Jajaran PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk menyatakan kinerja perseroan di sepanjang paruh pertama 2015 masih dirasa berat dan stagnan menyusul kontraksinya kondisi ekonomi Indonesia. Bahkan, Direktur Investment Planning & Risk Management PGN Muhammad Wahid Sutopo memprediksi performa perseroan tahun ini tidak berbeda jauh dari realisasi pada tiga bulan pertama 2015. Dengan kata lain, kinerja dinilai belum positif.
"Saya lihat kondisinya tidak beda jauh dari triwulan I, itu refleksi yang lebih akurat. Kami berharap masih ada improvement dari triwulan I kemarin," ungkapnya di Jakarta, Jumat (10/7). Wahid mengungkapkan, adanya kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik membuat pihaknya pesimitis. Kendati demikian, ia menyatakan pihaknya masih bersabar dan belum berencana untuk melakukan revisi target.
"Belum ada revisi untuk saat ini. Kami masih ingin melihat kondisi lebih lanjut," ujarnya. Baca juga: Anak Usaha PGN Caplok Ladang Migas Milik Perusahaan Amerika. Ia menambahkan pihaknya pun menyiapkan beberapa strategi untuk bisa menggenjot kinerja perseroan. Salah satu strategi tersebut ialah melakukan diversifikasi usaha dan menggejot jumlah pelanggan baru.
Namun, perseroan diketahui memangkas target belanja modal menjadi US$ 400-US$ 500 juta. Padahal, sebelumnya disebutkan bahwa belanja modal perseroan mencapai US$ 800 juta. "Tahun ini, belanja modal sekitar US$ 400 juta hingga US$ 500 juta. Kami lihat sesuai dengan kondisi ekonomi nasional, berapa besar kebutuhan sekarang. Untuk serapan hingga semester I saya belum bisa ungkapkan, masih dihitung," jelasnya.
Untuk diketahui, sepanjang kuartal I tahun ini perusahaan pelat merah tersebut telah meraup laba bersih senilai US$ 109,4 juta. Perolehan tersebut anjlok 38 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 176,97 juta. Pasalnya, pendapatan bersih perseroan diketahui melorot 13,4 persen menjadi US$ 696,37 juta dari sebelumnya US$804,36 juta. Hal itu membuat laba sebelum pajak tercatat mencapai US$ 149,25 juta, jauh lebih rendah dari sebelumnya US$ 225,54 juta.
Lemahnya kinerja tersebut juga dikontribusi oleh membengkaknya beban keuangan perseroan dari US$ 6,66 juta menjadi US$ 21,61 juta. Ditambah lagi, perseroan juga membukukan rugi perubahan nilai wajar derivatif US$ 2,69 juta dari sebelumnya laba US$ 2,56 juta.
Sementara itu, terkait rencan akuisisi blok, Wahid menyatakan pihaknya belum bisa berkomentar lebih lanjut. Pasalnya beberapa akuisisi masih dalam tahap proses dan belum mencapai kata sepakat atau final. "Saya tidak bisa bicara kalau masalah akuisisi kalau belum final. Nanti saya akan berkomentar kalau sudah deal," kata Wahid. Padahal, sebelumnya, PGN disebut telah menuntaskan pengambilalihan hak partisipasi (participating interest/PI) dua blok minyak dan gas bumi (migas) di wilayah Papua Barat.
Melalui anak usahanya yakni PT Saka Energi Indonesia, perusahaan pelat merah tersebut kini tercatat sebagai pemilik PI mayoritas dari blok Semai IV dan Wokam 2 yang dahulu dikelola oleh Murphy Oil, perusahaan migas asal AS. “Semai IV dan Wokam 2 (akhirnya) diambil oleh Saka,” ujar Elan Biantoro, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, Kamis malam (9/7).
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) telah menuntaskan pengambilalihan hak partisipasi (participating interest/PI) dua blok minyak dan gas bumi (migas) di wilayah Papua Barat. Melalui anak usahanya yakni PT Saka Energi Indonesia, perusahaan pelat merah tersebut kini tercatat sebagai pemilik PI mayoritas dari blok Semai IV dan Wokam 2 yang dahulu dikelola oleh Murphy Oil.
“Semai IV dan Wokam 2 (akhirnya) diambil oleh Saka,” ujar Elan Biantoro, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, Kamis malam (9/7). Elan mengungkapkan, adanya pengambilalihan Blok Semai IV dan Wokam 2 oleh Saka tak lepas dari sikap manajemen Murphy Oil yang telah secara resmi memutuskan untuk tak lagi berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia. Info yang beredar, hengkangnya perusahaan migas asal Amerika Serikat tersebut dilatarbelakangi oleh berbelitnya sistem regulasi dan perizinan migas yang ada di lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah.
Belum lagi problematika pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam aktivitas eksplorasi yang dinilai turut memberatkan perhitungan bisnis dan nilai investasi. Selain beberapa katalis tadi, kata Elan adanya kegagalan aktivias eksplorasi di Blok Semai II dan South Barito pun turut menjadi faktor hengkangnya Murphy Oil.
“Tapi urusan PBB sudah selesai karena telah dibicarakan dengan Kementerian Keuangan. Sebenaranya isu ini (terjadi) karena kurangnya komunikasi atau ada beberapa perusahaan yang salah mengisi formulir mengenai besaran area wilayah kerja,” jelasnya. Dari catatan yang dikumpulkan sebelum Murphy Oil terdapat satu perusahaan migas asing yang lebih dulu hengkang dari industri hulu migas Indonesia yakni Lundin Petroleum.
Menyusul dua perusahan tadi, ada empat kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) asing yang dikabarkan juga bakal hengkang dari Indonesia. Keempat perusahaan tersebut meliputi Hess Corporation, Anadarko, Talisman Energy serta Marathon Oil. Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil menjelaskan alasan kuat yang mengakibatkan banyak KKKS hengkang dari Indonesia lebih dikarenakan kegagalan perusahaan dalam menemukan cadangan. Selain itu mereka hengkang dikarenakan habisnya masa kontrak pengelolaan blok migas yang diberikan pemerintah.
"Rata-rata yang hengkang itu perusahaan migas kecil bukan perusahaan besar seperti Chevron, BP, Total dan lain-lain. Kalau karena konsekuensi dari harga minyak yang rendah saya pikir belum ada karena mereka menyiasatinya dengan menurunkan biaya operasional dan memotong investasinya hingga berdampak pada kegiatan eksplorasi," tutur Dipnala beberapa waktu lalu.
No comments:
Post a Comment