlalu kecil. Karena itu mereka membeli rumah dengan tipe lebih luas yakni 330 meter persegi seharga Rp 5 miliar-Rp 6 miliar. Itu sudah termasuk fasilitas kolam renang di dalamnya," kata Andreas.

Ketua DPD REI Khusus Batam, Djaja Roeslim, menambahkan, pasar ekspatriat di Batam sangat menjanjikan. Hingga saat ini terdapat 5.000 orang asing yang bekerja di kawasan ini dengan kemampuan beli rumah senilai minimal Rp 2 miliar per unit.

Mereka bekerja di industri-industri elektronik, perkapalan, gas, manufaktur dan lain sebagainya. Baru-baru ini, perusahaan manufaktur asal Jepang membuka pabrik barunya dengan mempekerjakan ribuan orang. Termasuk di dalamnya adalah pekerja asing. "Kalau saja 1.000 orang di antara mereka membeli rumah Rp 2 miliar hanya berbekal passport, berapa nilai pendapatan asli daerah yang masuk dari sektor properti? Itu akan menstimulasi pertumbuhan pasar properti Batam secara signifikan," ujar Djaja.

Oleh karena itu, kata Djaja, pemerintah sebaiknya segera membuka keran kepemilikan asing. Kalau tidak disiapkan dari sekarang, Indonesia akan kerepotan saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku akhir tahun ini. Regulasi yang ada yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia belum mampu mengakomodasi semua hal terkait kepemilikan asing. Termasuk masa kepemilikan.

Djaja menjelaskan, kepemilikan asing lebih luas dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai pemilikan rumah untuk tempat tinggal atau hunian bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Mereka bisa memiliki hunian dengan masa kepemilikan sekaligus 75 tahun.

"Selama ini masa kepemilikan adalah 25 tahun plus 25 tahun diperbarui. Aturan ini tidak fleksibel dan merepotkan. Lebih baik masa kepemilikan langsung diberikan selama 75 tahun. Malaysia saja memberikan status kepemilikan leasehold lebih lama, demikian Singapura selama 90 tahun dan bahkan freehold," terang Djaja.

Namun demikian, imbuh Djaja, dalam peraturan pemerintah yang baru itu nantinya, orang asing yang boleh membeli dan memiliki rumah adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. "Tentu dengan batasan-batasan jelas mulai dari harga rumah yang bisa mereka beli dan miliki atau kawasan tertentu," tandas Djaja.

Gelombang orang asing yang akan bekerja maupun berbisnis di Batam, lanjut Djaja, akan semakin besar pada akhir tahun ini. Mereka berlomba untuk melipatgandakan bisnisnya. Hal ini tentu saja dapat mengatrol kebutuhan rumah. Sementara di sisi lain, harga rumah dan lahan ikut terdongkrak dan berpotensi tak terkendali.

"Jika infrastruktur regulasi tidak dibuat sekarang, harga properti dan lahan akan melonjak gila-gilaan. Saat ini saja harga rumah menengah sudah menembus angka Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar. Sedangkan harga lahan mencapai posisi Rp 3 juta-Rp 5 juta per meter persegi untuk area perumahan dan Rp 10 juta di pusat kota," imbuh Djaja.

Selain itu, faktor harga properti di pinggiran Singapura yang juga sudah tidak terjangkau karena mengalami lonjakan signifikan pada kurun 2012-2013, akan mendorong gelombang kedua pembelian besar-besaran di Batam. "Orang pinggiran Singapura yang tak mampu membeli rumah di kawasan pinggiran kota itu akan beralih ke Batam. Dan jumlahnya tentu saja tak kalah signifikan dengan para pebisnis. Terlebih lokasi Batam sangat strategis dan menawarkan pasar sewa tak kalah prospektif," tambah Djaja.

Mereka, timpal Andreas, bisa membeli hunian dan menyewakannya kembali untuk para pebisnis dan ekspatriat lainnya. Harga sewa rumah untuk orang asing di sini sudah bertengger di angka 2.000 dollar AS sampai 5.000 dollar AS per bulan atau sekitar Rp 157 juta per tahun. "Harga sewa ini akan terus meningkat di masa-masa yang akan datang seiring geliat kawasan industri Batam," pungkas Andreas.

No comments:

Post a Comment