Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Yudha Agung menyebutkan tiga masalah ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Tiga masalah ini, kata dia, akan menjadi masalah serius jika tidak segera diatasi. Yang pertama adalah defisit neraca transaksi berjalan. Yudha mengatakan masalah ini sudah dihadapi sejak 2011 dan semakin melebar pada 2013. "Defisit kuartal II 2013 mencapai 4,4 persen," kata Yudha saat Media Briefing di Kantor Perwakilan BI di Padang, Ahad, 8 Juni 2014.
Untuk menekan defisit, kata Yudha, Bank Indonesia telah melakukan upaya dengan menaikkan suku bunga, mengerem impor, dan menjaga stabilitas nilai tukar. Sedangkan pemerintah berupaya dengan kebijakan fiskal, pajak, dan melakukan konversi energi. Hasilnya, kata Yudha, pada kuartal IV 2013, defisit menurun menjadi 1,98 persen. Namun BI dan pemerintah belum bisa bernapas lega. Sebab, pada awal Juni, Badan Pusat Statistik merilis defisit neraca transaksi berjalan kembali melebar. "April disebut defisitnya US$ 2 miliar, ini masih jadi tantangan," kata Yudha.
Masalah kedua yang sedang dihadapi Indonesia adalah ketidakseimbangan fiskal. Hal ini terjadi karena minimnya pendapatan dari pajak dibarengi dengan membengkaknya subsidi. "Defisit fiskal jadi melebar," kata Yudha. Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Chatib Basri, Yudha mengatakan, jika tidak dilakukan penghematan, defisit fiskal akan mencapai 4,69 persen. "Angka yang belum pernah dicapai sejak krisis 1997-1998," katanya.
Terakhir adalah masalah dalam sektor riil. Dua sektor yang paling utama adalah defisit energi dan defisit pangan. Jika keduanya tak serius ditangani, Indonesia akan bergantung pada luar negeri. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan struktur produksi Indonesia sudah usang. Akibatnya, struktur ini sulit menopang dan mendorong posisi Indonesia dari lower-middle country ke upper-middle country.
Menurut Agus, transisi Indonesia dari negara berpendapatan rendah ke negara berpendapatan menengah ditopang oleh dua hal. Pertama, industri ekspor dengan teknologi rendah dan upah buruh murah. Kedua, aktivitas ekspor yang mengandalkan sumber daya alam.
Keberhasilan meningkatkan pendapatan per kapita penduduk, kata Agus, tidak serta-merta meringankan tantangan ekonomi Indonesia. "Harus ada terobosan, yaitu reformasi struktural," kata Agus dalam Seminar Nasional Laporan Perekonomian Indonesia 2013 di Padang, Senin, 9 Juni 2014. Apalagi, kata Agus, saat ini Indonesia masih memiliki 28,5 juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. "Ini membuat ketimpangan dan kerawanan sosial," katanya. Dengan komoditas ekspor berbasis aktivitas ekstraktif yang bernilai tambah rendah, posisi tawar Indonesia di kancah global pun ikut rendah.
Untuk meningkatkan struktur produksi Indonesia, ada dua hal yang harus difokuskan guna mempercepat transisi ke negara maju dan penurunan angka kemiskinan. Pertama, memperkuat integrasi industri barang bernilai tambah tinggi yang berorientasi ekspor ke dalam rantai nilai global dan memperbesar perannya dalam menambah nilai barang domestik. Kedua, memperkuat ketersediaan modal dasar pembangunan dalam rangka efisiensi dan integrasi internal perekonomian Indonesia.
No comments:
Post a Comment