Rusia melancarkan protes terkait banyaknya kandungan zat berbahaya berupa merkuri dalam produk ekspor perikanan Indonesia. Nota protes tersebut diterima oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktur Jenderal Badan Karantina Ikan dan Mutu (BKIPM) Narmoko Prasmadji.
"Saya mendapat teguran dari Rusia karena kandungan merkuri dalam tuna yang kita ekspor melebihi ambang batas merkuri yang cukup berbahaya. Karena laut-laut yang tuna itu lewati sudah tercemar," kata Narmoko di Gedung Mina Bahari I KKP, Jakarta, Kamis (4/6).
Narmoko mengatakan saat ini kemampuan Indonesia dalam mengelola sumber daya perikanan tengah menjadi perhatian dunia. Terlebih dengan diterbitkannya sejumlah aturan pemerintah yang melarang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Merusak.
KKP sendiri menurut Narmoko sudah mengkaji peta jalan (roadmap) guna menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih ramah lingkungan selanjutnya. Pemerintah akan memberikan perlakuan khusus terhadap produk perikanan yang menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia.
"Setiap komoditas akan punya penanganan yang berbeda. Misalnya udang punya karakteristik yang berbeda, maka akan kami perlakukan berbeda," kata Narmoko. Indonesia memang menjadi pemasok kedua terbesar ikan tuna di dunia dengan memasok lebih dari 16 persen total produksi tuna dunia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP, dalam lima tahun terakhir Indonesia menjadi negara penghasil tuna terbesar di dunia. Tuna menjadi komoditas paling banyak menyumbang nilai ekspor perikanan nasional setelah udang, yakni mencapai US$ 89,41 juta pada kuartal I 2015. Setiap tahun, produksi tuna mencapai 150 ribu ton dengan sistem penangkapan tuna menggunakan pole dan line serta handline.
No comments:
Post a Comment