Dari daftar penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment) Juni 2015, golongan pelanggan listrik rumah tangga mewah (R2/TR) dengan pemakaian daya 3.500 kVa sampai 5.500 kVa mengalami penaikan sekitar Rp 9,43 per kWh menjadi Rp 1.524,24 per kWh. Begitupun dengan pelanggan rumah mewah (R3/TR) dengan daya 6.600 kVa ke atas, naik Rp 9,43 per kWh menjadi Rp 1.524 per kWh.
Sementara tarif listrik golongan restoran (B2/TR) dengan daya 6.600 kVa sampai dengan 220 kVa, kenaikannya berkisar Rp 6,90 per kWh. Sedangkan untuk tarif listrik pusat perbelanjaan (mal) dengan daya di atas 200 kVa (B3/TR) kenaikan juga berada di level Rp 6,90 per kWh menjadi Rp 1.115,60 per kWh, dari sebelumnya di Rp 1.108,70 per kWh.
Di sisi lain, pelanggan listrik golongan industri menengah dengan daya di atas 200 kVa (I3/TM) juga mengalami penaikan sekitar Rp 6,90 per kWh menjadi Rp 1.115,60 per kWh. Sementara golongan industri besar dengan daya di atas 30 ribu kVa keatas (I4/TT) kenaikannya sebesar Rp 6,62 per kWh menjadi Rp Rp 1.070,42 per kWh.
Kendati demikian, manajemen PLN melansir pihaknya tak menaikan tarif listrik untuk pelanggan rumah dengan daya 1.300 kVa dan 2.200 kVa (R1/TR), di mana tarifnya tetap Rp 1.352 per kWh. Berikut daftar tarif listrik periode Mei 2015 seperti dikutip dari daftar penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment) pada Senin (1/6):
Rumah tangga mewah:
- Golongan R-1/Tegangan Rendah (TR) dengan pemakaian daya sebesar 1.300 VA, tarif listrik tetap berada di angka Rp 1.352/kWh.
- Golongan R-1/TR dengan daya 2.200 VA tidak mengalami penaikan dan tarif tetap berada di Rp 1.352/kWh.
- Golongan R-2/TR 3.500 VA-5.500 VA tarif menjadi Rp 1.524,24 per kWh.
- Golongan R-3/TR dengan daya 6.600 VA ke atas di mana tarif naik menjadi Rp 1.524,24 per kWh
- Golongan B-2/TR dengan pemakaian daya 6.600 VA hingga 200 kVA (kilo volt ampere) tarif naik menjadi Rp 1.524,24 kWh
- Golongan B-3/Tegangan Menengah (TM) dengan pemakaian daya di atas 200 kVA naik menjadi Rp 1.115,60 kWh.
- Golongan I-3/TM dengan daya di atas 200 kVA, tarif naik menjadi Rp 1.108,70 per kWh
- Golongan I-4/Tegangan Tinggi (TT) dengan daya 30.000 kVA ke atas, tarif naik menjadi Rp 1.070,42 per kWh
Kelima golongan pelanggan tersebut adalah rumah tangga menengah R2 dengan daya 3.500-5.500 VA, rumah tangga besar R3 dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah B2 6.600-200.000 VA, kantor pemerintah P1 6.600-200.000 VA, dan penerangan jalan umum P3.
Sementara itu, tarif pelanggan listrik nonsubsidi lainnya, yakni bisnis besar B3 di atas 200.000 VA, industri besar I3 di atas 200.000 kVA, dan pemerintah P2 di atas 200 kVA ditetapkan Rp 1.200,65 per kWh atau naik dibandingkan Mei Rp 1.193,22 per kWh. Tarif untuk pelanggan industri besar I4 berdaya 30 MVA ke atas pun naik menjadi Rp 1.070,42 per kWh. Pada Mei, tarif I4 adalah Rp 1.063,8 per kWh. Adapun tarif golongan khusus L/TR, TM, dan TT naik menjadi Rp 1.661,01 per kWh dibanding Mei sebesar Rp 1.650,73 per kWh.
Sementara itu, tarif untuk golongan subsidi, yakni R1 dengan daya 1.300 VA dan R1 daya 2.200 VA, tidak berubah, yakni Rp 1.352 per kWh. PLN menetapkan tarif listrik nonsubsidi pada bulan berjalan berdasarkan realisasi tiga indikator, yakni kurs, harga minyak Indonesia (ICP), dan inflasi dua bulan sebelumnya. Dengan demikian, tarif listrik nonsubsidi pada Juni 2015 berdasarkan acuan realisasi ketiga indikator pada April 2015.
Mulai 1 Januari 2015, pemerintah menerapkan skema tarif penyesuaian bagi 10 golongan pelanggan listrik setelah sebelumnya sejak Mei 2014 hanya berlaku pada empat golongan. Dengan skema tersebut, naik atau turunnya tarif listrik tergantung pada tiga indikator, yakni harga minyak, kurs, dan inflasi.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan industri pada awal Mei 2015 makin menambah beban operasional perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota asosiasi. Lonjakan TDL ditengah kondisi ekspor yang sedang lesu, telah mengakibatkan beberapa perusahaan tekstil gulung tikar dan terpaksa merumahkan puluhan ribu pekerja akibat besarnya tekanan pada kuartal I 2015.
"Setelah permintaan ekspor tekstil menurun, kini kami harus menghadapi kenaikan TDL. Hanya perusahaan yang memiliki working capital kuat saja yang mampu bertahan. Karena meskipun tidak beroperasi, kami tetap mengeluarkan beban-beban usaha untuk pergudangan, salah satunya untuk membayar listrik," ujar Ade di Jakarta, Rabu (6/5).
Ade menjelaskan tagihan listrik adalah komponen biaya terbesar kedua setelah bahan baku dengan proporsi sebesar 18 hingga 26 persen dari total biaya produksi secara keseluruhan. Dengan demikian, tak heran jika nantinya akan ada banyak perusahaan tekstil yang gulung tikar. "Antara Januari hingga April saja, sudah ada 18 perusahaan tekstil di Jawa yang sudah gulung tikar akibat tekanan ini. Hal tersebut mengakibatkan 30 ribu pekerja harus di lay-off, bahkan sepertinya angka ini bisa bertambah," ujarnya.
Ia mengatakan, angka pemutusan angkatan kerja ini bisa bertambah menjadi 50 ribu pekerja apabila kondisi tak berubah hingga Agustus mendatang. Maka dari itu, ia meminta agar TDL tidak bersifat fluktuatif agar perusahaan tekstil bisa mengestimasi biaya yang dikeluarkan.
"Harga bahan bakar minyak (BBM) boleh naik turun, karena di negara lain juga seperti itu. Tapi sebisa mungkin harga listrik jangan seperti itu. Listrik harus jadi agent of development, jangan sebagai komoditas pemasukan negara," tambahnya.
Sebelumnya, Ade juga pernah meminta pemerintah untuk memberikan diskon TDL sebesar 40 persen dari pukul 23.00 hingga 06.00 demi menjaga efisiensi biaya. Jika permintaan tersebut dipenuhi, Ade menyebut harga tekstil Indonesia bisa lebih murah dibanding produk negara pesaing lain seperti Vietnam mengingat Indonesia tak memiliki perjanjian kerjasama dengan negara-negara tujuan utama ekspor tekstil.
Data Badan Pusat Statistik baru-baru ini menunjukkan adanya pengangguran terbuka baru sebanyak 300 ribu orang selama satu tahun terakhir. Dari data tersebut, diketahui bahwa pengangguran lulusan SMK bertambah dari 7,21 persen menjadi 9,05 persen, namun pengangguran lulusan SD, SMP, dan SMA ternyata mengalami penurunan, masing-masing yakni dari 3,69 persen menjadi 3,61 persen, 7,44 persen jadi 7,14 persen, dan 9,10 persen menjadi 8,17 persen.
No comments:
Post a Comment