Dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan terus menguat seiring dengan normalisasi kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan tingkat suku bunganya. Untuk mengantisipasi tingginya risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menyempurnakan 3 Peraturan BI (PBI) terkait transaksi valas terhadap rupiah dan Posisi Devisa Neto (PDN) bank umum.
Direktur Task Force Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan, semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan global, maka stabilitas rupiah perlu didukung oleh pasar valas yang efisien dan berdaya tahan terhadap gejolak.
BI sebagai lembaga yang diberi mandat untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar terus berupaya untuk mempercepat pendalaman pasar valuta asing domestik. "Risiko global, maka akan mendorong dolar AS menguat, untuk antisipasi risiko ke depan yang semakin tinggi, perlu adanya penyempurnaan aturan," kata dia saat konferensi pers di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Senin (1/6/2015).
Nanang menjelaskan, pendalaman pasar valas domestik itu akan dilakukan BI melalui peningkatan fleksibilitas pelaku pasar dalam melakukan transaksi valas. Hal ini diharapkan bisa mendukung kegiatan ekonomi dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan.
Dia menyebutkan, salah satu langkah konkret BI dalam melakukan percepatan pendalaman pasar valas melalui penyempurnaan ketentuan terkait transaksi valuta asing terhadap rupiah dan Posisi Devisa Neto (PDN) bank umum melalui penerbitan 3 PBI.
Ketiga PBI yang diterbitkan hari ini tersebut adalah yang pertama, PBI No. 17/ /PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik. Aturan ini menjelaskan, kredit atau pembiayaan bank untuk kegiatan perdagangan dan investasi dapat menjadi underlying transaksi derivatif valas/IDR dalam rangka lindung nilai oleh nasabah.
"Ada potensi peningkatan, ada kekuatan yang buat volume transaksi derivatif meningkat, itu akan memaksa dunia usaha yang memiliki ULN akan masuk ke transaksi hedging, perusahaan-perusahaan yang punya utang valas didorong untuk hedging sehingga volume transaksi hedging meningkat, prediksi saya menjelang akhir tahun akan meningkat," jelas dia.
Aturan kedua adalah PBI No. 17/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing. Aturan ini menjelaskan, melalui perluasan instrumen transaksi derivatif berupa cross currency swap (CCS) valas terhadap rupiah, kredit atau pembiayaan sebagai underlying dan perluasan cakupan underlying transaksi yang meliputi perkiraan pendapatan maupun perkiraan biaya kegiatan perdagangan dan investasi.
"Dari 72 perusahaan, yang aktif 25, itu bisa lakukan transaksi derivatif termasuk CCS, ini mewakili 70% dari pelaku valas, sejauh ini jumlahnya terus meningkat termasuk Garuda Indonesia, pinjaman dari luar negeri yang jangka panjang biasanya menggunakan CCS, ini umumnya sifatnya multiyears untuk mitigasi risiko kurs dan bunganya, ini lebih pruden, menghadapi 2 risiko, kurs dan bunganya," sebut dia
Selain itu, jelas Nanang, dalam upaya memberikan kepastian bagi pihak asing untuk mengoptimalkan instrumen-instrumen derivatif sebagai instrumen hedging atas investasinya di Indonesia, maka dilakukan penghapusan persyaratan jangka waktu minimum transaksi derivatif satu pekan untuk pihak asing.
Menurut Nanang, penyesuaian pengaturan transaksi valas terhadap rupiah itu dilakukan secara prudent dan tetap memperhatikan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan dengan mewajibkan bank untuk memenuhi sejumlah pengaturan terkait mitigasi risiko. "Di masa lalu, transaksi derivatif jangka pendek ini dilakukan untuk spekulasi," katanya.
Peraturan ketiga adalah PBI No. 17/PBI/2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto (PDN) Bank Umum. Untuk aturan PDN, kata Nanang, diterbitkan untuk membatasi gap antara aset dan kewajiban per mata uang asing yang dimiliki bank sehingga risiko akibat pergerakan mata uang menjadi terkendali.
PDN dibatasi maksimal 20% dari modal dan penghapusan kewajiban bank untuk memelihara rasio PDN 30 menit dihapus. Dengan dihapuskannya PDN 30 menit, bank diharapkan memiliki fleksibilitas dalam mengelola risiko nilai tukar dengan tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. "Risiko bagi bank apabila US$ menguat maka bank akan mengalami kerugian karena memiliki gap," jelas
No comments:
Post a Comment