Jabatan komisaris BUMN, bagi sebagian orang, merupakan bentuk reward dari pemerintahan yang berkuasa kepada mereka yang dianggap berjasa tanpa perlu mengeluarkan reward dari kantong pribadi tapi memanfaatkan milik raykat. Tak hanya berjasa bagi pemerintahan, namun juga proses politik yang dilalui. Pun dengan pemerintahan saat ini. Hal itu terlihat dari para kader PDIP maupun relawan Jokowi yang mendapatkan posisi sebagai komisaris di berbagai BUMN, mulai dari perusahaan yang meraup untung besar hingga yang merugi.
Dari catatan , sejauh ini sudah ada delapan komisaris yang berasal dari politisi maupun relawan Jokowi yang mendapatkan posisi empuk itu. Sebut saja Diaz Hendropriyono (Ketua Umum Koalisi Anak Muda dan Relawan Jokowi) telah mendapatkan posisi sebagai Komisaris Telkomsel.
Selanjutnya adalah Cahya Dewi Rembulan Sinaga (mantan caleg PDI-P, Komisaris Bank Mandiri), Pataniari Siahaan (mantan caleg PDI-P, Komisaris BNI), Sonny Keraf (mantan anggota DPR F PDI-P, mantan Menteri KLH era Megawati, Komisaris BRI), Refly Harun (tim sukses Jokowi, Komisaris Utama Jasa Marga). Kemudian, ada Sukardi Rinakit (pengamat politik, Komisaris Utama BTN).
Lainnya, Kementerian BUMN juga menunjuk dua orang, masing-masing adalah Roy E Maningkas (kader PDI-P dan anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden) dan Hilmar Farid (Ketua Panitia Simposium Seknas Jokowi) sebagai Komisaris PT Krakatau Steel Tbk.
Lantas, berapa sebenarnya gaji komisaris di perusahaan milik negara?
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN M. Said Didu mengungkapkan gaji komisaris di perusahaan-perusahaan pelat merah sangat beragam dengan range yang cukup lebar yakni antara Rp 10 juta hingga Rp 120 juta per bulan, tergantung pada perusahaannya. "Gaji komisaris mengikuti perusahaan. Semakin besar perusahaannya, semakin tinggi gaji komisarisnya," ujarnya, Senin (6/4/2015).
Said mengungkapkan, salah satu sektor yang memberikan gaji cukup tinggi bagi komisarisnya adalah perbankan. Seseorang yang mendapatkan posisi sebagai komisaris di bank BUMN, rata-rata gaji yang diterima komisaris per bulannya di atas Rp 100 juta. Jumlah itu mencakup gaji pokok dan berbagai tunjangan.
Sementara itu di sektor manufaktur seperti Krakatau Steel, rata-rata gaji komisarisnya di kisaran Rp 50 per bulan. "Seperti di KS (Krakatau Steel), tahun lalu kan merugi cukup dalam, sehingga gaji komisaris berada di sekitar Rp 50 juta per bulan," jelasnya. Untuk sektor infrastruktur seperti Jasa Marga, juga berada di kisaran Rp 50 juta per bulan.
Mantan pejabat eselon I di Kementerian BUMN yang menjabat komisaris di berbagai perusahaan pelat merah mengungkapkan bahwa gaji yang diterima itu belum mempertimbangkan tantiem atau bonus atas pencapaian laba bersih pada akhir tahun. "Tantiem dihitung dari persentase laba bersih yang dicapai perusahaan. Nilainya bisa cukup besar," ujarnya sambil mewanti-wanti untuk tidak disebutkan namanya.
Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, dimasukannya orang-orang partai politik (parpol), tim sukses, sampai relawan kampanye ke dalam beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan bukti "tak ada makan siang gratis" dalam politik.
"Ketika semua pintu yang menjadi kunci masuknya adalah tetap partai politik ya ini bagaimana menjaga indepedensi (orang-orang itu), ini bukan orang per orang (saja) ya tapi gerbongnya (BUMN) dengan bingkai tim sukses, atau tim pendukung, atau tim asistensi atau konsultan atau apapun... ya semuanya itu kan (artinya) tidak ada makan siang gratis itu kan," ujar Enny.
Menurut Enny, masuknya orang-orang partai ke BUMN dipercaya akan membuat kinerja perseroan tak maksimal. Pasalnya, kata dia, di level pimpinan BUMN akan terjadi conflict of interest meski keputusan komisaris atau direksi diputuskan secara kolektif. Enny juga menilai conflicts of interest bisa saja terjadi terhadap para relawan yang notabene memiliki latarbelakang profesional. Hal itu lantaran pintu masuk para relawan ke BUMN melalui partai politik.
"Komisaris resmi kan mempunyai power untuk bagaimana mengontrol atau mengawasi kinerja dari direksinya. Kalau semua ini hanya formalitas dan hanya workshop untuk kepentingan-kepentingan tertentu dari si pemesan maka objektifnya (komisaris) dan fungsi keberadaan mereka enggak akan optimal," kata Enny. Lebih lanjut kata Enny, apabila konflik of interest itu benar-benar terjadi, maka BUMN tak akan bisa berkembang. Padahal kata dia, di tengah situasi ekonomi saat ini, menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), peran BUMN harus diperbesar untuk membantu pembangunan ekonomi Indonesia.
"(BUMN) Kita nggak boleh jago kandang apalagi kita akan harapannya bumn sebagai bemper untuk keperluan strategis kita," ucap dia. Meski melancarkan kritik, Enny tetap menyakini masih ada orang-orang yang profesional yang duduk di BUMN. Dia berharap, orang-orang itu tetap menjaga independensinya dan tak berafiliasi kepada kepentingan politik.
Sebagaimana diberitakan sejumlah kader partai politik duduk di kursi Dewan Komisaris beberapa bank BUMN. Salah satunya adalah Cahaya Dwi Rembulan Sinaga yang menjadi Komisaris Independen di Bank Mandiri. Cahaya tercatat menjadi caleg pada pemilu 2009 dari PDI Perjuangan di Kalimantan Tengah. Selain itu, politikus Pataniari Siahaan yang juga menjadi komisaris di BNI. Pataniari tercatat menjadi anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan periode 1999-2004 dan 2004-2009. Ia sempat kembali menjadi caleg di Pileg 2014 namun gagal terpilih.
No comments:
Post a Comment