Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa transaksi valuta asing (valas) di Indonesia hanya didominasi oleh 25 bank saja. Menurut BI, itu tanda bahwa pasar industri perbankan nasional masih tersegmentasi. "Jadi itu artinya menunjukkan bahwa pasar kita masih tersegmentasi," ujar Direktur Taks Force Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah di Jakarta, Senin (1/6/2015).
Berdasarkan perkiraan BI, 25 Bank tersebut menguasi 70 sampai 80 persen pasar valas di Indonesia. Sementara itu sisanya diperebutkan sekitar 40 an bank kecil. Oleh karena itu, kata Nanang, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mesti terus mendorong bank-bank kecil tersebut untuk terus aktif dalam pasar valas Indonesia.
Bahkan, akan jauh baik apabila bank-bank kecil tersebut melakukan konsolidasi perbankan sehingga kapasitas menyerap valas juga kian besar. "Konsolidasi lebih baik dalam jangka panjang , jadi bank itu tidak perlu banyak tetapi cukup kuat dan cukup besar kapasitasnya (menyerap valas)," ucap Nanang. Berbagai upaya membuat rupiah stabil terus dilakukan. Kali ini Bank Indonesia (BI) mencoba melakukan berbagai penyempurnaan aturan transaksi valuta asing (valas) terhadap rupiah.
Menurut Direktur Task Force Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah, penyempurnaan aturan itu agar meningkatkan efisiensi pasar valas dengan menciptakan fleksibilitas transaksi derivatif.
"Adapun tujuan penyempurnaan ketentuan, antara lain mendukung stabilitas nilai tukar. Mendukung peningkatan perdagangan dan investasi di dalam negeri, melalui peningkatan kemudahan bertransaksi di pasar valas," ujar Nanang di Gedung BI, Jakarta, Senin (1/6/2015). Dia menuturkan, aturan yang diubah yaitu peraturan Bank Indonesia PBI No. 16/16/PBI/2014 bagi pihak domestik. Dalam aturan itu, bank dilarang mengucurkan kredit atau pembiayaan dalam valas atau rupiah untuk kepentingan transaksi derivatif.
"Aturan itu direvisi jadi kredit atau pembiayaan bank untuk kegiatan perdagangan dan investasi dapat menjadi i feeling transaksi derivatif valas atau rupiah dalam rangka lindung nilai," kata dia.
Kemudian, aturan yang diubah yaitu PBI No. 16/17/PBI/2014 bagi pihak asing. Aturan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu transaksi beli derivatif paling singkat 1 minggu, yang dihitung berdasarkan tanggal dimulai transaksi derivatif, sampai dengan jatuh waktu transaksi derivatif dan paling lama dengan jangka waktu investasi.
"Aturan jangka waktu minimum transaksi derivatif 1 minggu dihapus," ucap dia. Bank Indonesia (BI) mengapus kewajiban bank untuk menjaga Posisi Devisa Neto (PDN) setiap 30 menit. Artinya, saat ini bank hanya berkewajiban memelihara rasio PDN pada akhir hari saja. "Ketentuan itu yang mengatur kewajiban bank untuk memelihara rasio PDN 30 menit dihapus," ujar Ketua Task Force Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah di Kantor BI, Jakarta, Senin (1/6/2015).
Dia menjelaskan, saat ini perbankan wajib memelihara PDN dibatasi maksimal 20 persen dari modal dan PDN wajib dijaga di bawah batas maksimal setiap 30 menit dan pada akhir hari. Namun kewajiban menjaga PDN setiap 30 menit sekali itu menyebabkan transaksi terpaksa dilakukan dengan harga yang kurang optimal karena rentang waktu yang sempit.
Karena tidak maksimal, bank enggan melakukan transaksi valas sehingga volume transaksi pasar valuta asing kecil dan transaksi kurang likuid. Dampaknya, sangat berisiko terhadap terjadinya lonjakan nilai tukar akibat pasar yang tipis dan kesulitan korporasi untuk lindung nilai (hedging). "Dengan dihapuskan PDN 30 menit, bank diharapkan memiliki fleksibilitas dalam mengelola risiko nilai tukar dengan tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan meberikan risiko," kata Nanang.
Oleh karena itu, BI akan kembali melakukan perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum. Sebelumnya, peraturan itu juga pernah dilakukan perubahan sebanyak 3 kali yaitu tahun 2004. 2005, dan 2010.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin sore, 1 Juni 2015, bergerak menguat sebesar 36 poin menjadi Rp 13.188 per dolar Amerika Serikat dari posisi sebelumnya Rp 13.224 per dolar AS. "Data produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama AS yang negatif menjadi salah satu penekan mata uangnya," kata Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta.
Dia mengemukakan bahwa pengukuran PDB kuartal pertama direvisi menjadi minus 0,7 persen dari sebelumnya 0,2 persen. Selain itu, meski belanja konsumen AS pada kuartal pertama tercatat naik 1,8 persen, kenaikannya masih di bawah rata-rata 2,4 persen sejak 2010. "Belanja konsumen merupakan faktor krusial bagi ekonomi AS. Jika tidak menunjukkan peningkatan, kemungkinan besar laju pertumbuhan ekonomi AS belum akan terakselerasi," ujarnya. Meski demikian, menurut dia, potensi pemulihan ekonomi AS masih terbuka menyusul data ekonomi lain yang menunjukkan pemulihan. Jika dikombinasikan dengan inflasi inti, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed masih terbuka lebar.
Sementara itu, analis dari PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong, menuturkan penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS diperkirakan hanya bersifat jangka pendek, menyusul sentimen dari dalam negeri mengenai angka inflasi Indonesia periode Mei yang naik dari bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5 persen atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir pada bulan yang sama yang dipicu kenaikan harga bahan makanan. "Angka inflasi yang tinggi bisa menahan penguatan rupiah lebih lanjut, sehingga tekanan mata uang rupiah masih dapat terjadi," tuturnya. Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia pada Senin, 1 Juni 2015, mencatat, nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp 13.230 dari hari sebelumnya, Jumat, 29 Mei 2015, senilai Rp 13.211.
No comments:
Post a Comment