Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung tidak menampik penurunan nilai tukar rupiah karena kondisi politik saat ini. Dikuasainya Dewan Perwakilan Rakyat oleh partai yang berseberangan dengan pemerintah baru (oposisi), kata Chairul, menyulitkan upaya untuk meyakinkan investor. "Mereka khawatir pemerintah akan kurang efektif dalam melaksanakan programnya," kata Chairul yang akrab disapa CT itu di kantornya, Kamis, 2 Oktober 2014.
Untuk menekan depresiasi rupiah, CT meminta semua pihak menahan diri serta tidak tergerus isu politik. Selain itu, CT mengimbau investor untuk tidak menjadikan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sebagai alasan untuk menurunkan tingkat kepercayaan investor. "Jangan terburu-buru, apalagi Pak SBY akan mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang," ujarnya.
CT juga yakin melemahnya rupiah disebabkan kebijakan rencana bank sentral Amerika Serikat untuk menaikkan suku bunga. Dalam sesi penutupan Kamis, rupiah menjadi satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar. Rupiah merosot menjadi Rp 12.162 per dolar Amerika.
Ekonom PT BNI Securities, Heru Irvansyah, mengatakan rupiah kini mulai bergerak ke level keseimbangannya yang baru di kisaran 12.100-12.100 per dolar. "Meningkatnya kebutuhan dolar di tengah likuiditas yang semakin berkurang menjadi penyebab utama pelemahan rupiah," kata dia di Jakarta, Selasa, 30 September 2014.
Pelonggaran kuantitatif (QE3) bank sentral Amerika Serikat (The Fed) sebesar US$ 85 miliar akan segera berakhir pada Oktober besok. The Fed yang melihat pemulihan ekonomi telah berjalan dengan baik, perlahan tapi pasti mengurangi pemberian stimulus bulanan tersebut. Hingga September, QE hanya tinggal tersisa US$ 15 miliar.
Heru menilai faktor sentimen politik pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah berpengaruh terhadap pelemahan rupiah, namun tidak terlalu signifikan. "Resistensi parlemen akan menimbulkan risiko politik yang lebih luas, dan bakal berdampak buruk pada prospek investasi," kata dia.
Menurut Analis PT First Asia Capital, Ivan Kurniawan, terus memanasnya hubungan antara koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo dengan koalisi merah putih pendukung Prabowo Subianto bisa mengakibatkan ketidakpastian politik. "Bagi investor, kepastian politik merupakan salah satu syarat investasi. Bila tidak stabil, keuntungan investasi sulit diperkirakan."
Ketidakpastian politik itu pula salah satu penyebab investor asing mulai berkemas dari pasar keuangan Indonesia. Setelah pemilu presiden Juli lalu, total net buy asing di pasar saham hampir mencapai Rp 70 triliun. Sementara, saat ini telah menyusut jadi sekitar Rp 52-53 triliun.
Investor asing secara perlahan mulai melepas portofolio saham dan membeli dolar. Inilah yang menyebabkan dolar terus menguat ke level 12.170. Di sisi lain, pulihnya ekonomi Amerika Serikat dan rencana kenaikan suku bunga The Fed semakin mendorong pasar untuk membeli dolar AS.
Ivan menyarankan pemerintah harus bisa merangkul parlemen. Jangan sampai persaingan antara koalisi pemerintah dan koalisi merah putih terus berlarut-larut. Apalagi di pemerintahan Joko Widodo nanti masih ada revisi APBN Perubahan 2015 serta kenaikan harga BBM. "Kalau setiap kebijakan atau RUU ditolak, target pertumbuhan ekonomi 7 persen mustahil tercapai."
No comments:
Post a Comment