Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardjojo memprediksi nilai tukar rupiah pada 2016 berada di kisaran Rp 13 ribu hingga Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini lebih tinggi dibandingkan prediksi Pemerintah yang memasang angka Rp 12.800-Rp 13 ribu.
Ramalan tersebut disampaikan Agus dalam rapat kerja pembahasan asumsi ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, Jakarta, Senin (8/6).
BI sendiri mencatat sejak Januari 2015 rupiah telah mengalami pelemahan hingga 6,71 persen. Agus mengatakan ada dua faktor utama yang akan melemahkan mata uang Garuda tahun depan. "Pertama dari faktor gobal, harga komoditas yang diperkirakan masih rendah akibat masih melemahnya perekonomian negara-negara mitra dagang dan potensi kenaikan suku bunga acuanThe Fed di semester II," kata Agus.
Faktor kedua dari dalam negeri, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang ditargetkan di kisaran 2,5-3 persen dan juga kebutuhan pembiayaan fiskal yang masih tinggi akan menjadi pemicu terus melemahnya rupiah sampai tahun depan. Potensi pelemahan rupiah di tahun ini menurut Agus juga masih bisa terjadi pada Juni 2015. Ia mengatakan ada potensi rupiah akan kembali melemah seiring dengan prediksi pasar keuangan global yang menanti kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
"Kita perlu waspadai karena Juni ini secara musiman ada permintaan dolar yang tinggi dan FOMC meeting," kata Agus. Agus mengatakan pelemahan rupiah diyakini juga disebabkan oleh sentimen global lainnya, yakni akibat perkembangan negosiasi di Yunani membuat pasar khususnya sebagian negara di dunia mengalami tekanan. Sementara itu sentimen dalam negeri seperti kondisi inflasi yang relatif tinggi juga masih menjadi penyebab lesunya rupiah.
"Secara umum, perekonomian Indonesia masih relevan dengan kondisi kita. Tapi di bulan Juni ini, secara musiman memang cukup banyak kewajiban yang harus dibayar," katanya. Mantan Menteri Keuangan itu mengatakan, Indonesia bukan negara satu-satunya yang mata uangnya mengalami pelemahan. Ia menyebut dibandingkan mata uang negara-negara Asean, rupiah masih lebih kuat.Ia meyakinkan BI akan menjaga stabilitas rupiah agar fluktuasi tidak terlalu tinggi.
"Sebetulnya kalau dlihat kondisi kita tidak terlalu lemah kalau dibandingkan negara-negara yang merupakan acuan kita. Lalu dengan Brasil, Turki, Afrika Selatan, kita tidak terlalu tertekan," katanya. Bank Indonesia akan mewaspadai potensi terjadinya perang mata uang atau "currency war" yang mungkin terjadi sebagai dampak dari rencana penyesuaian suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) secara berkala.
"Saya melihat tiga tahun ke depan akan terus ada 'currency war', karena kalau seandainya program peningkatan bunga di AS berjalan secara berkala, pasti berdampak pada mata uang negara lain yang satu sama lain akan menjaga posisi kompetitif mata uangnya," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (8/6/2015) malam.
Perang mata uang adalah suatu kondisi dimana masing-masing negara "sengaja" untuk melemahkan mata uangnya terhadap mata uang negara lain, dengan tujuan mempermudah ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan. Agus menjelaskan saat ini kondisi global sedang mengalami fenomena penguatan dolar AS yang menyebabkan terjadinya depresiasi nilai mata uang di berbagai negara berkembang ekonomi dan menimbulkan risiko dalam jangka panjang.
"Hari ini semua lebih dalam dari (rupiah) kita tekanannya, tapi ini semua reaksi dari perkembangan 'risk on' dan 'risk off' di luar negeri. Saya melihat bahwa kita memang harus menghadapi ini dengan baik dan waspada," katanya.Untuk itu, ia kembali menegaskan dalam jangka pendek dan menengah, BI berupaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar para pelaku pasar tidak memiliki kekhawatiran terhadap kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
"Kalau ada tekanan ekstrem, kita menjaga supaya volatilitasnya ada dalam batas yang dapat diterima untuk meraih kepercayaan pasar. Pasar harus tahu BI selalu ada untuk menjaga stabilitas (rupiah)," kata Agus.Terkait pergerakan rupiah yang cenderung melemah hingga pertengahan tahun, Agus memperkirakan rupiah bisa kembali stabil setelah Juni dengan rata-rata sepanjang tahun 2015 pada kisaran Rp 13.000-Rp 13.200 per dolar AS.
"Untuk rupiah 'year to date' masih pada Rp12.911 per dolar AS, dan biasanya (perlemahan) ini musiman sampai akhir Juni, karena ada sentimen dan banyak yang harus dibayar (menggunakan dolar). Tapi nanti akan normal dan fundamental membaik, sehingga pada kuartal tiga dan empat rupiah rata-rata Rp 12.500," katanya.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan depresiasi mata uang yang terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, sebagai akibat dari penguatan dolar AS dan itu terjadi karena dunia sedang menunggu kepastian terkait penyesuaian suku bunga The Fed. "Yang terjadi adalah dolar menguat terhadap segalanya dan itu tidak terelakkan karena tingkat bunga AS (berpotensi) naik, otomatis (nilai mata) uang bergerak ke arah dolar AS. Itu natural sebagai respon terhadap kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga," ujarnya.
Dari segi pemerintah, kata Bambang, salah satu hal yang dapat diupayakan sebagai antisipasi agar fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak terlalu bergejolak adalah dengan memperkuat struktur fundamental perekonomian nasional. "Kita jaga fundamentalnya. Kita menjaga 'current account deficit'nya dan defisit anggarannya. Itulah yang harus kita lakukan," katanya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin sore bergerak melemah sebesar 90 poin menjadi Rp 13.380 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp 13.290 per dolar AS yang dipicu oleh tekanan eksternal.
No comments:
Post a Comment